In Memories

Trip to Ujung Genteng 2D1N

pelepasan bayi penyu
Buih ombak yang berkejaran menyambut kedatangan kami setelah tunai sembilan jam diperjalanan. Kami datang bertepatan dengan acara pelepasan bayi-bayi penyu ke tengah pantai. Serombongan orang sudah bersiap mengelilingi petugas yang meletakan penyu satu persatu untuk dibiarkan berjalan. Tidak jarang ada penyu yang tersangkut di kedalaman pasir bekas jejak kaki orang, lalu berjalan lagi beberapa detik kemudian. Sore hari, ketika air laut pasang, ombak yang menyambar menjemput bayi-bayi penyu menuju rumahnya yang lain.

Pantai yang terletak di semenanjung barat daya Pulau jawa ini terkenal dengan ombaknya yang deras serta keastrian pantainya yang masih terjaga.

Perjalanan dari Cikarang
Bersama lima orang teman, kami memulai perjalanan pada pukul 6.30 pagi dan tiba di lokasi pada pukul 3.30.  Beberapa kali berhenti untuk makan dan membeli jajanan. Perjalanan hanya ramai di beberapa titik tertentu dan tidak ada kemacetan yang berarti. Perlu ekstra hati-hati karena beberapa kali akan melewati jalanan berkelok dengan tanjakan yang cukup curam serta berbatasan dengan tebing. Beruntung salah seorang teman sudah pernah mengunjungi pantai Ujung Genteng ini, hingga kami tidak perlu memakai jasa travel atau mencari tour guide.

Curug Cikaso
Curug Cikaso ketika kering
Setelah puas dengan beberapa pantai di Ujung Genteng, kami pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang kami mampir sebentar ke Curug Cikaso yang terkenal dengan air terjunnya yang sangat indah. Sayangnya saat kami tiba debit air sedang sangat kecil karena belum memasuki musim penghujan (meskipun sudah bulan September) sehingga kami tidak mendapati air terjun yang sudah kami bayangkan sebelumnya. Menuju curug Cikaso, kami menyewa perahu kecil melewati danau yang hijau dan asri sepanjang 200 meter. Kami membayar 75 ribu untuk harga sewa perahu dan biaya parkir kendaraan.

Penginapan dan Biaya
Awalnya kami berniat menginap di pondok Hexa mengikuti rekomendasi seorang teman, Namun begitu tiba, pondok Hexa telah penuh disewa. Kami pun ditunjukan pondok lain yang tidak jauh dari sana. Akhirnya kami menyewa satu kamar di pondok Harmoni sementara teman lelaki kami membuat tenda di depan kamar. Harga kamar permalam di pondok Harmoni Rp.300.000 (fasilitas AC dan kamar mandi di dalam).
estimasi dan biaya aktual

Berhubung kami membawa bekal untuk makan siang dan ternyata masih tersisa banyak untuk makan malam, kami pun tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk persoalan makan. Kami hanya mengeluarkan uang makan untuk sarapan pada hari kedua dan makan siang ketika perjalanan pulang.

Untuk menikmati pesona pantai Ujung Genteng dan Curug Cikaso dua hari satu malam, kami mengeluarkan sekitar 320 ribu perorang. 

Pasir bersih menghampar di sepanjang pantai Pasir Putih dan ombak tinggi bergulung membuat kami berdecak kagum. Meskipun belum mendapatkan matahari terbit yang indah lantaran posisinya yang berlawanan namun Ujung Genteng tetap saya masukan ke dalam list rekomendasi untuk dikunjungi. 
Saya pribadi memberikan poin 8/10 untuk keindahan pantai Ujung Genteng.

Mari merencanakan destinasi liburan berikutnya :)





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Surga

(photo credit by AlainaBrown on Devianart)

Pada bulan delapan kita bertemu
cerita kita belum cukup mapan untuk dikawinkan
angin membatu jadi penghulu
menggigilkan;
mengizinkan peluk yang menggagalkan

Ada banyak ruang diantara jemari 
yang saling menggenggam
lalu Tuhan mengisinya dengan setan

Setan:
adalah makhluk lucu yang kita pelihara
kita susui sama-sama
pipinya gembil berwarna merah muda
tangannya menggapai-gapai wajah kita
belati di belikatnya
kita kira tangga menuju surga.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

saat yang tepat

(Photo credit by theboyofcheese on devianart)
Kami bertemu dan semuanya terasa begitu tepat. Hanya itu saja prolognya. Kemudian kamu yang tiba-tiba menjadi lebih cerewet dari biasanya bertanya padaku, kenapa? kenapa menjadi terasa begitu tepat? Itulah mengapa akan kujabarkan padamu kejadian hari itu, mungkin kamu akan tahu apa yang menjadikannya begitu tepat atau jika belum ada yang berhasil kamu tangkap, mungkin karena kamu perlu mengalaminya sendiri.

Sejujurnya ketika dia membuka pintu hingga terdengar bunyi klenengan yang bergerak-gerak, aku segera meletakan buku yang sedang kubaca untuk memperhatikan siapa yang baru saja tiba. Tidak setiap bunyi klenengan membuat perhatianku teralihkan, hanya entah mengapa tepat ketika  aku mulai sedikit jenuh dengan buku yang kubaca, saat itulah kepalaku ingin mendongak dan mendapatinya melangkah dari luar. Hujan yang masih deras di luar membuat kafe ini mendadak ramai. Dia menyampirkan jaket yang setengah basah di bahunya. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Mungkin dia hanya orang lewat yang kebetulan ingin meneduh. Aku baru tersadar ketika langkahnya mendekati tempatku duduk. Mataku menangkapnya lagi, mencoba mengingat apakah dia seorang kenalan di masa lalu yang kulupakan, jika bukan untuk apa dia menghampiriku. Lalu berlatarkan suara hujan yang berisik, suaranya yang asing menyambar telingaku.
"Kosong?"
"Silakan."

Tentu saja, tidak ada tempat duduk lain yang masih kosong selain di mejaku. Ternyata kita memang hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu. Berterima kasihlah pada pelayan yang menanyakan pesanan dan mengira kami berdua adalah sepasang karena setelah sama-sama tertawa kikuk, akhirnya dia membuka obrolan. Beruntung sebagai orang Indonesia, kami sangat ahli berbasa basi. Bahkan kopi krimer yang ia pesan menjadi bahan obrolan yang membawa kita dari rasa keterasingan.

"Ada orang yang merasa dirinya seperti krimer." Sebut aku konyol karena tiba-tiba melontarkan pernyataan yang tiba-tiba melesat pada pikiranku begitu saja, dahinya mengeryit seolah meminta kujelaskan. 

"Krimer, tidak bisa dinikmati secara mandiri, sifatnya pendamping saja, bukankah ada orang-orang seperti itu? merasa dirinya berguna hanya jika disandingkan dengan hal lain?"

"Faktanya aku tidak bisa meminum kopi tanpa krimer, bukankah itu menjadikan kopi dan krimer setara? ".

Aku tidak tahu apa maksudnya dan apa sebabnya sampai ujung bibirku tertarik begitu saja.

Apakah kamu sudah sampai pada bagian kesimpulan yang kumaksud di bagian awal tadi? apakah aku perlu menjelaskan bagaimana cara berpakaiannya karena bisa saja jangan-jangan itu yang membuatnya begitu tepat. Sebetulnya tidak ada yang berbeda dari caranya berpakaian. Dia mengenakan kaus hitam, celena jeans dan sepatu. Kemudian kamu akan tertawa karena menyadari caranya berpakaian sangat biasa, bukankah semua laki-laki yang kamu temui di jalan berpenampilan seperti itu? dengan jaket dan tas ransel. Aku pikir kamu pun akan mengomentari minuman pilihannya. Menurutmu aku akan merasa tepat jika saja dia memesan kopi hitam atau espresso dan bukannya kopi dengan krimer saja.

Tapi sore itu, ketika suara hujan yang semula berisik mulai mereda, semuanya terasa begitu tepat.

"Sepertinya sudah tidak hujan, aku harus pergi".

Pada bagian ini kamu akan menertawakanku, bukan?
Semuanya begitu tepat sampai terasa tidak lagi tepat. Hujan hanya ingin membuat kita berani mendefiniskan moment apa yang sedang kita alami. Lalu saat hujan benar-benar berhenti bukankah tidak  lagi  aneh jika tiba-tiba matahari menjadi dua kali lebih terik. Jadi kupikir mungkin saja masih ada yang tidak terbiasa dengan panas Jakarta dan ingin meneduh sebentar. 

"Itulah mengapa kamu tetap duduk di sana?" tawamu pecah sedetik setelah kuanggukan kepala.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

I count my blessings instead of sheep


if you're worried and you can't sleep
just count your blessings instead of sheep
and you'll fall asleep counting your blessings
(Irving Berlin)
Alhamdulillah saya dikelilingi orang-orang hebat yang membuat saya merasa malu menjadi biasa.

Alhamdulillah saya dipertemukan dengan orang-orang yang memandang hidup dengan kacamata yang tidak membuat buta. 

Alhamdulillah saya ditemani orang-orang paling kuat yang tidak melemahkan sekitarnya. 

Alhamdulillah saya diberi kesempatan berkumpul dengan orang-orang baik; orang-orang yang mengerti kalau menjadi baik tidak cukup hanya tahu yang benar dan salah, orang-orang yang tahu kalau peduli tidak cukup membagi pikiran memalui tweet 140 karakter saja, orang-orang yang berani membuat perubahan sekecil apapun.

 Alhamdulillah saya diperlihatkan hidup dari banyak sisi, kalau hidup tidak melulu hitam dan putih, ada abu-abu yang tidak boleh diadili dengan sok tahu. 

Alhamdulillah saya didekatkan dengan teman-teman yang berjiwa seni, yang tahu kalau hidup perlu indah untuk diapresiasi dan ketegangan yang bisa dinikmati.

Alhamdulillah.

Teman2 dari Kelas Menulis Kreatif Ayu Utami
Teman2 dari Tantangan Menulis dgn Jia Effendie

Teman2 dari FLP Jakarta angkatan 18

Teman2 dari Indonesia Mengajar & Indonesia Menyala

Teman2 TBIM Bonbar

dan semua orang yang pernah saya kenal.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Habis Ditilang, Sidang Menjelang



Akhirnya saya merasakan juga sidang tilang Yeaay! (sifat dasar sanguinis; membanggakan hal yang memalukan). Saat itu saya dalam perjalanan menuju tempat penitipan motor di sebrang jalan tol Cikarang. Melihat ada kerumunan polisi, saya pura-pura santai saja walaupun tidak membawa SIM. Ternyata saya diberhentikan karena lampu depan saya mati oleh Bapak Polisi yang Terhormat (BPYT). 

Dahulu sekali jaman saya kuliah, saya pernah membaca sebuah thread di kaskus yang membahas tentang perbedaan surat tilang. Singkatnya surat tilang berwarna biru berarti kita mengaku bersalah dan pembayaran melalui bank sementara surat berawarna merah artinya kita tidak mengaku bersalah maka itu meminta sidang. 

Karena sudah lama sekali, saya pikir barangkali ada perubahan ketentuan (padahal lupa), sehingga saya tanya saja langsung pada BPYT ini mengenai perbedaan surat tilang. Dan inilah jawabannya :
1. Surat Merah : Bayarnya di tempat sidang, nominalnya sesuai hasil sidang.
2. Surat Biru  : Bayarnya di Bank, Bayar denda dengan jumlah maksimal--> beliau menekankan ini berkali-kali sehingga saya yang saat itu bersaldo rekening satu digit langsung titik  akhirnya tergiur untuk meminta surat merah. Sebelumnya BPYT memang berkali-kali menganjurkan surat merah.

       Saya kesal karena BPYT tidak menjelaskan keterangan surat tilang dengan benar. Pastikan sudah mengetahui benar persoalan ini agar tidak dibodohi dan jangan mudah percaya  pacar yang udah lima tahun aja gak bisa dipercaya apalagi dia yang baru ketemu.  

Saat menulis keterangan di surat merah pun BPYT sempat mengajak berdamai dengan selembar seratus ribu, Hadeuh, masih jaman ya Brur. (padahal dulu di Bandung cuma 15.000 rupiah ) . Untung saya sudah belajar UUD Pasar 30 ayat 1:

"Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara."

Sehingga paling tidak saya sadar bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang saya buat jangan sampai malah melanggar peraturan lain yang hakikatnya lebih tinggi. 

Long story short akhirnya saya sidang tilang di Pemda, Deltamas hari ini 19 September 2014. Saat tiba saya sudah disambut dengan para calo yang menawarkan jasanya. Ajaibnya dengan menggunakan jasa calo, hakim belum datang pun, urusan bisa beres dalam hitungan menit. Heran yah, di tempat penindakan hukum, penyelewengan seperti itu malah marak dan dibiarkan begitu saja. 

Anyway Saya sampai di TKP pukul 07.30. Pengadilan Negeri baru buka pukul 8.00. Hakim datang pukul 9.30. Sidang dimulai pukul 10.00 lalalalalalala. 

Tahapannya sebagai berikut : 
1. Mengambil nomor antri yang ditukar dengan surat tilang
2. Menunggu dan terus menunggu~~
3. Masuk ke ruang sidang
4. Bapak hakim ketok palu dan sebut nominal denda
5. Keluar ruang sidang, bayar dan ambil STNK
    END. SUDAH SELESAI SUDAH. 

Tempat mengambil no. antrian


Tempat menunggu di alam terbuka dibawah tiang bendera Indonesia Merdeka. yeuh~

Note : 
Saya kena dua pasal : tidak membawa SIM dan lampu mati, total Rp.60.000 (SIM 50rb, lampu 10rb), sementara jika dengan denda maksimal total Rp. 350.000 (SIM 250rb, lampu mati 100rb)

Tips :
1.  Datanglah pagi-pagi  karena akan ramai sekali
2. Tidak usah percaya ketika ditakut-takuti uang denda yang besar, denda dengan sidang paling besar hanya Rp.75000, dan uangnya masuk kas negara jadi kita berada di jalur yang benar, InsyaAllah.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Comfort Zone

Saya sempat mengeluhkan instruktur yoga baru beberapa minggu yang lalu (Ibu A). Dulu, instruktur yoga lama (Ibu B) selalu menghabiskan 90 menit termasuk pendinginan. Seringnya Ibu B memberikan gerakan Surya Namaskara pada 30 menit pertama, dilanjutkan gerakan lain yang membuat saya benar-benar kelelahan sampai mengantuk saat pendinginan, beberapa teman bahkan tertidur. 

Sementara Ibu A hanya menggunakan waktu 60 menit  termasuk pendinginan yang demikian singkat. Saya tidak pernah merasa benar-benar kelelahan dan menikmati pendinginan seperti dulu. Saya kesal dan merasa tidak puas.

Ibu A memang jauh lebih keras dari Ibu B. Beliau tidak segan-segan membentak jika mengira kita tidak berusaha mengikuti gerakan-gerakan yang ia contohkan, "Saya bilang SPLIT, SPLIT!  sudah-sudah jangan dipaksa tapi usahakan maksimal!." Sementara dengan nada lembut biasanya Ibu B mengingatkan kami untuk menikmati setiap prosesnya, "Rileks, pasti bisa ko, nikmatin aja." Bahkan saat pendinginan Ibu A pernah mengatakan "Fokus! Jangan tidur, kalau mau tidur di rumah." padahal kuping kami biasanya dimanjakan dengan perkataan Ibu B "Tidak apa-apa kalau sampai tertidur artinya sudah benar-benar rileks, tapi sebetulnya kita harus berada pada... ."

Tapi malam ini pandangan saya berubah. Saya senang dilatih Ibu A. Dalam beberapa kali pertemuan saya sudah bisa melakukan split dan Tripod Headstand.  Bagi saya sudah termasuk lumayan karena sepertinya seumur hidup saya tidak pernah bisa split. Hahahaha. 

Mungkinkah kekesalan saya muncul hanya karena rasa nyaman saya terusik? Sangat mungkin. Juga ketidaktahuan saya mengira metode Ibu B lebih baik dari Ibu A, padahal saya mengalami kemajuan yang berarti dengan ibu A.

Begitulah, kadang kita sok tahu dan kesal sendiri. Padahal Tuhan ingin melihat kita tumbuh dan bukannya bersantai-santai di zona nyaman terus-terusan. Kita akan tahu ketika akhirnya kita berjalan maju dan melihat posisi kita dulu dari depan. Semoga perjalanannya dipenuhi oleh syukur dan bukannya keluhan.

update : Instrukturnya ganti lagi yang keren banget, untung belum keluar.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Ingar

diam yang kamu kirimkan melalui celah celaku, masih kucari tahu maknanya. apakah diam yang terpendam tidak menyimpan sedikit pun dendam, aku tidak  tahu. diam yang kian nyaring memaki.

kuharap diammu seperti jarak antara titik dan huruf yang meregang dengan erat.
tapi mengapa heningmu yang semakin lekat?

jika diammu adalah jeda pada alinea untuk bersama-sama mencerna makna, aku akan berlari-lari di antaranya untuk memastikan kamu melanjutkan paragraf baru dan bukannya memberi titik yang paling sepi.

diammu adalah lintasan terjauh sementara peluh satu-satunya yang mampu menempuh.

diammu mengingari angan sampai  tak bernyali memiliki ingin.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Orisinal

yang palsu adalah kita
yang asli adalah kepalsuan kita.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Tentang Tiga Pembunuh

Mengutip pernyataan Dr. Ibrahim Elfiky tentang tiga pembunuh yang sempat dibahas dalam bukunya, Terapi Berpikir Positif. Tiga pembunuh ini antara lain : Mencela, Mengkritik dan Membanding-bandingkan.
Saya sengaja memakai istilah tiga pembunuh, karena ketiganya mengandung racun seperti bisa ular yang masuk dalam aliran darah kemudian mematikan.
Saya hanya akan membahas salah satu pembunuh yang rasanya sedang sering saya alami baik disadari maupun tidak : Membanding-bandingkan. Tanpa saya sadari saya sering sekali membanding-bandingkan kondisi saya dengan orang lain atau bahkan dengan diri saya di masa lalu. Terlebih di era media sosial dimana dengan sengaja atau tidak kebanyakan penggunanya 'menunjukan' pencapaian mereka atau kondisi mereka yang berupa-rupa.



Melalui media sosial kita dengan mudah tahu ada Si A yang sudah berhasil mencapai mimpinya, si B yang sudah bahagia dengan keluarga barunya, si C yang melanjutkan studi di negri lain, si D yang telah sukses menjadi editor di salah satu perusahaan penerbitan, dan lain-lain yang (sepertinya) telah sukses dengan definisinya masing-masing.

Media sosial dengan gamblang memaparkan kisah teman-teman saya ini. Ada rasa tidak aman pada diri saya yang terusik ketika melihat orang lain sudah mencapai satu hal dan saya belum. Biasanya kalau sudah jengah, saya menguninstall semua aplikasi medsos ini dari handphone saya dengan dalih lebih baik tidak tahu. Hahahahahaha. 

Padahal yang salah bukan pencapaian teman-teman saya, tapi pikiran saya yang kelewat sempit. Beruntung saya diingatkan teman saya melalui buku Terapi Berpikir Positif ini. Tidak salah 'membanding-bandingkan' diikutsertakan dalam tiga pembunuh karena alih-alih membuat saya termotivasi, saya justru merasa ciut dan dilingkupi banyak pikiran negatif. 

Saya jadi teringat perkataan Mba Ayu Utami di tengah-tengah penjelasannya di kelas. Menurut beliau selama ini kita hanya mengetahui hal-hal di permukaan saja. Apalagi jika hal yang kita ketahui bersumber dari media sosial. Bukankah orang-orang sudah membuatnya sedemikian apik agar terlihat mengesankan? Memilih foto yang terbaik untuk diunduh di instagram, Menyiarkan aktivitas atau lokasi yang menurut mereka cukup keren untuk disebarluaskan di path, Menyusun kata-kata yang menarik untuk dijadikan kicauan di twitter. Jelaslah jika orang-orang ini tampak menikmati hidupnya karena yang mereka 'perlihatkan' adalah hasil pilihan. Permukaan saja.

Saya tidak mengetahui pergulatan apa yang sudah dilalui orang lain yang mengantarkannya pada posisi mereka sekarang. Saya bahkan belum tentu bisa/mau untuk bertukar posisi jika sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kita semua punya pertarungan masing-masing, bukan?

Saya pribadi tentu bangga dan turut berbahagia untuk semua teman-teman saya. Kalian semua hebat dan menginspirasi. Tapi terlepas dari itu semua, ada hal yang jauh lebih penting untuk saya urusi yaitu mimpi saya sendiri. Saya tidak bisa mengubah masa lalu saya jadi toh percuma saja jika saya banding-bandingkan lagi, juga dengan orang lain. Tapi saya bisa mengubah pikiran saya dan mungkin mencuri ilmu dari kesuksesan teman-teman sehingga bisa mencapai mimpi saya sendiri.

Pikiran negatif akan menarik pikiran negatif yang lain begitu pula sebaliknya, pilihannya ada di tangan kita ingin mengembangbiakan yang mana. Pertanyaanya adalah apakah pikiran negatif memberi manfaat atau mudharat? 

Carpe Diem, Momento Mori.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Citra

Sejatinya, kita tidak pernah saling mengenal
kitalah dua yang berpura-pura tidak asing.
Tapi kamu tidak tahu takaran cangkir kopiku
seperti aku tidak tahu jam tidurmu.

Asam kopi kental yang kukenalkan
tak lebih dari sekadar kepura-puraan juga
pahit daun teh lebih kugemari
daripada susu srawberry yang kuminum agar terlihat lucu saja.

Mungkin daun teh juga palsu

Orisinil adalah yang tidak kita punya
karena tawa yang kita pelihara
tidak kenyang meminum air putih saja.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments