In Thought

Sepotong Jawa di Kepala Minke


Judul Buku      : Anak Semua Bangsa
Jenis Buku      : Novel
Genre              : Fiksi – Roman
Penulis            : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit          : Lentera Dipantera
Cetakan          : 12 Januari 2010
Bahasa           : Indonesia
Tebal Buku     : 539 Halaman
No ISBN          : 979-97312-4-0

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir”.



            

            Anak Semua Bangsa, buku kedua dari tetralogi Pulau Buru yang sempat dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa ini sama apiknya dengan buku pertamanya. Kematian Annelies menjadi awal yang pilu telah diceritakan pada halaman-halaman pertama. Pedih yang begitu hening dan dalam akan turut dirasakan pembaca. Namun, masalah seumpama penggemar setia Nyai Ontosoroh dan Minke, mengikuti terus tidak kunjung selesai.
 Perjalanan Nyai dan Minke ke Tulangan dengan niatan mencari penghiburan justru mendapati kenyataan pahit yang lain lagi. Kisah Surati, gadis cantik yang telah merelakan wajah cantiknya demi menghindari menghadapi kisah serupa Nyai juga kisah pertemuan dengan Trunodongso petani jawa yang tidak dapat mempertahannya lahannya sendiri, menyadarkan Minke bertapa selama ini kekagumannya pada eropa membuatnya tidak mengindahkan bangsanya sendiri. Dalam perjalanannya inilah, Proses pencarian jati diri Mingke berbuah hasil. Minke pun akhirnya menyadari betul, bahwa dirinya serupa anak semua bangsa.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kurangnya Bilangan.

Tahun menambahi tanpa ampun
tidak silap satu angka pun
Jatah dikurang-kurangi
menganak semang menyisakan bilangan bulan

Pada Tuhan tanpa biaya
nyawa mulai habis masa sewa

Sisa lelatu memercik kian padam
di depan itu gelap mengangkat parang

Takut yang kamu suapi sampai beranak
memancit mencicit memeka hidup
menanyaimu bak jurnalis
enteng berbalas-balasan

satu pertanyaan kamu sisakan
tak berilmu untuk jawaban

Hendak apa? bunyinya.



*Dipicu kebanyakan begadang cepatnya waktu berjalan, bertambah usia tapi belum juga jadi apa-apa. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Potongan Senja Terakhir


Pukul 6 sore kala itu, seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi. Segera diambilnya amplop putih yang tergeletak di atas keset depan pintu rumahnya. Cahaya berpedar dari dalam amplop. Tangannya gemetar, setetes demi setetes mengalir pada kedua pipinya. Bibirnya tersenyum takzim sementara dadanya membuncah girang, begitu tiap pukul 6 sore seperti yang sudah-sudah. 
Dipegang erat amplop berpedar cahaya oleh perempuan itu, lalu dirinya berlari kecil ke dalam kamar, dikuncinya ruang dari dalam. Cepat-cepat diraihnya toples kaca di dalam kolong tempat tidur. Potongan-potongan senja di dalam amplop yang baru saja ia terima, ia tumpahkan ke dalam toples yang telah dibuka, sementara amplopnya ia simpan di bawah bantal. Telah ada banyak amplop serupa di balik bantal. Kini toplesnya pun telah hampir penuh.
Perempuan yang tengah tenggelam dalam haru itu memandangi toples yang kini berada di pelukannya. Pikirannya mengawang ke wajah teduh yang tak lekang dalam ingatan. Lelakinya itu selalu menepati janji. Melihat rembesan senja pada tutup amplop, pastilah ia terburu-buru ketika memasukan senja ke dalam amplop lantaran takut ditinggal matahari yang akan tenggelam. Lelakinya itu memang selalu tergesa-gesa, kalau sudah begitu dinasehati pun tidak mempan lagi. Perempuan itu hanya bisa menertawai polah kekasihnya diam-diam. Ah bertapa sudah lama genap rindunya itu, bertambah-tambah pada tiap kepingan senja yang ia dapat.
Lelakinya tahu betul, senja disini tertutup bangunan tinggi dan genting semrawut rumah penduduk yang menjadi pemandangan hari-harinya dari balik jendela kamar. Kekhawatirannya saat harus pindah ke ibu 97 kota ini segera pupus lantaran janji lelakinya yang akan selalu mengirimkan potongan-potongan senja, agar tetap bisa menikmati hal yang sama seperti saat mereka bersama-sama dulu. Lelakinya itu, Banyu namanya.
“Almira, sudah waktunya makan.” Sebuah suara berat sontak membuatnya segera meletakan amplop yang tadi didekapnya kembali ke bawah bantal. Dihilangkan sisa-sisa haru yang nampak dari wajahnya, buru-buru ia patuhi panggilan suaminya itu.

Mamaku sangat menyukai senja. Kalau suasana hatinya sedang baik, tak jarang ia ceritakan padaku perihal warna pekat oranye yang berpedar di langit. Sungguh aku yang tidak paham hanya mengangguk saja seolah dapat merasainya juga. Di kotaku senja biasanya terhalang bangunan atau asap kendaraan hingga tak bisa dinikmati. Sore ini mama melakukannya lagi. Sudah sebulan polahnya seperti itu. Setiap pukul 6 sore tepat. Mama berjingkat-jingkat keluar rumah, mengambil amplop di depan pintu rumah. Aku mengintip saja dari jendela di ruang tamu. Mama sering salah tingkah kalau tahu aku memperhatikannya. Biasanya dengan buru-buru ia masuk ke dalam kamar, dikunci dari dalam. Pernah kutanyakan amplop apa yang ia bawa masuk dengan tergesa itu, saat itu matanya bercahaya namun berair, mulutnya rapat tidak menjawab.

Perempuan itu menggigit bibirnya, sementara jarinya bergerak-gerak tidak beraturan. Sore ini, tidak didapatinya amplop dari Banyu. Menurutnya Pasti ada yang salah. Pikirannya mengawang pada laki-laki itu. Bulir keringat membasahi pelipisnya, membayangkan kekasihnya terjatuh ketika sedang memetik senja baru untuknya. Bisa saja begitu. Sambil mengusap wajahnya, bayangan lain bermain di pikirannya seperti pariwara komersial yang berganti dengan cepat. Apakah ada gadis lain yang menagih senja yang sama, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuknya? Dia memainkan ujung rambut, sambil sesekali menggigiti kukunya. Perempuan itu berulang kali mengangkat keset di hadapannya. Memastikan sekaligus berharap ada yang terselip di bawah sana.

Aku bersembunyi lagi di balik tirai, mengamati mama yang berjalan tidak karuan. Sungguh aku tidak tahu gerangan yang terjadi pada dirinya, tapi rasanya aku tahu apa yang tengah ia cari. Akhirnya ketika mama masuk ke dalam kamar, kuikuti pelan-pelan dari belakang. Untunglah beliau lupa mengunci pintu, mungkin karena sedang dilanda khawatir yang entah karena apa rupanya.  Aku melihatnya mengambil sebuah toples dari bawah tempat tidur. Mama lantas berlari keluar, melewatiku begitu saja. Aku buru-buru mengejarnya dan berhenti saat langkah mama berhenti di depan rumah. Wajahnya yang kuyu itu menengadah ke langit sementara tangannya membuka toples kosong dan menumpahkan isinya ke udara, isinya yang tiada sejak semula.
 Kulihat mulutnya itu membuka

“Padamu Banyu, kulepaskan senjaku ke langit luas, kubiarkan  oranyenya memenuhi alamku saat ini. Kubebaskan senjaku seperti kubebaskan dirimu.”

Terbesit rasa bersalah menghinggapi dadaku yang sesak saat ini. Aku menyesal tak kuindahkan perkataan bapak yang menyuruhku mendiamkan saja tingkah mama. Tapi sungguh gemas melihat tingkah mama belakangan ini, tak tahan rasanya sampai tega kusembunyikan amplop yang tergeletak di atas keset itu, yang selalu mama letakan setiap fajar.  Tak tega melihatnya begitu terlalu lama, kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah. Kudapati bapak tengah meneguk segelas air dengan tenang. Sungguh aktor yang payah bapakku ini, bahkan dari tempatku berdiri masih dapat kulihat tangannya gemetar. Bapak mungkin tidak pernah menyangka kematian kekasih gelap istrinya justru menambah masalah baru.



(Tulisan ini diikutkan dalam Flash Fiction bertema Perempuan dan Senja oleh @13perempuans )

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Jangan Merasa Sepi

saya ingin pulang detik ini juga

menemuimu yang bergumam kelu
semakin menua hidup kian sepi
namun,
pikiranmu cerewet menyuruh diam

rasanya baru fajar tadi
bersembunyi di ketiakmu
mencari-cari
wangi keringat yang membuatku bisa lelap

bagaimana bisa daster tipismu  memberi hangat begitu banyak?

rasanya baru siang tadi
ikatan rambutku miring
dan kau sibuk menghentikan tangisku seharian

adakah yang menyapu basah pipimu saat ini?

sudah senja
saat kau menunggu di depan pintu
harum masakanmu menyambar ke udara
tanganmu merentang
menanti putri-putri kecilnya melompat dalam pelukan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] #TantanganNulis Kelas Pertama : Outline!

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. *kibas jilbab*

Hari ini, mumpung ilmu masih di lembar materi  kepala  dan mood masih ada, saya akan share materi kelas #TantanganNulis kemarin. Mau tau ga asal muasal saya bisa ikutan #TantanganNulis ini? apa? gamau?, okefain tidak akan saya ceritakan kalau begitu. *naonsih*.

Pemateri adalah Teh Jia Effendie; penulis novel 'Ya Lyublyu Tebya', 'Nyonya Perca', kumpulan cerpen 'Singgah', 'Perkara Mengirim Senja' dan masih banyak lagi sekaligus editor Gagas Media yang juga (menurut saya) jagoan dalam membaca puisi (silakan dinilai sendiri :https://soundcloud.com/jiaeffendie/,jiaeffendie.wordpress.com)  yang sekaligus salah satu penulis Indonesia yang saya kagumi.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kisah orang gudang

Tuanku,
Wajah-wajah jemu
Melekat pada kaca-kaca ruang
Menyadur senyum dari potret katalog barang

Pamong kami,
kehilangan prosedur menjadi Manusia
lantas beliau menjadi seadanya
lantas kami limbung hendak jadi apa

Maka,
Kami melipat tubuh-tubuh untuk disolasi
Kami menyusun diri ke dalam rak-rak karton
Kami melabeli jiwa dengan angka

Lalu,
Kami melompat ke ekspedisi yang sudah antri
Mencari-cari, berlari pergi.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Angkuh

Aku tidak akan mencintaimu dengan sederhana, meskipun ingin.

Mencintai yang meniadakan adalah kebebalan yang akan kusanggah.

aku tidak ingin menjadi abu, meskipun akan.

kamu gagal melalapku karena kepalang padam.

(lantas nurani mengamini Sapardi)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Akhirnyaaa, Teluk Kiluan *sujudsyukur*

Sabtu lalu setelah dikecewakan oleh Pesta Buku-nya GPU, dan membeli buku bajakan di palmerah (maafkan Ya Tuhan, jadi kecanduan beli buku kw begini -_-), Saya menjemput teman di daerah Ratu Plaza untuk bertemu teman lainnya di meeting point, Carefour MT Haryono. Rencana menghabiskan long weekend di Teluk Kiluan, Lampung pun terlaksana juga. Pukul 08.00 malam kami menuju merak, beruntung keberangkataan sabtu malam itu sangat  lancar. Dini hari kami sudah berada di Lampung.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments