Judul : Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
No. ISBN : 9786020304489
Penulis : Norman Erikson Pasaribu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Text Bahasa : Bahasa Indonesia
“Dan
dia menunggu semenjak dia ada di dunia. Kurasa sebesar itulah bakatku dalam
menunggu. Kurasa sebesar itulah aku ingin bertemu dengan hari itu. Dan berkata
kepadanya, "Hanya kamu yang tahu berapa lama lagi aku harus menunggu.”
Salahkan
saya yang miskin pengetahuan, karna baru tahu nama Norman Erikson Pasaribu,
padahal karyanya sudah banyak dimuat di media masa dan diantaranya pun tampil
kembali di “Laki-laki Pemanggul Goni: Cerpen Pilihan Kompas 2012”.
Pada kumcer ini pembaca disuguhkan 20 cerita untuk dinikmati. Beberapa karyanya memiliki rasa yang sama, namanya : Kesepian. Rasa kesepian ada pada cerita pertama “Tentang Mengganti Seprai dan Sarung Bantal”, “Membersihkan Rumah di Hari Libur”, “Guru Ramuan”, “Doa”, dan “Kondektur”.
Salah
satu cerita yang membuat saya mulai jatuh cinta dengan kumcer ini, adalah
cerita bertajuk “Garpu”. Garpu adalah analogi untuk tiga orang sahabat yang
memutuskan untuk tinggal di atap yang sama dan kecenderungan yang sama : tidak
menikah, untuk alasan yang berbeda-beda. Ada tokoh Aku, Adam dan Hawa. Konflik
dibangun ketika Adam yang semula homoseksual dan Hawa yang dahulu berniat
menjadi biarawati memutuskan untuk menikah. Saling mencintai membuat keduanya
kehilangan alasan. Tinggallah tokoh Aku yang memutuskan tidak menikah karena
diam-diam menyukai Adam.
Beberapa
masalah tidak diciptakan bersama solusinya, tapi dapat tuntas dengan satu sikap
: penerimaan, atau barangkali penerimaan adalah bentuk solusi yang paling
ampuh.
Norman menyajikan cerpen “Membersihkan Rumah di Hari Libur” dengan benang merah dari cerpen “Garpu”, entah hanya dengan tokoh dengan kisah yang sama atau memang tokoh yang berasal dari cerpen sebelumnya itu.
Satu lagi cerpen dengan twist yang apik, “Fatamorgana di Meja Makan”. Berkisah tentang Naheed yang mengajak Garda, sahabatnya untuk makan malam bersama Em, wanita yang dijodohkan orang tua Naheed. Dengan dialog-dialog santai, Norman menyetir pembaca untuk berasumsi pada awal cerita, lalu hanya dengan satu kalimat dari Naheed, klimaks dibangun.
“Aku berbohong,” Katamu cepat
sekali sambil menatap lurus kepadaku, “kukatakan padanya bahwa aku masih suka
perempuan”.
Aku dan Em terdiam, tertohok dengan
cara masing-masing.
Bagi
saya pribadi, cepen yang bagus seperti potongan puzzle yang disusun oleh penulis,
terserah padanya ingin menyusun dengan teratur atau acak. Tapi pada akhir
cerita biarkan saja menjadi gambar yang hampir utuh, sisakan lubang-lubang pada
puzzle yang hampir selesai untuk dilengkapi sendiri oleh pembaca, jangan jadi
penulis serakah dengan menyelesaikan semuanya.
Saya
rasa ekspektasi sebelum membaca telah tuntas dibayar penulis. Caranya bertutur
pada tiap cerita terasa menyenangkan bahkan dalam cerita muram sekalipun. Saya
bahkan dengan senang hati membaca beberapa cerita pada buku ini berkali-kali.
"Berbahagialah. Berbahagialah.
Di luar sana. Seseorang mencintaimu, seseorang tengah mencintaimu.."
0 comments:
Post a Comment
What do you think?