In Thought

Menyelamat(i)-kan

Satu hari kamu datang dan mengeluh, katamu:

Kebahagiaan dan kesedihan umpama koin yang sedang terpelanting. Selama itu pula tanganmu menengadah, berharap-harap wajah bahagia yang menghadap ke atas. Kamu berdoa. (Sayangnya) Orang lain pun melakukan hal yang sama. Hal yang kamu takutkan terjadi bisa saja merupakan doa yang dipanjatkan tanpa henti oleh orang lain. Tentang doa siapa yang lebih dulu dikabulkan tidak ada dalam kuasamu.

Kamu ingin mengucapkan selamat, namun kamu juga merasa butuh diselamatkan. Lantas kamu bertanya-tanya dalam hati. Apakah mendapatkan ucapan selamat lebih mendesak daripada mendapat keselamatan?

Kebahagian pun menjadi hal yang nisbi.
Kata kepalamu yang berisik; Kebahagiaan adalah duka bagi sebagian orang.  Kemenangan bagi satu orang adalah kekalahan orang lain. Tapi hidup bukan semata gelanggang pertandingan. Kekalahan tetaplah hasil jerih payah. Pada suatu buku kamu pun pernah membacanya, berduka ketika seseorang bahagia pun tidak pantas rasanya. Lalu, manakah yang tidak berempati, yang berbahagia atau yang berduka? 

Kamu berpikir keras. Hingga akhirnya kamu belajar merayakan dukamu, kekalahanmu. Perayaan yang meriah sampai kebahagiaan merasa iri hati dan ingin ikut serta. Meleburkan dualisme yang menimbulkan kecemburuan. Perayaanmu yang semarak dengan luka dan sendu sebagai tokoh utamanya.  Sementara sendu berlagu, luka berdansa sampai lupa harus merasa apa. 

Hingga seseorang menghampirimu untuk mengucapkan:  Selamat!



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Sebelum Kau Bosan

Kamu tidak pernah menyukai Taman Kota. Selain banyak pemuda pemudi yang memamerkan dosa mereka dengan bangga (bagimu bergandengan tangan pun sebuah dosa), juga pada bising kendaraan yang membuat telingamu pengang. Sekalipun realitanya memang seperti itu, bagiku tetap saja kamu berlebihan. Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya padamu, barangkali kamu hanya sedang rindu jalanan Batanghari dimana kamu bisa berpapasan dengan karibmu di atas onthel lalu mampir ke pasar Tiga Delapan sekedar membeli cenil dan mendengarkan cerita ibu-ibu penjual jamu.

Kerinduanmu tidak bisa kusalahkan, karena kini pada akhirnya kamu hanya berkawan dengan kesepian. Tapi sore ini, kamu duduk menyandar di batang pohon besar yang dialih fungsi menjadi bangku taman. Kamu melihat ke langit, seolah menguji dirimu sendiri sampai kapan akan tahan dengan terik yang belum menyingkir.

“Sebelum kau bosan, sebelum aku menjemukan tolonglah ucapkan dan tolong engkau ceritakan semua yang indah, semua yang cantik, berjanjilah.”

Usia kita berpaut lima tahun. Junior yang merantau untuk segera kembali. Kamu hanya ingin mencuili ilmu orang kota untuk memberi kontribusi pada desamu. Sebelum sempat kembali, niatanmu kupatahkan dengan alot. Ibu kota sudah kekal dalam kepala semenjak pertama kali aku menginjak trotoarnya. Kuyakinkan kalau kepul asap tidak akan menodai hatimu yang tulus itu. Dan akan kunyanyikan lagu apa saja untuk menyamarkan bising yang bisa membuatmu tuli. 

Begitulah akhirnya, atas nama cinta mimpimu jadi nomor dua.

“Ciptakanlah lagu yang kau anggap merdu, dik nyanyikan untukku, sungguh aku perlu itu bila kau tak suka, bilang saja suka, berjanjilah.”

Kamu hanya terus menerus memberiku dengar Tanoh Lado. Suaramu yang tidak seberapa merdu namun membuat nyaman itu seperti ingin membuatku merasa bersalah atas kerinduan yang tidak kuizinkan cepat sampai.

“Pergilah kau pergi dan janganlah kembali bila itu kau ingini, ku mohon jangan katakan pergi.”

Nyatanya kamu tidak pernah pergi. Kamu memilih mengikatkan diri dengan ibu kota daripada meninggalkanku seorang diri. Kamu tidak juga pergi bahkan ketika aku sudah lama meninggalkanmu sendiri.

“Jarak telah jauh yang sudah kita tempuh, dik coba pikir itu sebelum tinggalkan aku teruslah berdusta sampai engkau muak, berjanjilah.”

Beberapa anakan keluar dari rambutmu yang tergelung. Guratan halus di wajahmu tidak akurat menunjukan usiamu yang sebenarnya. Kamu masih saja cantik. Walau gelap kantung matamu dan tirus kedua pipimu seperti lama melarikan hidupmu dari hidup. Dahimu berkerut, mengingat-ngingat, semua hal yang pernah kukatakan padamu yang tidak sempat kamu tanggapi satu-persatu. Kamu seperti ingin melakoni aku. Sementara kini aku sedang melakoni pohon Randu di atas kepalamu.

Langit sudah gelap ketika kamu akhirnya beranjak pulang. Sambil berjalan kamu menaburkan bunga yang sudah kering dari dalam kantung celana. Dahulu sambil bercanda, kamu bilang kegemaranku pada Taman Kota akan membawa arwahku bersemayam di sini, sebagai apapun.

Kamu benar. Aku akan menjadi apapun sambil menunggumu yang sedang menungguiku menjelma menjadi sesuatu yang akan kau kenali, sebelum kau bosan.


(Note : Semua dialog diambil dari seluruh lirik lagu Iwan Fals berjudul “Sebelum Kau Bosan”)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Merelakan

Merelakan artinya membiarkan kejadian tanpa ada lagi penyangkalan. Merelakan tidak memberikan pilihan mau atau tidak, hanya ada harus, mau tidak mau. Rela ketika orang terkasih harus dibenam dalam tanah, rela ketika impian membelot dan memilih jalan memutar, rela ketika hidup sedang gemar mengajak bercanda.

Pada satu titik tertentu, Merelakan itu melegakan. Karena ketika kita berhenti menciptakan sangkalan-sangkalan, akal tidak perlu lagi kesulitan cari cara menenangkan hati. Hati harus tahu cara mendamaikan dirinya sendiri dengan belajar menerima. Menerima bahwa sebagai manusia ada hal-hal di luar kendali. Menerima bahwa sebagai wayang orang, hanya Sang Dalang yang punya kuasa. Tapi beruntung, Allah itu Maha Baik. Dia menyelinapkan harapan dalam proses merelakan. Memaksa kita untuk percaya bahwa hal-hal yang kita relakan, akan digantikan dengan yang ribuan kali lebih baik.

Dalam merelakan, kita dipersenjatai dengan harapan. Harapan bahwa di depan, hal baik sedang menunggu dipetik.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Persoalan Mencintai

Saya hanya tahu kalau saya sedang jatuh cinta.
Masalah mau dibawa kemana cinta ini selanjutnya, masih di perawangan.

Saya jatuh cinta pada anak-anak ini, yang masih minim kosakata tapi begitu kaya ekspresi. Kepada Friska yang baru pada tahap meniru ucapan temannya tanpa memahami betul maknanya, kepada Fira pemilik mata bening yang keceriannya tidak pernah alpa, kepada Intan, si pemalu yang kini sudah berani bernyanyi di hadapan seluruh teman, kepada Ghendis yang selalu bersemangat dan patuh, kepada Aini yang sabar mengajari teman yang lebih junior, kepada Putri yang ingin segera mahir membaca, kepada Elsa si periang yang suka bercanda, kepada Chantika yang cantik dan penurut, kepada Fahri yang usil namun cerdas, kepada Ari yang suka mewarnai, kepada Whendy, si jahil yang sigap membantu, kepada Awa yang senyumnya menawan, Indah, Fatan, Syifa, Risma, dan semuanya, bahkan kepada Tasya yang meskipun sudah puluhan kali kena omel tetap tidak kapok bermain bersama. 

Tapi lagi-lagi akhir cinta ini masih di perawangan.

Saya tidak tahu (atau mungkin tahu) akan seperti apa jadinya beberapa bulan ke depan, satu tahun lagi, dua tahun lagi. Apakah cinta ini masih menemui asalnya atau tidak? Saya bahkan tidak tahu apakah cinta ini sudah tepat atau belum.

Saya hanya tahu saya belum ingin mengakhirinya. Saya (sepertinya) tahu untuk membuatnya tidak berakhir, diam dan sekedar berharap-harap adalah pilihan terakhir. Saya (seharusnya) tahu mencintai bukan sekedar mengisi waktu luang, mencintai adalah menyediakan waktu luang. Saya (seharusnya) tahu mencintai dengan separuh hati tidak akan membuat saya merasa utuh.

Pada akhirnya mencintai bukan lagi sekedar predikat. Mencintai adalah kata kerja aktif. Mencintai selalu menagih aksi.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments