Satu hari kamu datang dan mengeluh, katamu:
Kebahagiaan dan kesedihan umpama koin yang sedang
terpelanting. Selama itu pula tanganmu menengadah, berharap-harap wajah bahagia
yang menghadap ke atas. Kamu berdoa. (Sayangnya) Orang lain pun melakukan hal
yang sama. Hal yang kamu takutkan terjadi bisa saja merupakan doa yang
dipanjatkan tanpa henti oleh orang lain. Tentang doa siapa yang lebih dulu dikabulkan
tidak ada dalam kuasamu.
Kamu ingin mengucapkan selamat, namun kamu juga merasa butuh
diselamatkan. Lantas kamu bertanya-tanya dalam hati. Apakah mendapatkan ucapan
selamat lebih mendesak daripada mendapat keselamatan?
Kebahagian pun menjadi hal yang nisbi.
Kata kepalamu yang berisik; Kebahagiaan adalah duka bagi
sebagian orang. Kemenangan bagi satu
orang adalah kekalahan orang lain. Tapi hidup bukan semata gelanggang
pertandingan. Kekalahan tetaplah hasil jerih payah. Pada suatu buku kamu pun
pernah membacanya, berduka ketika seseorang bahagia pun tidak pantas rasanya. Lalu, manakah yang tidak berempati, yang berbahagia atau yang berduka?
Kamu berpikir keras. Hingga akhirnya kamu belajar merayakan
dukamu, kekalahanmu. Perayaan yang meriah sampai kebahagiaan merasa iri hati
dan ingin ikut serta. Meleburkan dualisme yang menimbulkan kecemburuan. Perayaanmu
yang semarak dengan luka dan sendu sebagai tokoh utamanya. Sementara sendu berlagu, luka berdansa sampai lupa harus merasa apa.
Hingga seseorang menghampirimu untuk mengucapkan: Selamat!
Kamu tidak pernah menyukai Taman Kota. Selain banyak pemuda
pemudi yang memamerkan dosa mereka dengan bangga (bagimu bergandengan tangan
pun sebuah dosa), juga pada bising kendaraan yang membuat telingamu pengang.
Sekalipun realitanya memang seperti itu, bagiku tetap saja kamu berlebihan.
Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya padamu, barangkali kamu hanya sedang
rindu jalanan Batanghari dimana kamu bisa berpapasan dengan karibmu di atas
onthel lalu mampir ke pasar Tiga Delapan sekedar membeli cenil dan mendengarkan
cerita ibu-ibu penjual jamu.
Kerinduanmu tidak bisa kusalahkan, karena kini
pada akhirnya kamu hanya berkawan dengan kesepian. Tapi sore ini, kamu duduk
menyandar di batang pohon besar yang dialih fungsi menjadi bangku taman. Kamu
melihat ke langit, seolah menguji dirimu sendiri sampai kapan akan tahan dengan
terik yang belum menyingkir.
“Sebelum kau bosan,
sebelum aku menjemukan tolonglah ucapkan dan tolong engkau ceritakan semua yang
indah, semua yang cantik, berjanjilah.”
Usia kita berpaut lima tahun. Junior yang merantau untuk
segera kembali. Kamu hanya ingin mencuili ilmu orang kota untuk memberi
kontribusi pada desamu. Sebelum sempat kembali, niatanmu kupatahkan dengan
alot. Ibu kota sudah kekal dalam kepala semenjak pertama kali aku menginjak trotoarnya.
Kuyakinkan kalau kepul asap tidak akan menodai hatimu yang tulus itu. Dan akan
kunyanyikan lagu apa saja untuk menyamarkan bising yang bisa membuatmu tuli.
Begitulah akhirnya, atas
nama cinta mimpimu jadi nomor dua.
“Ciptakanlah lagu yang
kau anggap merdu, dik nyanyikan untukku, sungguh aku perlu itu bila kau tak
suka, bilang saja suka, berjanjilah.”
Kamu hanya terus menerus memberiku dengar Tanoh Lado.
Suaramu yang tidak seberapa merdu namun membuat nyaman itu seperti ingin membuatku
merasa bersalah atas kerinduan yang tidak kuizinkan cepat sampai.
“Pergilah kau pergi
dan janganlah kembali bila itu kau ingini, ku mohon jangan katakan pergi.”
Nyatanya kamu tidak pernah pergi. Kamu memilih mengikatkan
diri dengan ibu kota daripada meninggalkanku seorang diri. Kamu tidak juga
pergi bahkan ketika aku sudah lama meninggalkanmu sendiri.
“Jarak telah jauh yang
sudah kita tempuh, dik coba pikir itu sebelum tinggalkan aku teruslah berdusta
sampai engkau muak, berjanjilah.”
Beberapa anakan keluar dari rambutmu yang tergelung. Guratan
halus di wajahmu tidak akurat menunjukan usiamu yang sebenarnya. Kamu masih
saja cantik. Walau gelap kantung matamu dan tirus kedua pipimu seperti lama
melarikan hidupmu dari hidup. Dahimu berkerut, mengingat-ngingat, semua hal
yang pernah kukatakan padamu yang tidak sempat kamu tanggapi satu-persatu. Kamu
seperti ingin melakoni aku. Sementara kini aku sedang melakoni pohon Randu di
atas kepalamu.
Langit sudah gelap ketika kamu akhirnya beranjak pulang. Sambil
berjalan kamu menaburkan bunga yang sudah kering dari dalam kantung celana. Dahulu
sambil bercanda, kamu bilang kegemaranku pada Taman Kota akan membawa arwahku
bersemayam di sini, sebagai apapun.
Kamu benar. Aku akan menjadi apapun sambil menunggumu
yang sedang menungguiku menjelma menjadi sesuatu yang akan kau kenali, sebelum kau bosan.
(Note : Semua dialog
diambil dari seluruh lirik lagu Iwan Fals berjudul “Sebelum Kau Bosan”)
Merelakan artinya membiarkan kejadian tanpa ada lagi penyangkalan. Merelakan tidak memberikan pilihan mau atau tidak, hanya ada harus, mau tidak mau. Rela ketika orang terkasih harus dibenam dalam tanah, rela ketika impian membelot dan memilih jalan memutar, rela ketika hidup sedang gemar mengajak bercanda.
Pada satu titik tertentu, Merelakan itu melegakan. Karena ketika kita berhenti menciptakan sangkalan-sangkalan, akal tidak perlu lagi kesulitan cari cara menenangkan hati. Hati harus tahu cara mendamaikan dirinya sendiri dengan belajar menerima. Menerima bahwa sebagai manusia ada hal-hal di luar kendali. Menerima bahwa sebagai wayang orang, hanya Sang Dalang yang punya kuasa. Tapi beruntung, Allah itu Maha Baik. Dia menyelinapkan harapan dalam proses merelakan. Memaksa kita untuk percaya bahwa hal-hal yang kita relakan, akan digantikan dengan yang ribuan kali lebih baik.
Dalam merelakan, kita dipersenjatai dengan harapan. Harapan bahwa di depan, hal baik sedang menunggu dipetik.
Pada satu titik tertentu, Merelakan itu melegakan. Karena ketika kita berhenti menciptakan sangkalan-sangkalan, akal tidak perlu lagi kesulitan cari cara menenangkan hati. Hati harus tahu cara mendamaikan dirinya sendiri dengan belajar menerima. Menerima bahwa sebagai manusia ada hal-hal di luar kendali. Menerima bahwa sebagai wayang orang, hanya Sang Dalang yang punya kuasa. Tapi beruntung, Allah itu Maha Baik. Dia menyelinapkan harapan dalam proses merelakan. Memaksa kita untuk percaya bahwa hal-hal yang kita relakan, akan digantikan dengan yang ribuan kali lebih baik.
Dalam merelakan, kita dipersenjatai dengan harapan. Harapan bahwa di depan, hal baik sedang menunggu dipetik.
Saya hanya tahu kalau saya sedang jatuh cinta.
Masalah mau dibawa kemana cinta ini selanjutnya, masih di perawangan.
Saya jatuh cinta pada anak-anak ini, yang masih minim kosakata tapi begitu kaya ekspresi. Kepada Friska yang baru pada tahap meniru ucapan temannya tanpa memahami betul maknanya, kepada Fira pemilik mata bening yang keceriannya tidak pernah alpa, kepada Intan, si pemalu yang kini sudah berani bernyanyi di hadapan seluruh teman, kepada Ghendis yang selalu bersemangat dan patuh, kepada Aini yang sabar mengajari teman yang lebih junior, kepada Putri yang ingin segera mahir membaca, kepada Elsa si periang yang suka bercanda, kepada Chantika yang cantik dan penurut, kepada Fahri yang usil namun cerdas, kepada Ari yang suka mewarnai, kepada Whendy, si jahil yang sigap membantu, kepada Awa yang senyumnya menawan, Indah, Fatan, Syifa, Risma, dan semuanya, bahkan kepada Tasya yang meskipun sudah puluhan kali kena omel tetap tidak kapok bermain bersama.
Tapi lagi-lagi akhir cinta ini masih di perawangan.
Saya tidak tahu (atau mungkin tahu) akan seperti apa jadinya beberapa bulan ke depan, satu tahun lagi, dua tahun lagi. Apakah cinta ini masih menemui asalnya atau tidak? Saya bahkan tidak tahu apakah cinta ini sudah tepat atau belum.
Saya hanya tahu saya belum ingin mengakhirinya. Saya (sepertinya) tahu untuk membuatnya tidak berakhir, diam dan sekedar berharap-harap adalah pilihan terakhir. Saya (seharusnya) tahu mencintai bukan sekedar mengisi waktu luang, mencintai adalah menyediakan waktu luang. Saya (seharusnya) tahu mencintai dengan separuh hati tidak akan membuat saya merasa utuh.
Pada akhirnya mencintai bukan lagi sekedar predikat. Mencintai adalah kata kerja aktif. Mencintai selalu menagih aksi.
Pagi ini seorang teman dalam group menyebarkan sebuah berita tentang golongan agama tertentu yang diklaim sesat olehnya. Saya tersenyum, kecut. Dalam group yang homogen, hal seperti ini sudah biasa terjadi. Tidak ada niatan sedikit pun untuk memberi respon, tapi kali ini ada yang mengubah senyum kecut saya menjadi lebih manis. Seorang anggota group lain memberi komentar.
"Subtansinya apa, Wahai golongan mayoritas?"
Singkat saja, tapi saya sudah merasa beliau memposisikan dirinya sebagai kaum minoritas entah siapapun itu. Mungkin beliau sama seperti saya yang sudah jengah pada orang-orang sok tahu atas kabar burung yang dianggap ilmu.
Di negara ini, kebenaran (seolah) ada di tangan mayoritas, sisanya adalah orang yang menyimpang atau tidak kasatmata sekalian. Golongan minoritas tidak mendapatkan haknya dengan baik. Mereka bahkan merasa perlu beribadah sembunyi-sembunyi, itu pun tidak jarang diamankan 'polisi' agama dengan cara yang sama sekali tidak mencerminkan nilai agama mana pun. Dalihnya, penindasan penyimpangan berhadiah pahala, sementara definisi simpang mereka yang menentukan.
Keadilan pun dikalahkan kuasa dan jumlah suara.
Pertanyaannya, memang penghuni surga lebih banyak dari penghuni neraka?
Payahnya lagi, penyebaran pesan secara viral, seperti mainan baru untuk menyudutkan golongan minoritas. Pun halnya dengan media sosial yang beralih fungsi dari media komunikasi, kini jadi media penyebaran informasi yang keabsahannya tidak jelas. Semoga hanya yang menyebarkan saja yang lupa memakai akalnya untuk melakukan validasi, dan yang membaca tidak ikut-ikutan menelan bulat-bulat tanpa sempat dicerna alat pikir. Kaum terpelajar tentu tidak akan membiarkan pikirannya disetir oleh informasi yang ditumpangi kepentingan-kepentingan pihak tertentu.
Perihal mayoritas dan minoritas tidak hanya pada persoalan agama, ada banyak hal yang menjadi dikotomi pada situasi tertentu. Jika logika kita belum bisa menyetujui (bahkan sekedar memaklumi) paling tidak jangan semena-mena mengadili. Norma yang ada membantu kita menjadi manusia dan manusia tidak akan meniadakan identitas orang lain dengan cara yang tidak manusiawi.
Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya. (Pramoedya Ananta Toer)
Cara membaca peta bisa membuat segala keputusan melangkah jauh berbeda. Kita baru bisa memastikan tidak tersasar ketika kita telah sampai. Pastikan saja peta dan cara kita sudah tepat.
Note :
Barangkali terlepas dari segala pemikiran dan dampak negatif pengosongan kolom agama di KTP. Seorang manusia yang diberi mandat menjadi presiden itu hanya ingin mencoba memanusiakan manusia lainnya, yang selama ini menyamar identitas mayoritas demi pengakuan dan rasa aman.
Mata kami bertemu. Sesaat aku ingin menantang bola mata yang
bersembunyi di balik lensa itu. Aku ingin tahu, apakah dia akan meringkuk atau
justru menerima tantanganku. Menenggelamkanku lagi disana, di kedalaman matanya
yang bening sekaligus berjelaga. Aku tidak yakin mana yang lebih membuatku nelangsa, jelaga yang membuat buta atau bening yang demikian lihai membaca,
menelanjangi pikiranku yang ramai sekaligus sepi, seperti tersasar di tengah
pasar.
Faktanya, hanya beberapa detik sampai mataku beralih. Mataku
memandang daun-daun kering yang berjatuhan, kursi panjang halte yang
sandarannya sudah berkarat, sampah plastik yang terbawa angin, atau apa saja
selain matanya.
“Hai.”
Suara yang digiring senyuman itu memecah hening diantara
kami. Tapi mulutku tetap terkunci. Bilangan tahun yang berlalu memang tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kusiapkan dulu, tapi waktu membuat
semuanya kehilangan makna. Aku tidak lagi menagih jawaban, bahkan untuk sekedar
penasaran telah tunai tanpa dibayar.
Dia tidak lagi memakai sandal gunung dan kaus lengan pendek.
Kemapanan tergambar pada pakaian dan atribut yang ia kenakan. Lihatlah, jam
tangan yang dulu kami beli di pusat perbelanjaan tidak lagi melingkari
tangannya, digantikan dengan brand yang nominalnya melebihi setengah gajiku sebulan.
Aroma segar sabun antiseptik pun terganti aroma parfum yang tidak kukenali. Perlahan
kumasukan tanganku dalam saku, menyembunyikan gelang kayu yang melingkarinya,
yang kami beli bersama di Yogyakarta dulu.
Kita memang tidak bisa dengan mudah melupakan apa yang sudah lama
terpatri dalam kepala, tapi kita bisa menimpanya dengan kenangan yang lebih
segar. Sayangnya, ingatan yang buruk tetap ada sebagai pengingat. Seperti saat dia
membawa-bawa nama Tuhan hanya agar aku tidak menahan dan berhenti memintanya
mempertimbangkan. Dia benar. Selamanya biji rosario miliknya tidak bisa kugunakan untuk bertasbih.
Kita hanya bisa bersitatap tanpa bisa saling berdekap.
“Hai.”
Meski sedikit tercekat, angin tetap menjalarkan suaraku.
Angin pula sepertinya yang meringankan langkahku. Lihatlah, kami telah beranjak
dewasa. Tidak lagi ada penolakan atau perjuangan yang berakhir sia-sia. Hanya lima menit, selanjutnya kami
saling melewati, seperti sepasang asing tanpa kepentingan untuk menguarkan
kenangan. Kami melangkah pada arah yang bersebrangan.
Tidak ada hujan. Musim kemarau belum juga berakhir. Mari
kita percepat langkah kaki kita karena tidak ada yang akan menyamarkan air
mata.
River and sea, picking up salt
Through the air as a fluffy cloud falling down as rain.
(Boat Behind-Kings Of Convenience)
I really can’t afford not to say this: #GIRLBOSS is a great
book that you have to experience by yourself. This book is not only narrates Shopia Amoruso's from-nothing-to-something-experienced
but also takes you to build your own too.
Shopia was a girl who hate school and sent to a
psychiatrist who diagnoses her with depression and ADD. She states school was
just not her thing. When she was a teenager, she did shoplifting to pay her
bills, did some odd jobs, and after went through for seven years hard work, she
ends up being the CEO of a $100-million-plus business with
fifty-thousand-square-foot-office in Los Angels, a distribution and fulfillment
center in Kentucky, and three hundred and fifty employees.
“It’s unfortunate that school is so often regarded as a one-size-fits-all kind of deal. And if it doesn’t fit, you’re treated as if there is something wrong with you; so it is you, not the system, which is failing.” (page 71)
There are (at least) five lessons I learned from this book:
1. Be an alien is
better than to lose yourself.
The common mistake is the assumption that people have to be
like everyone else instead of being an alien. Though everything went smoothly just
a matter of time until you realize that you start to lose yourself.
“When you don’t dress like everyone else, you don’t have to think like everyone else." Iris Apfel (page 216)
2. Life serves who
take a risk
For you who plan a lot but still afraid to take an action, this :
“We’re all going to die, it’s a question of when and how- so be brave!” Alexy Wasser”(page 98)
and this :
“My advice to #GirlBosses is to get exicited about the mistake you’ll make.” Leandre Medine (page 215)
3. Dream Big and
Work Hard
Lucky is when you arrive just a moment before the bus left. Lucky is not something you can rely on to get success. Dream takes hard work to become real.“If something’s not working out, but you keep hammering at it in the exact same way, go after something else for a while. That’s not giving up, that’s just letting the universe have its way”(Page 125)
4. ‘Treat your mind
like your money; don’t waste it’
When was the last time you thought about people’s
opinion? Last week? Yesterday? Oh crap! Just
a minute ago. If you are just like me, Note
this:
“No matter where you are in life, you’ll save a lot of time by not worrying too much about what other people think about you. The earlier in your life that you can learn that, the easier the rest of it will be. You is who is you, so get used to it.”(page 141)
There will be people who underestimate what you do, tell what you should do, but the good news is you don’t need to listen all the
voices.
5. Be Confident
Be brave, be confident to be your self and work hard
but keep having fun with all those process.
“Confidence is more attractive than anything you could put on your body”.and the conclusion is :
“Life isn’t about finding yourself. Life is about creating yourself.”- George Benard Show (page 138)It's only you, who have the privilege to create your own life with your own style. So be brave and be #GIRLBOSS.
“Menurutmu lebih baik mana, menjadi
teman selamanya atau pernah begitu dekat tapi kemudian menjadi saling asing?”
Benar kata
orang, cuaca bisa mempengaruhi perasaan seseorang. Sepertinya gerimis yang
membekas di ujung celanamu membawa melankolis pada kepalamu. Kita sama-sama
tahu kemana arah pertanyaanmu, Jadi kubiarkan pertanyaanmu mengambang di udara yang dipenuhi aroma antiseptik. Kepalaku bahkan tidak repot-repot mengalihkan
pandangan dari lukisan alam di depan kita. Aku ingin pura-pura tidak mendengar,
tapi mulutku justru terkekeh. Menertawakan pertanyaan retorismu. Menertawakan diriku
sendiri.
“Heh, aku serius.”
Kamu menoleh
padaku, memacingku untuk membalas pandangan. Baiklah, kamu menantangku rupanya.
“Kamu mau jawaban panjang atau
pendek?”
“Sepertinya kita masih punya cukup
waktu untuk jawaban panjang”. Kamu berpura-pura melirik jam yang melingkar di pergelangan
tanganmu.
“Tergantung.”
Alismu mengeryit,
aku menghela napas untuk mendramatisasi ketidakpahamanmu itu. Ingin rasanya
kuucapkan terima kasih pada siapapun yang meletakan lukisan pada dinding di hadapan
kita, Memberiku alasan untuk tidak selalu memandangmu.
“Apakah ada kepentingan lain selain
hanya menjadi teman sehingga menimbulkan pilihan seperti itu?”
Kali ini
gantian kamu yang menghela napas berpura-pura mengejek pertanyaanku. Mengejek perasaanku.
“Anggaplah ada.”
Sejak kapan
kamu mulai berani seperti itu? Aku menghela napas, berlagak akan menjelaskan
sesuatu yang penting. Padahal mungkin percakapan ini akan segera menguap
sehabis kita tinggalkan kursi panjang yang menahan kita kini.
“Menurutku menjadi teman selamanya, adalah
pilihan teraman. Menyembunyikan perasaan dengan hati-hati dan menyimpan harap
sekaligus merasa tahu diri asalkan tetap bisa berinteraksi. Eh yang benar
tahu diri atau tidak percaya diri yah?”
Kamu mengangkat
bahu lalu memintaku melanjutkan.
“Yah terkadang, bisa berinteraksi
sudah cukup membuat senang. Namun kadarnya selalu sama. Jika digambarkan dengan
grafik, mungkin bermain aman begini hanya akan membuat garis lurus. Konstan. Kesenangan
yang konstan lama-lama akan menjadi membosankan (kalau tidak ingin dibilang
menyakitkan, garis lurus tanda ketiadaan bukan?) meskipun kabar baiknya hubungan
tetap terjalin dengan aman.”
“bagaimana dengan pilihan kedua?”
Kali ini
bukan hanya kepalamu, tubuhmu sudah berhadapan denganku. Aku tidak berminat
merubah posisi sedikitpun. Memandangmu hanya akan mengaburkan kata-kata dalam
kepalaku. Aku melanjutkan sambil tetap menatap lurus ke depan.
“Sebetulnya memberikan diri kesempatan
untuk menjadi begitu dekat berisiko lebih tinggi. Jatuh cinta memang tidak
pernah membuat bosan. Grafiknya mungkin akan fluktuatif, tapi pada saat
tertentu ketika jatah waktu kita telah habis, hubungan pertemanan berkemungkinan
akan ikut habis. Berakhir menjadi dua orang yang saling asing. Bukankah imun
kita menolak sesuatu yang asing?”
Meskipun pada kadar tertentu tubuh kita akan kebas juga tapi pasti efeknya tidak lagi baik. Jika sudah begini pada akhirnya menjadi saling asing lebih baik, jangan dilebihkan kadarnya, agar tidak kebas.
Kamu berdeham setelah hening beberapa menit. Tidak lagi menatapku. Tali sepatumu yang terlepas seolah menarik perhatian matamu, tapi tanganmu tetap tidak bergerak membenarkan.
Meskipun pada kadar tertentu tubuh kita akan kebas juga tapi pasti efeknya tidak lagi baik. Jika sudah begini pada akhirnya menjadi saling asing lebih baik, jangan dilebihkan kadarnya, agar tidak kebas.
Kamu berdeham setelah hening beberapa menit. Tidak lagi menatapku. Tali sepatumu yang terlepas seolah menarik perhatian matamu, tapi tanganmu tetap tidak bergerak membenarkan.
“Ndi, Seingatku, kamu orang yang suka
mengambil risiko.”
Aku mulai sesak
dengan aroma asam borat yang entah mengapa terasa makin pekat. Tapi untunglah suara
langkah para suster yang berlalu lalang membuat sunyi sementara ini tidak
terlalu menyiksa. Kamu tahu aku tidak berniat membalas pernyataanmu. Kamu
membaca keraguan (dan ketakutan) pada mataku yang mulai berair.
“Pilihan kedua bisa saja membuatmu
kecewa karena kehilangan seorang teman, tapi kabar baiknya, kamu bisa melangkah
maju, bermil-mil lebih jauh. Kamu jadi tahu satu hal, bahwa memang bukan dialah
orangnya”.
Belum sempat
kutanggapi omonganmu, Linggar datang dengan perban di kepala. Giginya yang
tidak rata mengintip saat meringis berusaha tertawa sekaligus menahan sakit. Aku
sadar kamu sedang memergokiku tersenyum lega.
Pagi tadi,
dengan panik aku menghubungimu begitu mendengar kabar Linggar terjatuh dari motor hingga kepalanya terbentur
trotoar. Rupanya suara isakan yang begitu pelan pun turut menjelma gelombang
radio hingga sampai pada telingamu walau ratusan meter jarak kita. Aku bahkan
dapat mendengar suara tanganmu menyambar kunci yang biasa kamu gantungkan pada
paku berkarat di samping pintu. Aku tahu kamu bergegas mengantarkanku walau
gerimis menyambar bajumu. Aku tahu kamu merasakan kecemasanku. Sejujurnya aku
tetap cemas kamu akan tahu. Walau mungkin, kamu sudah tahu.
“Indi, ambilah risikonya dan buktikan jatah waktu kalian tidak akan habis.”
Kamu
memaksakan tersenyum. Linggar yang belum sempat berkata apa-apa memandang kita bingung.
Aku tidak tahu harus menjawabmu atau menjawab kerut heran di kening teman
dekatku itu. Tapi melihatmu tersenyum, aku tahu, kamu sudah melepaskanku.
No matter how I think we grow
You always seem to let me know
It ain't workin'
You always seem to let me know
It ain't workin'
Lauren Hill's "Ex-Factor"
Dia melihatnya. Seorang anak laki-laki mengambil sepatu sandal yang diletakan di depan pintu.
Dua rumah dari tempatnya tinggal, adalah tempat sampah biasa dikumpulkan dan dibakar. Anak laki-laki itu tinggal di sebelah rumahnya, tepat di samping tempat pembuangan sampah. Anak laki-laki itu menyembunyikanya disana, atau membuangnya.
Seorang anak perempuan menangis. Kehilangan sepatu sandal barunya. Seorang wanita berpakaian rapi, lengkap dengan blazer yang belum sempat dilepaskannya, sibuk menenangkan anak pertamanya. Anak bungsunya mendekat. Dia menceritakan yang telah dilihatnya.
Seperti siang yang sudah-sudah, Wanita beranak dua itu selalu pulang ke rumah saat jam istirahat kantornya. Banyak hal yang harus diselesaikan. Baju kotor yang mengantri dibersihkan, makan siang yang harus disiapkan, dan terkadang hal-hal seperti ini: anak tetangga yang mencari masalah.
Dibuntuti dua putri kecilnya, Wanita itu datang mengetuk rumah tetangganya. Seorang Ibu membuka pintu, matanya bertanya, mulutnya menahan tawa, di sela kedua kakinya, anak laki-laki bersembunyi.
Entah bagaimana percakapan diselesaikan, setelahnya wanita itu sudah menenteng sepatu sandal baru anaknya yang kotor pada beberapa bagian. Sepatu sandal hasil sisihan komisi hari-hari.
Anak perempuan sudah tidak lagi menangis sementara adiknya mulai menghitung-hitung bulan, dalam hati menanti-nanti saat sepatu sandal itu menjadi muat dikaki kecilnya.
Bertahun-tahun kemudian: Hari ini.
Tidak ada pembuangan sampah di samping rumahnya. Tidak ada tetangga yang bingung menghabiskan harinya sampai perlu mencari masalah. Wanita itu tidak perlu buru-buru tiap kali jam istirahat kantor tiba. Dua anaknya telah dewasa, telah mampu beli sepatu atau sandal dengan uangnya sendiri. Wanita itu adalah wanita yang paling kuat. Orang hebat yang selalu sedia menyelesaikan tiap persoalan dalam dunia kedua anaknya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Selamat Ulang Tahun, Mama
-si anak bungsu,
ulfa sekar langit.
sumber : wikipedia.org |
Narasi tentang:
komidi yang tandus atraksi,
satu hari
pada lintasan lingkar yang terus berputar
kuda yang lehernya dibebat besi tua
mencoba menerpa norma
menanti menjajari kekasihnya
laju tertahan maju
mereka tak kunjung bertemu
dalam komedi
ironi adalah rekreasi
kekasih berputar sampai listrik dipadamkan
berlari tanpa dimampukan mengiringi
bukankah di taman ini
hadirin adalah saksi yang segan mengamini?
Mba A. pernah bilang, melihat pertunjukan seni akan membuat kita bertambah peka. Sebagai murid sekaligus penggemarnya saya percaya dan ingin membuktikan juga. Maka saya terpikir untuk mencicipi beberapa pertunjukan seni pada Festival Salihara Kelima di Galeri Salihara, Pasar Minggu.
Festival Salihara kelima diadakan mulai tanggal 13 September-22 Oktober 2014. Ada delapan belas pertunjukan utama pada rentang waktu satu bulan, juga berbagai fringe events menarik yang bisa ditonton secara gratis. Semula saya berniat melihat papermoon puppet theater bertajuk Surat ke Langit (A Letter To The Sky) yang disutradarai oleh Maria Tri Sulistyani. Sayangnya jadwal pertunjukan bersamaan dengan agenda ke Ujung Genteng tanggal 27 September lalu. Setelah menyesuaikan jadwal kembali, pilihan pun jatuh pada The Four Seasons Of The Year & Is'nt This A Lovely Day, Budrugana-Gagra Theater pada tanggal 19 Oktober Minggu lalu.
Saya bersama kakak datang pada pukul 07.00 untuk melakukan penukaran tiket, sementara pertunjukan baru akan mulai pukul 08.00 malam. Sambil menunggu, kami menikmati sebentar pernampilan Mata Jiwa sebagai salah satu fringe events malam itu (ada pula penampilan jenakawan Boris Bokir).
Khawatir akan mengantuk, kami putuskan untuk meminum kopi sebentar di kafe Salihara. Di tengah-tengah obrolan melantur kala itu, tiba-tiba seorang bapak berambut putih panjang khas pekerja seni, datang menghampiri kami. Semula beliau hanya berbasa-basi menanyakan pekerjaan, tahu event ini dari mana dan hal-hal semacam itu, sampai akhirnya beliau menyarankan kami (dengan sangat) untuk menonton pertunjukan berikutnya, Konser Ensemble Modern pada hari Rabu juga Opera Tari Gandari di Taman Ismail Marzuki adaptasi dari puisi Gandari oleh Goenawan Mohamad. Kami sebagai insan-buta-seni, mengangguk saja demi sopan santun sambil tersenyum. Beliau bahkan menjanjikan tiket gratis untuk kami berdua jika kami datang. Setelah percakapan usai, barulah kami tahu beliau adalah Pak Tony Prabowo, komposer senior sekaligus dewan kurator di Salihara (maklum namanya juga insan-buta-seni hehehe).
Budrugana-Gagra Theater adalah kelompok teater bayangan tangan asal Tbilisi, Georgia yang didirikan oleh Gela Kandelaki pada 1982. The Four Season of The Year sendiri berkisah tentang seorang anak beruang yang mengalami petualangan berbeda dari musim semi hingga musim dingin. Sementara Is'nt This A Lovely Day tentang siklus hidup manusia, dari kelahiran hingga kematian dan keabadian jiwa.
Ngomong-ngomong saat menonton kami duduk tepat di belakang Riri Riza, sempat melintas pikiran untuk memaksanya memberi peran sebagai pasangan Nicholas Saputra entah di film apa, tapi untung saya tidak sedang berada dibawah pengaruh alkohol dan tersadarkan dalam sekejap.
EM preparation |
Kemarin malam, Rabu 22 Oktober 2014, saya dan kakak betulan datang lagi untuk menonton konser Ensemble Modern (EM). EM ditampilkan oleh lima musisi. Mereka memainkan komposisi karya Pierre Boulez, Nicholas A. Hubber, Helmut Lachenmann dan komposer lainnya. EM adalah kelompok musik kamar yang berpusat di Frankfurt. Penampilan mereka yang unik dan berbeda berupa teater musikal, proyek tari dan video, musik kamar dan konser okestra.
Ketika sampai di lokasi, Pak Tony yang melihat saya datang langsung menyambut, rupanya beliau masih ingat (saya jadi GR sedikit) dan tetap menawarkan tiket gratis padahal kami sudah terlanjur beli (yaaaah pak telat heheu). Konser EM sekaligus sebagai penutup Festival Salihara kelima, anehnya tidak ada seremoni maupun fringe events hari itu. Rupanya setelah selesai menikmati konser, para tamu diundang untuk makan malam bersama di roof top bersama para musisi dan pekerja seni yang ikut menonton hari itu. Kami bebas berinteraksi dan bertanya apa saja pada orang-orang hebat itu, bahkan seluruh pemain Budrugana Gagra pun turut hadir malam itu.
EM sendiri memang hal baru untuk telinga saya. Jujur saja pada salah satu penampilan, saya sempat mengantuk dan hampir tertidur. Udara dingin sekali dan saat itu pukul sembilan malam, plus saya belum paham cara menikmatinya. Tapi saya belajar banyak (atau sedikit). Bahwa kadang seni tidak bisa dicerna dengan kepala telanjang. Mungkin mengapa melihat pertunjukan seni membuat makin peka, adalah karena justru untuk menikmatinya dibutuhkan kepekaan. Peka bahwa keindahan bisa jadi datang dari bunyi-bunyian yang menggangu. hahaha entahlah, saya cuma sok tahu, ingat saya masih tetap insan-buta-seni. Yah barangkali ada yang berniat membuka mata saya agar tidak terlalu buta dengan mengajak ke pertunjukan-pertunjukan lain-> kode, iyah ini kode hahaha.
Mata Jiwa Performance |
roof top dinner as closing ceremony |
hai
selamat pagi lagi,
ada salam
dari
puntung rokok
plastik kacang
daun-daun kering
sterofoam bubur ayam
genangan jus lengket
dikerubungi lalat
seperti mayat
seperti akalmu yang seperti mayat
juga dari
teman malammu
mereka bilang
jangan tinggalkan kami di taman.
:)
#1.
Sambil melagukan keresahannya
harga merosot pada lampu sorot
mereka buta
yang memberi gelora
sering kali yang merasa paling lega
Tangan-tangan titipan bertepuk
perhatian diteguk
dahaga pada yang tidak kasat mata
#2.
kebahagiaan seperti baju baru yang
dipamerkan
adu banding jumlah berlian
dan kualitas jahitan
menghitung yang bersorak
demi perbawa yang telah koyak
#3.
Di Taman Kanak-Kanak
dosa dilelang persis pasar ikan
palu ditalu
pilu ditiru.
note : saya kesal pada sosial media, yang tua lupa sudah masanya menjadi dewasa dan saya kesal karena suka terbawa juga haha.
Saya menulis ini lantaran seharian menemani nenek saya menonton sinetron. Saya ingin mengamuk, bukan kepada nenek saya, tapi kepada produser film yang tega-teganya memberi pilihan yang seperti itu.
Sinetron adalah tayangan yang dapat dinikmati bahkan tanpa memutar otak sedikit pun (karena akan kesal juga kalau terlalu banyak memakai otak saat menontonnya). Dilihat dari polanya, Sinetron tidak jauh berbeda dengan dongeng anak yang memiliki tokoh baik, tokoh buruk dan keajaiban yang dipaksakan. Bedanya dongeng anak dikemas untuk memberi pesan moral (dengan akhir yang selalu menyenangkan untuk membuat anak-anak merasa aman), sementara sinetron membawa pesan moral sebagai tempelan agar terkesan sedikit 'penting'. Misalnya sinetron yang aktrisnya mengenakan jilbab, disertai scene berdoa berderai air mata dengan suara yang sama sekali tidak lirih. Jadilah sinetron dengan tempelan religius. Walaupun isinya jauh dari nilai agamawi.
Katanya mayoritas penggemar sinetron adalah kalangan menengah ke bawah. Mungkin karena mereka memang tidak punya banyak pilihan. Misalnya saja nenek saya itu. Di desa tempat nenek saya tinggal, channel TV tidak sebanyak di kota besar. Seingat saya hanya ada SCTV, RCTI, INDOSIAR, dan Trans TV. Mayoritas acara pada channel yang saya sebutkan itu ya Sinetron. Disana tidak banyak perpustakaan umum, pusat perbelanjaan, ataupun museum, yang saya tahu paling alun-alun kota. Jadilah kotak ajaib elektronik itu yang menjadi alat penghibur.
Saya pikir maraknya acara sejenis, bukan masalah tingginya minat penonton atau rating, karena bagaimanapun juga masyarakat hanya menerima dan memilih sementara produsen yang menyediakan pilihan. Kalau tidak diberi pilihan yang ringan seperti itu, saya yakin masyarakat dapat dengan mudah beradaptasi pada acara yang lebih bermutu. Masalahnya tidak semua orang memiliki pilihan yang beragam. Tidak semua orang punya televisi kabel dengan berbagai program. Tidak semua anak memiliki pendamping yang mampu membimbing. Kalau dicermati, sinetron memaksa kita mengikuti konstruksi sosial yang sok tahu, Seperti remaja yang dicekoki adegan percintaan yang membuat mereka tumbuh dengan dependensi yang tidak pada tempatnya. Coba pikir, darimana anak-anak SD jaman sekarang tahu yang namanya pacaran kalau bukan acara-acara di televisi.
Tapi barangkali ada sisi baik dari sinetron yang belum bisa saya tangkap. Walaupun begitu tetap saja saya berharap yang berwenang ini memberikan pilihan yang lebih berwawasan, Agar kesepian-kesepian yang coba diisi televisi tidak lagi sekedar membodohi.
note : saya memang mengeneralisir sinetron yang ada, karena bisa saja ada sinetron yang 'bagus' (meski saya tidak tahu).
note : saya memang mengeneralisir sinetron yang ada, karena bisa saja ada sinetron yang 'bagus' (meski saya tidak tahu).
Is there anything that you afraid will happen to yourself or someone you care the most?
I bet you'll answer yes (or maybe just me). I myself have something that I thought I cannot throw it well or at least without crying so
hard and have a bad-tempered for several days.
I Thought that until God proves me otherwise.
A God who has created you, He knows you more than yourself. When
you think you can't afford anymore, He shows your true strength.
Well, Bad things happened recently
and In fact everything is okay. I don't even cry a single tear (I amazed with myself for this reason) Some questions
meet the answer by themselves. Someone asked me quietly, Fa, Why do you spend
your precious time for dizzying something you can't control? Why do you still
regret something that can't be fixed? If you don’t have any good reason for
that, oh please, let it go!
Furthermore, human can’t stop learning. In each event, there are
lessons that must be understood if you don’t want to do remedial. Then, when you got the point, everything becomes easier.
And guess what, you also get the bonus : precious lesson called
experienced.
The lesson that tells you, that maybe you know nothing. We do not even smart enough to know what is good for
ourselves.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Perhaps you hate something, even
though it is very good for you, and may (also) you like something, even though
it is very bad for you; Allah knows,
while you do not know.” (Al-Baqarah: 216)
This ignorance should make us
more grateful, work and pray harder. So that at least our desire in harmony
with the omniscient
Relax and Never underestimate
your power.
kamu melipat kemeja putih kesukaanmu,
pelan-pelan disusul celana panjang berwarna biru tua
yang aku tahu, kamu sedang bersiap pergi
sudah hampir setengah isi lemari pindah ke dalam kopermu
aku berdebar-debar menunggu giliranku.
aku menunggu.
sampai tanganmu menutup rapat tas yang telah penuh.
kamu bergegas, deru mobil diluar kamu sahuti dengan teriakan,
meminta menunggumu sebentar lagi.
setelahnya, derap kakimu terdengar menjauh
aku menghitung-hitung
berapa lama lagi rayap rakus membuat lubang atau tikus menjadikanku selimutnya
aku berdebar-debar
bukan debaran senang seperti pertama kali
kulihat wajahmu yang bersemu, mengambilku dari tangan gadis itu
untunglah aku tidak akan bertemu dengannya lagi
karena sungguh aku tidak punya jawaban
kalau-kalau ia bertanya
mengapa aku ditinggalkan
olehmu di dalam lemari yang bahkan tidak sempat kamu tutup.
pelan-pelan disusul celana panjang berwarna biru tua
yang aku tahu, kamu sedang bersiap pergi
sudah hampir setengah isi lemari pindah ke dalam kopermu
aku berdebar-debar menunggu giliranku.
aku menunggu.
sampai tanganmu menutup rapat tas yang telah penuh.
kamu bergegas, deru mobil diluar kamu sahuti dengan teriakan,
meminta menunggumu sebentar lagi.
setelahnya, derap kakimu terdengar menjauh
aku menghitung-hitung
berapa lama lagi rayap rakus membuat lubang atau tikus menjadikanku selimutnya
aku berdebar-debar
bukan debaran senang seperti pertama kali
kulihat wajahmu yang bersemu, mengambilku dari tangan gadis itu
untunglah aku tidak akan bertemu dengannya lagi
karena sungguh aku tidak punya jawaban
kalau-kalau ia bertanya
mengapa aku ditinggalkan
olehmu di dalam lemari yang bahkan tidak sempat kamu tutup.
Membaca karya seseorang yang kita kagumi adalah satu
proses yang menyenangkan. Kita seperti diizinkan menyelami otak sang empunya
tanpa syarat. Meskipun hanya permukaannya sekalipun.
Simple Miracle, karya teranyar Ayu Utami sebagai buku pertama
dalam seri Spiritualisme Kritis mengangkat doa dan arwah sebagai tema.
"Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis."
Sayangnya kali ini saya harus memilah-milah
waktu dan tempat saat membacanya. Sebagai seorang penakut, membaca tulisan
bertema arwah dan hal-hal yang berkaitan dengannya adalah pencapaian tersendiri
buat saya. Saya menyelesaikan buku ini di dalam sebuah bis menuju Jakarta.
Siang hari tentu saja. Meskipun tetap saja pada malam harinya saya menjadi
lebih penakut dari biasanya.
Menurut penuturan Ayu Utami dalam bukunya, Simple
Miracle sengaja dibuat bersamaan dengan hari ke-40 setelah kematian
ibunya, namun karena satu dan lain hal buku ini baru rampung pada 100 hari kematian
sang Ibu. Simple Miracle memang menjadikan sang ibu sebagai
tokoh sentral. Sejak halaman ketiga penuturan tentang ketakutan ditinggal mati
ibu dari kacamata anak-anak sudah bisa membuat pembacanya menitikan air mata.
"Betapa mengerikannya hidup. Orang yang kita cintai bisa mati setiap saat."
Lembaran berikutnya adalah bagian yang
menegangkan (bagi saya) karena Ayu Utami mulai menuturkan pengalaman dan
pemahamannya tentang arwah dan sejenisnya. Tentang Bonifacius, keponakannya
yang memiliki kemampuan spesial, Bibi Gemuk dan Bibi Kurus yang gemar cerita
hantu dan hal lainnya yang berputar persoalan itu.
"Ibuku tetap ada untuk menjaga kami dari kecerdikan yang tidak pantas."
Pembaca akan dibuat akrab dengan karakter ibu
yang lembut dan penyayang. Bagaimana bakti Ibu merawat Ayah yang telah sakit
selama bertahun-tahun juga pada Bibi Gemuk, kakak suaminya. Kisah pun menuju
klimaks dengan mengharukan.
"Untuk hal-hal yang tak bisa diverifikasi, aku memilih berdoa."
Pandangan kritis dan kenangan Ayu Utami tersebar
hampir di setiap halaman, tentang hal-hal gaib dan segala mitosnya, tidak
terkecuali pada Tuhan yang juga gaib. Pada tiap lembar pembaca seperti
diperlihatkan sebuah proses pemahaman dari hal-hal yang semula disangkal.
Sayangnya, saya sedikit kecewa karena
menemukan beberapa kesalahan penulisan bahkan pada halaman-halaman awal dan
beberapa halaman setelahnya (kalau tidak salah ada pada halaman 30, 70, 87 dan
75).
Tapi tetap saja pemikiran Ayu Utami yang selalu
cerdas dan kritis dalam banyak hal membuat saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca.
"Sesuatu yang tidak kita alami secara empiris, bukan berarti tidak ada secara logis. Jika kita tidak mendengar frekuensi bunyi tertentu, bukannya bunyi itu tidak ada. Anjing bisa mendeteksi bunyi yang tak kita dengar atau bau yang tak kita hirup. Kalau kita tidak menyaksikan apapun, barangkali itu karena keterbatasan dan kebebalan kita sendiri." (hal 69)
Seharusnya saya tidak menulis dalam keadaan sentimental begini. Apalagi hari sudah larut malam. Akal biasanya berpamitan istirahat dan perasaan mulai sibuk ambil alih. Kasihan akal, kelelahan menentukan nominal dan moral seharian. Catarsis, anggap saja begitu. Silakan wahai perasaan yang sentimental kamu boleh sentimen pada hal-hal remeh temeh kali ini. untuk kali ini saja. Seperti pada tolakan halus temanmu saat kau ajak mengikuti suatu acara. padahal halus, tapi menurutmu yang sedang sentimen bentuk penolakan saja sudah kasar. Mungkin begitu jika terbiasa dituruti semua keinginannya. katanya kan love without depending, ketika sudah tergantung namanya bukan lagi cinta tapi ego. Sebuah kebiasaan bisa menjurumuskan karakter yang fitrahnya suci menjadi tak tahu diri, pun sebaliknya. Maka mungkin itulah perubahan menjadi begitu urgen.
Ritual membeli sepatu NB (New Basket abal2) tiap lima bulan sekali (karena sepatu abal-abal hanya bertahan 5-6 bulan) bersama teman-teman SMP di pasar dekat rumah sudah menjadi memori sendiri. Memori ini menguak saat melihat pasar sedang diruntuhkan. Mungkin kini peraturan SMP sudah tidak seperti dulu hingga siswanya bisa bebas memakai sepatu warna warni yang berkualitas. Tapi kenangan menyikat hanya bagian depan dan pinggiran putih agar sepatu tampak bersih tanpa dicuci, atau kebiasaan merekatkan pinggiran putih yang terkelupas dengan lem fox tidak hilang hingga kini. Saya mengamati pasar yang kini berupa reruntuhan. Rasanya perubahan memberi sepi tersendiri.
Teman saya, sebutlah si D, bapaknya adalah juragan angkutan kota alias angkot sekaligus anggota DPR. Anak ini bolehlah dibilang berada. Tapi yang tersimpan di laci-laci cerebrum saya adalah kesederhanaan dan keluguan teman saya ini. Ketika kami hendak berjalan-jalan bukannya membawa mobil, D justru membawa salah satu angkotnya dan jadilah kami berekreasi menggunakan angkot. Pernah suatu ketika D menyukai seorang gadis di kelas sebelah. D hanya berani memujanya dari jauh. Caranya? menuliskan nama sang pujaan dihimpit kata "Neng" dan "Geulis" di belakang kaca salah satu angkotnya . Manis dan norak dalam satu paket. Kini D sudah besar seperti saya, kedewasaannya melebihi kedewasaan saya. D sudah menikah dengan gadis yang lain. D sudah tahu caranya berpakaian necis dan menggunakan mobil yang berprestise. D mengikuti jejak bapaknya menjadi anggota DPR. Saya tidak tahu apakah di salah satu angkotnya masih ada tulisan "neng geulis", tapi yang jelas D sudah berubah. Perubahan yang terkadang membuat kita disambar rindu. Rindu dengan D yang sederhana dan lugu.
Tapi kan bukan hanya pasar dan D yang berubah. Kamu Saya Mereka hari tanggal musim semua tidak ada yang statis. Kalau masih heran dan mengeluhkan perubahan mungkin artinya kamu betul-betul perlu berubah.
Meskipun ada hal-hal yang didoakan untuk tidak berubah. Misalnya kebersamaan keluarga yang makin tua penghuninya, makin mahal waktunya.
atau kebiasaan mama memasakan makanan kesukaan tiap kali pulang ke rumah(campuran antara ego dan cinta). Walaupun didoakan bagaimana pun juga, toh sama saja. Ketika mulai dewasa saya mulai paham konsep keabadian sejatinya milik Tuhan saja sementara kita adalah lakon hidup yang fana. Doa pun berubah menjadi permohonan agar diberi kesiapan saat terjadi perubahan, kita tidak lagi berusaha menyangkalnya sekarang.
Sentimen saya yang berujung melantur ini (dengan dalih catarsis sekali lagi) pun hanya rasa yang fana. Masalah-masalah yang(seolah-olah) kamu pikul sendiri sampai carut marut tahunya fana juga.
Beruntung sekali kalau begitu.
pelepasan bayi penyu |
Buih ombak yang berkejaran menyambut kedatangan kami setelah tunai sembilan jam diperjalanan. Kami datang bertepatan dengan acara pelepasan bayi-bayi penyu ke tengah pantai. Serombongan orang sudah bersiap mengelilingi petugas yang meletakan penyu satu persatu untuk dibiarkan berjalan. Tidak jarang ada penyu yang tersangkut di kedalaman pasir bekas jejak kaki orang, lalu berjalan lagi beberapa detik kemudian. Sore hari, ketika air laut pasang, ombak yang menyambar menjemput bayi-bayi penyu menuju rumahnya yang lain.
Perjalanan dari Cikarang
Bersama lima orang teman, kami memulai perjalanan pada pukul 6.30 pagi dan tiba di lokasi pada pukul 3.30. Beberapa kali berhenti untuk makan dan membeli jajanan. Perjalanan hanya ramai di beberapa titik tertentu dan tidak ada kemacetan yang berarti. Perlu ekstra hati-hati karena beberapa kali akan melewati jalanan berkelok dengan tanjakan yang cukup curam serta berbatasan dengan tebing. Beruntung salah seorang teman sudah pernah mengunjungi pantai Ujung Genteng ini, hingga kami tidak perlu memakai jasa travel atau mencari tour guide.
Curug Cikaso
Curug Cikaso ketika kering |
Penginapan dan Biaya
Awalnya kami berniat menginap di pondok Hexa mengikuti rekomendasi seorang teman, Namun begitu tiba, pondok Hexa telah penuh disewa. Kami pun ditunjukan pondok lain yang tidak jauh dari sana. Akhirnya kami menyewa satu kamar di pondok Harmoni sementara teman lelaki kami membuat tenda di depan kamar. Harga kamar permalam di pondok Harmoni Rp.300.000 (fasilitas AC dan kamar mandi di dalam).
estimasi dan biaya aktual |
Berhubung kami membawa bekal untuk makan siang dan ternyata masih tersisa banyak untuk makan malam, kami pun tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk persoalan makan. Kami hanya mengeluarkan uang makan untuk sarapan pada hari kedua dan makan siang ketika perjalanan pulang.
Untuk menikmati pesona pantai Ujung Genteng dan Curug Cikaso dua hari satu malam, kami mengeluarkan sekitar 320 ribu perorang.
Pasir bersih menghampar di sepanjang pantai Pasir Putih dan ombak tinggi bergulung membuat kami berdecak kagum. Meskipun belum mendapatkan matahari terbit yang indah lantaran posisinya yang berlawanan namun Ujung Genteng tetap saya masukan ke dalam list rekomendasi untuk dikunjungi.
Saya pribadi memberikan poin 8/10 untuk keindahan pantai Ujung Genteng.
Mari merencanakan destinasi liburan berikutnya :)
cerita kita belum cukup mapan untuk dikawinkan
angin membatu jadi penghulu
menggigilkan;
mengizinkan peluk yang menggagalkan
Ada banyak ruang diantara jemari
yang saling menggenggam
lalu Tuhan mengisinya dengan setan
Setan:
adalah makhluk lucu yang kita pelihara
kita susui sama-sama
pipinya gembil berwarna merah muda
tangannya menggapai-gapai wajah kita
belati di belikatnya
kita kira tangga menuju surga.
(Photo credit by theboyofcheese on devianart) |
Sejujurnya ketika dia membuka pintu hingga terdengar bunyi klenengan yang bergerak-gerak, aku segera meletakan buku yang sedang kubaca untuk memperhatikan siapa yang baru saja tiba. Tidak setiap bunyi klenengan membuat perhatianku teralihkan, hanya entah mengapa tepat ketika aku mulai sedikit jenuh dengan buku yang kubaca, saat itulah kepalaku ingin mendongak dan mendapatinya melangkah dari luar. Hujan yang masih deras di luar membuat kafe ini mendadak ramai. Dia menyampirkan jaket yang setengah basah di bahunya. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Mungkin dia hanya orang lewat yang kebetulan ingin meneduh. Aku baru tersadar ketika langkahnya mendekati tempatku duduk. Mataku menangkapnya lagi, mencoba mengingat apakah dia seorang kenalan di masa lalu yang kulupakan, jika bukan untuk apa dia menghampiriku. Lalu berlatarkan suara hujan yang berisik, suaranya yang asing menyambar telingaku.
"Kosong?"
"Silakan."
Tentu saja, tidak ada tempat duduk lain yang masih kosong selain di mejaku. Ternyata kita memang hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu. Berterima kasihlah pada pelayan yang menanyakan pesanan dan mengira kami berdua adalah sepasang karena setelah sama-sama tertawa kikuk, akhirnya dia membuka obrolan. Beruntung sebagai orang Indonesia, kami sangat ahli berbasa basi. Bahkan kopi krimer yang ia pesan menjadi bahan obrolan yang membawa kita dari rasa keterasingan.
"Ada orang yang merasa dirinya seperti krimer." Sebut aku konyol karena tiba-tiba melontarkan pernyataan yang tiba-tiba melesat pada pikiranku begitu saja, dahinya mengeryit seolah meminta kujelaskan.
"Krimer, tidak bisa dinikmati secara mandiri, sifatnya pendamping saja, bukankah ada orang-orang seperti itu? merasa dirinya berguna hanya jika disandingkan dengan hal lain?"
"Faktanya aku tidak bisa meminum kopi tanpa krimer, bukankah itu menjadikan kopi dan krimer setara? ".
Aku tidak tahu apa maksudnya dan apa sebabnya sampai ujung bibirku tertarik begitu saja.
Apakah kamu sudah sampai pada bagian kesimpulan yang kumaksud di bagian awal tadi? apakah aku perlu menjelaskan bagaimana cara berpakaiannya karena bisa saja jangan-jangan itu yang membuatnya begitu tepat. Sebetulnya tidak ada yang berbeda dari caranya berpakaian. Dia mengenakan kaus hitam, celena jeans dan sepatu. Kemudian kamu akan tertawa karena menyadari caranya berpakaian sangat biasa, bukankah semua laki-laki yang kamu temui di jalan berpenampilan seperti itu? dengan jaket dan tas ransel. Aku pikir kamu pun akan mengomentari minuman pilihannya. Menurutmu aku akan merasa tepat jika saja dia memesan kopi hitam atau espresso dan bukannya kopi dengan krimer saja.
Tapi sore itu, ketika suara hujan yang semula berisik mulai mereda, semuanya terasa begitu tepat.
"Sepertinya sudah tidak hujan, aku harus pergi".
Pada bagian ini kamu akan menertawakanku, bukan?
Semuanya begitu tepat sampai terasa tidak lagi tepat. Hujan hanya ingin membuat kita berani mendefiniskan moment apa yang sedang kita alami. Lalu saat hujan benar-benar berhenti bukankah tidak lagi aneh jika tiba-tiba matahari menjadi dua kali lebih terik. Jadi kupikir mungkin saja masih ada yang tidak terbiasa dengan panas Jakarta dan ingin meneduh sebentar.
"Itulah mengapa kamu tetap duduk di sana?" tawamu pecah sedetik setelah kuanggukan kepala.
if you're worried and you can't sleepjust count your blessings instead of sheepand you'll fall asleep counting your blessings(Irving Berlin)
Alhamdulillah saya dikelilingi orang-orang hebat yang membuat saya merasa malu menjadi biasa.
Alhamdulillah saya dipertemukan dengan orang-orang yang memandang hidup dengan kacamata yang tidak membuat buta.
Alhamdulillah saya ditemani orang-orang paling kuat yang tidak melemahkan sekitarnya.
Alhamdulillah saya diberi kesempatan berkumpul dengan orang-orang baik; orang-orang yang mengerti kalau menjadi baik tidak cukup hanya tahu yang benar dan salah, orang-orang yang tahu kalau peduli tidak cukup membagi pikiran memalui tweet 140 karakter saja, orang-orang yang berani membuat perubahan sekecil apapun.
Alhamdulillah saya diperlihatkan hidup dari banyak sisi, kalau hidup tidak melulu hitam dan putih, ada abu-abu yang tidak boleh diadili dengan sok tahu.
Alhamdulillah saya didekatkan dengan teman-teman yang berjiwa seni, yang tahu kalau hidup perlu indah untuk diapresiasi dan ketegangan yang bisa dinikmati.
Alhamdulillah.
Teman2 dari Kelas Menulis Kreatif Ayu Utami |
Teman2 dari Tantangan Menulis dgn Jia Effendie |
Teman2 dari FLP Jakarta angkatan 18 |
Teman2 dari Indonesia Mengajar & Indonesia Menyala |
Teman2 TBIM Bonbar |
dan semua orang yang pernah saya kenal.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)