In Memories

30-10-1960

Dia melihatnya. Seorang anak laki-laki mengambil sepatu sandal yang diletakan di depan pintu. 

Dua rumah dari tempatnya tinggal, adalah tempat sampah biasa dikumpulkan dan dibakar. Anak laki-laki itu tinggal di sebelah rumahnya, tepat di samping tempat pembuangan sampah. Anak laki-laki itu menyembunyikanya disana, atau membuangnya. 

Seorang anak perempuan menangis. Kehilangan sepatu sandal barunya. Seorang wanita berpakaian rapi, lengkap dengan blazer yang belum sempat dilepaskannya, sibuk menenangkan anak pertamanya. Anak bungsunya mendekat. Dia menceritakan yang telah dilihatnya.

Seperti siang yang sudah-sudah, Wanita beranak dua itu selalu pulang ke rumah saat jam istirahat kantornya. Banyak hal yang harus diselesaikan. Baju kotor yang mengantri dibersihkan, makan siang yang harus disiapkan, dan terkadang hal-hal seperti ini: anak tetangga yang mencari masalah.

Dibuntuti dua putri kecilnya, Wanita itu datang mengetuk rumah tetangganya. Seorang Ibu membuka pintu, matanya bertanya, mulutnya menahan tawa, di sela kedua kakinya, anak laki-laki bersembunyi.

Entah bagaimana percakapan diselesaikan, setelahnya wanita itu sudah menenteng sepatu sandal baru anaknya yang kotor pada beberapa bagian. Sepatu sandal hasil sisihan komisi hari-hari. 

Anak perempuan sudah tidak lagi menangis sementara adiknya mulai menghitung-hitung bulan, dalam hati menanti-nanti saat sepatu sandal itu menjadi muat dikaki kecilnya.


Bertahun-tahun kemudian: Hari ini.

Tidak ada pembuangan sampah di samping rumahnya. Tidak ada tetangga yang bingung menghabiskan harinya sampai perlu mencari masalah. Wanita itu tidak perlu buru-buru tiap kali jam istirahat kantor tiba. Dua anaknya telah dewasa, telah mampu beli sepatu atau sandal dengan uangnya sendiri. Wanita itu adalah wanita yang paling kuat. Orang hebat yang selalu sedia menyelesaikan tiap persoalan dalam dunia kedua anaknya.  Hari ini adalah hari ulang tahunnya.



Selamat Ulang Tahun, Mama 



-si anak bungsu, 
ulfa sekar langit.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Komedi Putar

sumber : wikipedia.org
Narasi tentang:
komidi yang tandus atraksi,

satu hari
pada lintasan lingkar yang terus berputar
kuda yang lehernya dibebat besi tua
mencoba menerpa norma
menanti menjajari kekasihnya

laju tertahan maju
mereka tak kunjung bertemu

dalam komedi
ironi adalah rekreasi

kekasih berputar sampai listrik dipadamkan
berlari tanpa dimampukan mengiringi

bukankah di taman ini
hadirin adalah saksi yang segan mengamini?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Bersenang-senang Di Seni Senang

Mba A. pernah bilang, melihat pertunjukan seni akan membuat kita bertambah peka. Sebagai murid sekaligus penggemarnya saya percaya dan ingin membuktikan juga. Maka saya terpikir untuk mencicipi beberapa pertunjukan seni pada Festival Salihara Kelima di Galeri Salihara, Pasar Minggu.

Festival Salihara kelima diadakan mulai tanggal 13 September-22 Oktober 2014. Ada delapan belas pertunjukan utama pada rentang waktu satu bulan, juga berbagai fringe events menarik yang bisa ditonton secara gratis. Semula saya berniat melihat papermoon puppet theater bertajuk Surat ke Langit (A Letter To The Sky) yang disutradarai oleh Maria Tri Sulistyani. Sayangnya jadwal pertunjukan bersamaan dengan agenda ke Ujung Genteng tanggal 27 September lalu. Setelah menyesuaikan jadwal kembali, pilihan pun jatuh pada The Four Seasons Of The Year & Is'nt This A Lovely Day, Budrugana-Gagra Theater pada tanggal 19 Oktober Minggu lalu.

Saya bersama kakak datang pada pukul 07.00 untuk melakukan penukaran tiket, sementara pertunjukan baru akan mulai pukul 08.00 malam. Sambil menunggu, kami menikmati sebentar pernampilan  Mata Jiwa sebagai salah satu fringe events malam itu (ada pula penampilan jenakawan Boris Bokir). 

Khawatir akan mengantuk, kami putuskan untuk meminum kopi sebentar di kafe Salihara. Di tengah-tengah obrolan melantur kala itu, tiba-tiba seorang bapak berambut putih panjang khas pekerja seni, datang menghampiri kami. Semula beliau hanya berbasa-basi menanyakan pekerjaan, tahu  event ini dari mana dan hal-hal semacam itu, sampai akhirnya beliau menyarankan kami (dengan sangat) untuk menonton pertunjukan berikutnya, Konser Ensemble Modern pada hari Rabu juga Opera Tari Gandari di Taman Ismail Marzuki adaptasi dari puisi Gandari oleh Goenawan Mohamad. Kami sebagai insan-buta-seni, mengangguk saja demi sopan santun sambil tersenyum. Beliau bahkan menjanjikan tiket gratis untuk kami berdua jika kami datang. Setelah percakapan usai, barulah kami tahu beliau adalah Pak Tony Prabowo, komposer senior sekaligus dewan kurator di Salihara (maklum namanya juga insan-buta-seni hehehe).

Budrugana-Gagra Theater adalah kelompok teater bayangan tangan asal Tbilisi, Georgia yang didirikan oleh Gela Kandelaki pada 1982. The Four Season of The Year sendiri berkisah tentang seorang anak beruang yang mengalami petualangan berbeda dari musim semi hingga musim dingin. Sementara Is'nt This A Lovely Day tentang siklus hidup manusia, dari kelahiran hingga kematian dan keabadian jiwa.

Ngomong-ngomong saat menonton kami duduk tepat di belakang Riri Riza, sempat melintas pikiran untuk memaksanya memberi peran sebagai pasangan Nicholas Saputra entah di film apa, tapi untung saya tidak sedang berada dibawah pengaruh alkohol dan tersadarkan dalam sekejap. 

EM preparation
Kemarin malam, Rabu 22 Oktober 2014, saya dan kakak betulan datang lagi untuk menonton konser Ensemble Modern (EM). EM ditampilkan oleh lima musisi. Mereka memainkan komposisi karya Pierre Boulez, Nicholas A. Hubber, Helmut Lachenmann dan komposer lainnya. EM adalah kelompok musik kamar yang berpusat di Frankfurt. Penampilan mereka yang unik dan berbeda berupa teater musikal, proyek tari dan video, musik kamar dan konser okestra.

Ketika sampai di lokasi, Pak Tony yang melihat saya datang langsung menyambut, rupanya beliau masih ingat (saya jadi GR sedikit) dan tetap menawarkan tiket gratis padahal kami sudah terlanjur beli (yaaaah pak telat heheu). Konser EM sekaligus sebagai penutup Festival Salihara kelima, anehnya tidak ada seremoni maupun fringe events hari itu. Rupanya setelah selesai menikmati konser, para tamu diundang untuk makan malam bersama di roof top bersama para musisi dan pekerja seni yang ikut menonton hari itu. Kami bebas berinteraksi dan bertanya apa saja pada orang-orang hebat itu, bahkan seluruh pemain Budrugana Gagra pun turut hadir malam itu. 

EM sendiri memang hal baru untuk telinga saya. Jujur saja pada salah satu penampilan, saya sempat mengantuk dan hampir tertidur. Udara dingin sekali dan saat itu pukul sembilan malam, plus saya belum paham cara menikmatinya. Tapi saya belajar banyak (atau sedikit). Bahwa kadang seni tidak bisa dicerna dengan kepala telanjang. Mungkin mengapa melihat pertunjukan seni membuat makin peka, adalah karena justru untuk menikmatinya dibutuhkan kepekaan. Peka bahwa keindahan bisa jadi datang dari bunyi-bunyian yang menggangu. hahaha entahlah, saya cuma sok tahu, ingat saya masih tetap insan-buta-seni. Yah barangkali ada yang berniat membuka mata saya agar tidak terlalu buta dengan mengajak ke pertunjukan-pertunjukan lain-> kode, iyah ini kode hahaha.

Mata Jiwa Performance

roof top dinner as closing ceremony




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Ada Salam

hai
selamat pagi lagi,

ada salam
dari

puntung rokok 
plastik kacang
daun-daun kering 
sterofoam bubur ayam
genangan jus lengket
dikerubungi lalat
seperti mayat
seperti akalmu yang seperti mayat

juga dari

teman malammu

mereka bilang

jangan tinggalkan kami di taman.

:)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Taman Kanak-Kanak

#1.
Sambil melagukan keresahannya
harga merosot pada lampu sorot
mereka buta
yang memberi gelora
sering kali yang merasa paling lega

Tangan-tangan titipan bertepuk
perhatian diteguk
dahaga pada yang tidak kasat mata

#2.
kebahagiaan seperti baju baru yang
dipamerkan
adu banding jumlah berlian
dan kualitas jahitan

menghitung yang bersorak
demi perbawa yang telah koyak

#3.
Di Taman Kanak-Kanak
dosa dilelang persis pasar ikan
palu ditalu
pilu ditiru.

note : saya kesal pada sosial media, yang tua lupa sudah masanya menjadi dewasa dan saya kesal karena suka terbawa juga haha.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Sinetron dan Hal-hal yang Belum Selesai

Saya menulis ini lantaran seharian menemani nenek saya menonton sinetron. Saya ingin mengamuk, bukan kepada nenek saya, tapi kepada produser film yang tega-teganya memberi pilihan yang seperti itu.

Sinetron adalah tayangan yang dapat dinikmati bahkan tanpa memutar otak sedikit pun (karena akan kesal juga kalau terlalu banyak memakai otak saat menontonnya). Dilihat dari polanya, Sinetron tidak jauh berbeda dengan dongeng anak yang memiliki tokoh baik, tokoh buruk dan keajaiban yang dipaksakan. Bedanya dongeng anak dikemas untuk memberi pesan moral (dengan akhir yang selalu menyenangkan untuk membuat anak-anak merasa aman), sementara sinetron membawa pesan moral sebagai tempelan agar terkesan sedikit 'penting'. Misalnya sinetron yang aktrisnya mengenakan jilbab, disertai scene berdoa berderai air mata dengan suara yang sama sekali tidak lirih. Jadilah sinetron dengan tempelan religius. Walaupun isinya jauh dari nilai agamawi.

Katanya mayoritas penggemar sinetron adalah kalangan menengah ke bawah. Mungkin karena mereka memang tidak punya banyak pilihan. Misalnya saja nenek saya itu. Di desa tempat nenek saya tinggal, channel TV tidak sebanyak di kota besar. Seingat saya hanya ada SCTV, RCTI, INDOSIAR, dan Trans TV. Mayoritas acara pada channel yang saya sebutkan itu ya Sinetron. Disana tidak banyak perpustakaan umum, pusat perbelanjaan, ataupun museum, yang saya tahu paling alun-alun kota. Jadilah kotak ajaib elektronik itu yang menjadi alat penghibur. 

Saya pikir maraknya acara sejenis, bukan masalah tingginya minat penonton atau rating, karena bagaimanapun juga masyarakat hanya menerima dan memilih sementara produsen yang menyediakan pilihan. Kalau tidak diberi pilihan yang ringan seperti itu, saya yakin masyarakat dapat dengan mudah beradaptasi pada acara yang lebih bermutu. Masalahnya tidak semua orang memiliki pilihan yang beragam. Tidak semua orang punya televisi kabel dengan berbagai program. Tidak semua anak memiliki pendamping yang mampu membimbing. Kalau dicermati, sinetron memaksa kita mengikuti konstruksi sosial yang sok tahu, Seperti remaja yang dicekoki adegan percintaan yang membuat mereka tumbuh dengan dependensi yang tidak pada tempatnya. Coba pikir, darimana anak-anak SD jaman sekarang tahu yang namanya pacaran kalau bukan acara-acara di televisi.

Tapi barangkali ada sisi baik dari sinetron yang belum bisa saya tangkap. Walaupun begitu tetap saja saya berharap yang berwenang ini memberikan pilihan yang lebih berwawasan, Agar kesepian-kesepian yang coba diisi televisi tidak lagi sekedar membodohi.


note : saya memang mengeneralisir sinetron yang ada, karena bisa saja ada sinetron yang 'bagus' (meski saya tidak tahu).

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Because We Know Nothing

Is there anything that you afraid will happen to yourself or someone you care the most?
I bet you'll answer yes (or maybe just me). I myself have something that I thought I cannot throw it well or at least without crying so hard and have a bad-tempered for several days.
I Thought that until God proves me otherwise.
A God who has created you, He knows you more than yourself. When you think you can't afford anymore, He shows your true strength.
Well, Bad things happened recently and In fact everything is okay. I don't even cry a single tear (I amazed with myself for this reason) Some questions meet the answer by themselves. Someone asked me quietly, Fa, Why do you spend your precious time for dizzying something you can't control? Why do you still regret something that can't be fixed? If you don’t have any good reason for that, oh please, let it go! 

Furthermore, human can’t stop learning. In each event, there are lessons that must be understood if you don’t want to do remedial. Then, when you got the point, everything becomes easier.

And guess what, you also get the bonus : precious lesson called experienced.
The lesson that tells you, that maybe you know nothing. We do not even smart enough to know what is good for ourselves.

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Perhaps you hate something, even though it is very good for you, and may (also) you like something, even though it is very bad for you; Allah knows, while you do not know.” (Al-Baqarah: 216)

This ignorance should make us more grateful, work and pray harder. So that at least our desire in harmony with the omniscient

Relax and Never underestimate your power.





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kepergian

kamu melipat kemeja putih kesukaanmu,
pelan-pelan disusul celana panjang berwarna biru tua
yang aku tahu, kamu sedang bersiap pergi

sudah hampir setengah isi lemari pindah ke dalam kopermu
aku berdebar-debar menunggu giliranku.

aku menunggu.

sampai tanganmu menutup rapat tas yang telah penuh.

kamu bergegas, deru mobil diluar kamu sahuti dengan teriakan,
meminta menunggumu sebentar lagi.

setelahnya, derap kakimu terdengar menjauh

aku menghitung-hitung
berapa lama lagi rayap rakus membuat lubang atau tikus menjadikanku selimutnya

aku berdebar-debar
bukan debaran senang seperti pertama kali
kulihat wajahmu yang bersemu, mengambilku dari tangan gadis itu

untunglah aku tidak akan bertemu dengannya lagi
karena sungguh aku tidak punya jawaban
kalau-kalau ia bertanya
mengapa aku ditinggalkan
olehmu di dalam lemari yang bahkan tidak sempat kamu tutup.



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[REVIEW]: Spiritualisme Kritis dalam Simple Miracles

   
 
Membaca karya seseorang yang kita kagumi adalah satu proses yang menyenangkan. Kita seperti diizinkan menyelami otak sang empunya tanpa syarat. Meskipun hanya permukaannya sekalipun. 
Simple Miracle, karya teranyar Ayu Utami sebagai buku pertama dalam seri Spiritualisme Kritis mengangkat doa dan arwah sebagai tema. 
"Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis."
Sayangnya kali ini saya harus memilah-milah waktu dan tempat saat membacanya. Sebagai seorang penakut, membaca tulisan bertema arwah dan hal-hal yang berkaitan dengannya adalah pencapaian tersendiri buat saya. Saya menyelesaikan buku ini di dalam sebuah bis menuju Jakarta. Siang hari tentu saja. Meskipun tetap saja pada malam harinya saya menjadi lebih penakut dari biasanya.
Menurut penuturan Ayu Utami dalam bukunya, Simple Miracle sengaja dibuat bersamaan dengan hari ke-40 setelah kematian ibunya, namun karena satu dan lain hal buku ini baru rampung pada 100 hari kematian sang Ibu. Simple Miracle memang menjadikan sang ibu sebagai tokoh sentral. Sejak halaman ketiga penuturan tentang ketakutan ditinggal mati ibu dari kacamata anak-anak sudah bisa membuat pembacanya menitikan air mata.
"Betapa mengerikannya hidup. Orang yang kita cintai bisa mati setiap saat."
Lembaran berikutnya adalah bagian yang menegangkan (bagi saya) karena Ayu Utami mulai menuturkan pengalaman dan pemahamannya tentang arwah dan sejenisnya. Tentang Bonifacius, keponakannya yang memiliki kemampuan spesial, Bibi Gemuk dan Bibi Kurus yang gemar cerita hantu dan hal lainnya yang berputar persoalan itu.
"Ibuku tetap ada untuk menjaga kami dari kecerdikan yang tidak pantas."
Pembaca akan dibuat akrab dengan karakter ibu yang lembut dan penyayang. Bagaimana bakti Ibu merawat Ayah yang telah sakit selama bertahun-tahun juga pada Bibi Gemuk, kakak suaminya. Kisah pun menuju klimaks dengan mengharukan. 
"Untuk hal-hal yang tak bisa diverifikasi, aku memilih berdoa."  
Pandangan kritis dan kenangan Ayu Utami tersebar hampir di setiap halaman, tentang hal-hal gaib dan segala mitosnya,  tidak terkecuali pada Tuhan yang juga gaib. Pada tiap lembar pembaca seperti diperlihatkan sebuah proses pemahaman dari hal-hal yang semula disangkal.
Sayangnya, saya sedikit kecewa karena menemukan beberapa kesalahan penulisan bahkan pada halaman-halaman awal dan beberapa halaman setelahnya (kalau tidak salah ada pada halaman 30, 70, 87 dan 75).  
Tapi tetap saja pemikiran Ayu Utami yang selalu cerdas dan kritis dalam banyak hal membuat saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca.
"Sesuatu yang tidak kita alami secara empiris, bukan berarti tidak ada secara logis. Jika kita tidak mendengar frekuensi bunyi tertentu, bukannya bunyi itu tidak ada. Anjing bisa mendeteksi bunyi yang tak kita dengar atau bau yang tak kita hirup. Kalau kita tidak menyaksikan apapun, barangkali itu karena keterbatasan dan kebebalan kita sendiri."  (hal 69)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Tengah Malam yang juga Fana

Seharusnya saya tidak menulis dalam keadaan sentimental begini. Apalagi hari sudah larut malam. Akal biasanya berpamitan istirahat  dan perasaan mulai sibuk ambil alih. Kasihan akal, kelelahan menentukan nominal dan moral seharian. Catarsis, anggap saja begitu. Silakan wahai perasaan yang sentimental kamu boleh sentimen pada hal-hal remeh temeh kali ini. untuk kali ini saja. Seperti pada tolakan halus temanmu saat kau ajak mengikuti suatu acara. padahal halus, tapi menurutmu yang sedang sentimen bentuk penolakan saja sudah kasar. Mungkin begitu jika terbiasa dituruti semua keinginannya. katanya kan love without depending, ketika sudah tergantung namanya bukan lagi cinta tapi ego. Sebuah kebiasaan bisa menjurumuskan karakter yang fitrahnya suci menjadi tak tahu diri, pun sebaliknya. Maka mungkin itulah perubahan menjadi begitu urgen.

Ritual membeli sepatu NB (New Basket abal2) tiap lima bulan sekali (karena sepatu abal-abal hanya bertahan 5-6 bulan) bersama teman-teman SMP di pasar dekat rumah sudah menjadi memori sendiri. Memori ini menguak saat melihat pasar sedang diruntuhkan. Mungkin kini peraturan SMP sudah tidak seperti dulu hingga siswanya bisa bebas memakai sepatu warna warni yang berkualitas. Tapi kenangan menyikat hanya bagian depan dan pinggiran putih agar sepatu tampak bersih tanpa dicuci, atau kebiasaan merekatkan pinggiran putih yang terkelupas dengan lem fox tidak hilang hingga kini. Saya mengamati pasar yang kini berupa reruntuhan. Rasanya perubahan memberi sepi tersendiri.

Teman saya, sebutlah si D, bapaknya adalah juragan angkutan kota alias angkot sekaligus anggota DPR. Anak ini bolehlah dibilang berada. Tapi yang tersimpan di laci-laci cerebrum saya adalah kesederhanaan dan keluguan teman saya ini. Ketika kami hendak berjalan-jalan bukannya membawa mobil, D justru membawa salah satu angkotnya dan jadilah kami berekreasi menggunakan angkot. Pernah suatu ketika D menyukai seorang gadis di kelas sebelah. D hanya berani memujanya dari jauh. Caranya? menuliskan nama sang pujaan dihimpit kata  "Neng" dan "Geulis" di belakang kaca salah satu angkotnya . Manis dan norak dalam satu paket. Kini D sudah besar seperti saya, kedewasaannya melebihi kedewasaan saya. D sudah menikah dengan gadis yang lain. D sudah  tahu caranya berpakaian necis dan menggunakan mobil yang berprestise. D mengikuti jejak bapaknya menjadi anggota DPR. Saya tidak tahu apakah di salah satu angkotnya masih ada tulisan "neng geulis", tapi yang jelas D sudah berubah. Perubahan yang terkadang membuat kita disambar rindu. Rindu dengan D yang sederhana dan lugu.

Tapi kan bukan hanya pasar dan D yang berubah. Kamu Saya Mereka hari tanggal musim semua tidak ada yang statis. Kalau masih heran dan mengeluhkan perubahan mungkin artinya kamu betul-betul perlu berubah. 

Meskipun ada hal-hal yang didoakan untuk tidak berubah. Misalnya kebersamaan keluarga yang makin tua penghuninya, makin mahal waktunya.
atau kebiasaan mama memasakan makanan kesukaan tiap kali pulang ke rumah(campuran antara ego dan cinta). Walaupun didoakan bagaimana pun juga, toh sama saja. Ketika mulai dewasa saya mulai  paham konsep keabadian sejatinya milik Tuhan saja sementara kita adalah lakon hidup yang fana.  Doa pun berubah menjadi permohonan agar diberi kesiapan saat terjadi perubahan, kita tidak lagi berusaha menyangkalnya sekarang.

Sentimen saya yang berujung melantur ini (dengan dalih catarsis sekali lagi) pun hanya rasa yang fana. Masalah-masalah yang(seolah-olah) kamu pikul sendiri sampai carut marut tahunya fana juga.

Beruntung sekali kalau begitu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments