In Memories

Perbincangan tentang Hidup bersama Otak dan Hati.

Bagi saya mengendarai motor dalam perjalanan menuju kantor dan rumah adalah momen ketika saya bisa dengan santai menanggapi semua percakapan kepada/dari otak dan hati. Ketika mengendarai motor, semua yang bercokol terlontar satu demi satu. Bahkan angin yang biasanya hening akan menjadi sangat bising. Kegemaran saya ketika mengendarai motor selain bernyanyi adalah berbicara sendiri. Saya bukan hanya dapat mendengarkan ucapan saya sendiri, saya pun bisa menanggapinya dengan sesuka hati.

Sore tadi, dalam perjalanan pulang perbincangan kita -saya dan diri saya- perihal hidup. Kata orang hidup hanyalah proses menunda kematian. Misalnya, kita makan untuk menunda mati kelaparan, kita menyebrang hati-hati untuk menunda mati ditabrak, dll. Apakah kemudian mimpi-mimpi saya pun sekadar rentetan penunda kematian? Otak saya tidak mau terima. Manusia diberikan porsi hidup oleh Tuhan. Setelah porsinya habis maka bertemulah dengan porsi pada babak baru : kehidupan setelah kematian. Perjalanan menghabiskan porsi bukanlah proses penundaan melainkan proses pemuasan dan persiapan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] What I Talk About When I Talk About Running


Judul Asli      : Hashiru Koto Ni Tsuite Kataru Toki Ni Boku No Kataru Koto
Penulis          : Haruki Murakami
Penerjemah   : Philip Gabriel
Penerbit        : Vintage, Great Britain
Tahun           : 2009 (terbit pertama kali di Jepang: 2007)

Tebal            : viii + 181 halaman





Membaca memoar Haruki Murakami ini seperti sedang duduk santai dan berbincang-bincang bersamanya. Khas Murakami yang sederhana tapi tetap bisa dinikmati. Jenis buku yang bisa kamu habiskan dalam perjalanan atau bahkan ketika sedang menunggu.

Saya tidak tahu apakah akan sama efeknya pada pembaca lain, tapi bagi saya, penuturan Murakami  tentang lari membuat saya ingin cepat-cepat pakai sepatu dan berlari secara konsisten. Saya bahkan tertarik untuk mendengarkan musik yang direferensikan oleh Murakami yang sering ia dengar sambil berlari, seperti Rolling Stones' Beggars Banquet , Eric Clapton's Reptile, dan  Lovin Spoonful.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

22 JULI 2014

04.00 am.

(Khawatir nyampah di twitter, buru-buru lari ke blog)

Hari ini ada dua pengumuman penting. Pertama adalah hasil pilpres, pengumuman yang kedua adalah hasil Simak UI.

Tanggal 22 Juni lalu, akhirnya saya nekat ikut tes UI di depok. Berangkat dari rumah pukul 5.00 dan sampai di lokasi tepat pukul 07.00. Resiko tinggal di Kota *tetep* Jababeka, Cikarang. Saya naik mobil 59 (uki) sampai perempatan Cawang, naik ojek sampai stasiun Cawang, lalu naik kereta jurusan Depok sampai tkp (stasiun UI).

Tes diawali dengan tes potensi akademik, dilanjutkan dengan tes bahasa inggris. Ketika mengerjakan soal kuantitaif, fokus saya teralihkan pada satu hal : perut lapar. Sangat tidak disarankan mengerjakan soal TPA ketika lapar, karena ujung-ujungnya saya menggunakan lebih banyak naluri daripada logika -_-. Beruntung ada jeda istirahat sebelum tes berikutnya. Setelah makan dengan senang, saya pun bisa dengan tenang melanjutkan tes bahasa inggris.

Sehabis sahur tadi, saya lihat pengumuman di web Simak UI. Alhamdulilah saya diterima meski sampai sekarang (baru juga 1 jam) saya belum tahu harus apa. Melanjutkan studi  S2 psikologi adalah mimpi saya sejak dulu. Tapi menjalani perkuliahan reguler dan berhenti bekerja berkesempatan menumbangkan mimpi-mimpi saya yang lain. Situasi yang sulit dan membingungkan a.k.a dilema *halah*.

Beberapa menit yang lalu situsasi seperti ini membuat mood baik saya hilang, tapi sayangnya (atau untungnya) beberapa menit yang lalu juga saya mendapat kabar seorang teman baik akan lamaran. 
Saya jadi bingung mau tetap bingung atau senang. Bingungnya berganda. *informasi-yang-tidak-relevan*

Sudahlah, Semoga hasil pilpresnya ****.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Manusia yang Manusiawi

Jika kejujuran adalah proses menelanjangi diri. Apakah kamu masih  mau memakai baju?

Kita -atau saya- mungkin sesekali terlalu tebal memakai bedak meski tidak ada kerut yang hendak disamarkan. Mungkin saja alasan lainnya agar debu tidak masuk ke dalam pori-pori wajah dengan mudah. Pori-pori sudah disumbat terlebih dahulu dengan partikel bedak. Pfiuh, melegakan bukan?. 
Lalu ada teman bertanya, apa bedanya butiran bedak dengan debu? 

Apa yaaaah. yaaah beda!
Bisa gawat kalau tidak tahu bedanya, jangan-jangan selama ini bedakan memakai debu.

Eh, rasanya kejujuran tidak sedangkal melepaskan pakaian. Karena toh masih ada kulit yang menutupi lalu lintas darah, makanan dan tempurung yang menutupi pikiran. Mungkin harusnya kejujuran seperti menguliti ari, mengupas daging, sampai yang terlihat hanya tengkorak.Wajah kejujuran menjadi demikian menyeramkan. Menyeramkan karena kita tidak terbiasa melihat tengkorak. Kan, kebiasaan seringkali membiaskan, persis seperti dosa yang tidak kentara lantaran dilumrahkan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Alam Dengan Lancang Menyadur Dirimu

Alam dengan lancang menyadur dirimu

Misalnya saja,

#1 
Wajahmu yang mengarak di langit
ditebangi hujan yang patah-patah
lalu tumpah seperti air bah 
alam selalu lupa
aku belum lagi pandai berenang.

#2 
Tubuhmu yang bercabang dan berbuah
memayungi jalanan pulang
rutenya adalah titik-titik hitam
membawaku tidak kemana-mana.

#3
Lalu kamu menjadi bantal di kepala
menyusut ke dalam rongga telinga
menanam jentik tak bervaksin.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments