In Thought

[Review] Andrea Hirata dalam Ayah

http://www.goodreads.com/


Kalau tidak salah ingat ada dua buku yang pernah saya baca yang berkenaan dengan ayah, novel Ayah ini dan novel Sabtu Bersama Bapak (SBB) milik Adhitya Mulya. Meskipun dengan tema yang sama, namun kesan kedua buku ini jauh berbeda. Jika setelah membaca SBB pembaca mungkin akan mengagumi sosok ayah, namun jika membaca buku Ayah, barangkali pembaca (laki-laki) ingin merasakan menjadi ayah *sotoy*. Tapi yang saya suka dari novel Ayah, buku ini kaya sekali rasa, bukan hanya haru seperti yang sebelumnya saya bayangkan.


“Aya, aya.”
Sabari tertegun. Itulah kata pertama yang diucapkan anaknya. Perasaan Sabari melambung. Dipeluknya anaknya rapat-rapat. (hal 192)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Pendakian si Cantik Gn.Prau, Wonosobo.

Bagian yang paling menyenangkan dari perjalanan adalah perjalanan itu sendiri, dengan begitu destinasi sebetulnya menjadi nomor dua. Dalam perjalananlah kita bisa menemukan sementara pada destinasi kita hanya tinggal menikmati. (ini sotoy dan ngasal, percayalah). Ada banyak hal yang menyebabkan perjalanan menjadi menyenangkan, salah satunya adalah teman perjalanan. Maka kalau akhirnya setelah susah payah mendapatkan kesempatan berlibur, bagi saya memilih-milih teman perjalanan itu perlu. Sounds childish? Haha. Kriteria teman perjalanan yang seru hanya satu kok : tidak sering mengeluh. Kalau kriteria itu terpenuhi maka akan seru-seru aja apapun bentuknya.

Jadi setelah gagal mendaki tanggal 14 mei lalu, dan beberapa rencana setelahnya, akhirnya rasa penasaran pada gunung Prau terbayar sudah. Dengan tumpukan tugas UAS yang menanti diselesaikan, kami nekat berangkat. Perjalanan kali ini memang terasa sekali dipaksakan. Mulai dari  tidak tidur beberapa malam sebelumnya untuk mengebut kerjaan kantor dan tugas kuliah sampai membatasi komunikasi dan pertemuan lain agar konsentrasi tidak terganggu. Haha. Iya dipaksakan karena sebetulnya sebulan setelahnya kami libur panjang, tapi malah memilih pergi sebelum liburan. Selain karena kesal juga pada rencana yang selalu gagal, juga terkait kabar bahwa gunung Prau akan ditutup selama Januari hingga Maret 2016 ><!

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Pernikahan.


Found on theultralinx.com

Kita (barangkali sebetulnya) suka membicarakan topik ini. Pernikahan adalah topik yang paling menyenangkan sekaligus mendebarkan. Kita sama-sama takut ditolak. Kita takut pikiran kita yang telah jauh dianggap sebagai hal yang berlebihan. Padahal memang, pernikahan adalah hal yang berlebihan. Tapi bukankah dengan telah saling membicarakannya kita telah sepakat bahwa hubungan kita telah cukup untuk sesuatu yang besar. Sebesar pernikahan?

Walau terkadang pernikahan adalah topik yang sering kita hindari. Percakapan pernikahan menyimpan banyak ketegangan yang kadang membuat kita ragu, bahkan kepada diri sendiri. Karena menikah artinya meleburkan. Nilai, trauma masa lalu, mimpi di masa depan, angan-angan idealis, memangnya siapa yang bisa diajak melebur untuk hal sehebat itu?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kita Menghilang

http://www.logikarasa.com/kita-menghilang/
read more here

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Perjalanan Dadakan Menuju Pulau Ora, Maluku Tengah


Satu hari berkhayal-khayal, siapa sangka selang beberapa hari menjadi kenyataan. Hari Sabtu malam tiba-tiba seorang teman, sebut saja H menawarkan perjalanan yang tanpa pikir panjang saya iyakan bahkan tanpa tahu tujuannya (impulsive sejati hehe). Beberapa tempat sempat disebutkan, NTT, NTB, Maluku, Sulawesi dsb. Long story short, saya dijadwalkan pergi ke Maluku Tengah bersama seorang teman, sebut saja A.  Kami baru tahu destinasi, malam sebelum keberangkatan, alhasil kami berangkat hanya membawa misi dinas semata. Tapi selama perjalanan menuju bandara kami sibuk membicarakan itenary dadakan, pantai Ora salah satu destinasi yang ingin saya paksakan menyelip dalam itenary.

Kami berangkat pukul 10.00 WIB dari Jakarta dan kira-kira tiba di Bandara Patimura, Ambon pukul 17.00 WITA. Dari Bandara, kami menuju Kota Ambon menggunakan bis Damri. Kira-kira 1-1.5 jam kemudian kami tiba di penginapan. Keesokan paginya,  kami harus segera menuju Masohi  sebagai misi utama. Menuju Masohi artinya pergi ke pelabuhan Tulehu, naik kapal cepat (2-2.5 jam), tiba di pelabuhan Amahai, Masohi. Untungnya lokasi misi utama kami searah dengan cara menuju Pantai Ora. *yeah!* Setelah beres urusan, kami menuju terminal untuk mencari tahu cara ke Ora (namanya juga bolang dadakan). Sebagai informasi meskipun Masohi adalah kota yang kecil dan begitu sepi namun ternyata Masohi adalah kota terbesar & kabupaten tertua di Maluku.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Menilai-Dinilai

sumber gambar:http://yourbrandvox.com
Manusia itu pelaku sekaligus saksi. Ada saksi yang merasa bisa menjadi juri ada pula yang masih tahu diri. Tapi sekalipun mengaku tahu diri, dalam hati (dalam pikiran) dia tidak henti-hentinya menilai, melabeli, merasai sesuatu yang sebetulnya tak banyak dia tahu. Tindakan otomatis ini membuat dia bebas dari perasaan bersalah, tapi tidak serta merta menjadi benar atau dibenarkan.

Manusia itu saksi sekaligus pelaku. Dia tidak henti-hentinya (merasa) dinilai. Sosiometer namanya, didefinisikan Leary (2005) sebagai perilaku mengawasi nilai hubungan sekaligus juga mengawasi bagaimana seseorang tersebut diterima oleh orang lain secara sosial. Sosiometer melekat di dalam diri individu dan terus menangkap tanda sosial secara (hampir) otomatis dan seringkali diluar kesadaran. Menelan bulat-bulat bagaimana respon, pandangan, sikap orang lain terhadap dirinya.  Berguna? Tentu saja.  Tanda sosial yang tertangkap dicerna sebagai pengingat, pengantisipasi bahkan stimulus imaginatif bagi individu. Sayangnya beberapa manusia memiliki sosiometer yang terlalu sensitif, sering memberi alarm yang sebetulnya tidak ada. Memberi tekanan yang tidak perlu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Dalam Rangka Menutup Tahun 2015


Walaupun belum akhir tahun….

By the way, It's been such a long time since I've posted in here. Rasa rindu menulis itu biasanya muncul ketika membaca tulisan yang indah. Meskipun tulisan saya jauh dari kata indah tapi jadi ingin cepat-cepat mengetik haha. Intinya, saya habis baca tulisan bagus makanya ingat kembali untuk menulis, tapi saya tidak sedang ingin menulis yang indah-indah. Keinginan saya bercerita di trigger oleh pertanyaan seorang teman dalam sebuah surel, “apa kesan tahun 2015 untukmu.” Dan tanpa pikir panjang saya menulis dua kata: Mendebarkan dan penuh kejutan. Mendebarkan dan penuh kejutan sebetulnya kan memang dua hal yang saling bertalian, karena adanya kejutanlah yang membuat berdebar.

Menapak tilas ke awal tahun 2015 hingga saat ini memang ada beberapa resolusi yang urung tercapai, entah karena disiplin yang kurang mantap atau memang niat yang belum bulat. Tapi, Ada beberapa poin dalam daftar keinginan yang sebetulnya tidak terlalu mantap saya bayangkan justru terrealisasi di tahun ini. Salah satunya adalah melanjutkan kuliah. (Sepertinya saya pernah menulis tentang itu di bulan juni atau juli tahun 2014 lalu) Dan di tahun 2015 ini saya literally kuliah kembali. Karena saya mengambil jurusan yang berbeda dengan jurusan semasa S1 dulu, saya harus mengikuti martikulasi selama satu semester (yang sesungguhnya hanya 4 bulan masa belajar). Sesama teman-teman yang murtad dari jurusannya masing-masing, saya belum merasakan perbedaan yang berarti. Berkumpul dan bersama-sama beradaptasi membuat proses adaptasi menjadi smooth sekali. Sampai akhirnya semester 1 pun tiba. *Evil Smirk*

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Hati-hati kepeleset.

Akibat terjatuh di rel kereta, saya terpaksa memperlambat ritme dan perlu sesekali berpegangan saat berjalan. Beberapa hari berjalan dengan begitu lambat, ternyata ada enaknya juga. Saya jadi bisa berjalan santai tanpa kesan terburu-buru, bernafas dengan lebih teratur dan memperhatikan sekeliing dengan lebih seksama. Bahkan sorotan cahaya mobil terasa begitu lama menabrak mata sebelum akhirnya saya hindari. Semua suara di sekitar menjadi begitu jelas. Rengekan anak kecil yang minta dibelikan jajanan, tawar-menawar  penjual dengan tikar yang mengampar di pinggir jalan, obrolan anak-anak sekolah yang berjalan di depan saya.  Telinga saya menangkap banyak kata, mata saya menangkap banyak cahaya.

Tadi sore dalam perjalanan pulang, dengan langkah yang masih jauh lebih lambat dari biasanya, saya berniat membeli satu buah barang. Setelah berjalan begitu jauh dan belum juga menemukan, saya mulai kesal sendiri dan ingin segera pulang. Trotoar yang sedang dipugar, gundukan tanah di pingir jalan,  puluhan  motor yang adu selip membuat jalanan sama sekali tidak bisa dinikmati pejalan kaki. Dan berjalan lambat menjadi sangat-sangat tidak menyenangkan lagi. Akhirnya sambil menahan sedikit nyeri, saya kembali berjalan dengan cepat. Tidak peduli, saya ingin segera sampai kosan dan makan. Titik. Dengan berjalan cepat, saya menghemat banyak waktu dan tentu terhindar dari banyak debu. Lalu ketika hampir sampai, saya baru sadar bahwa kaki saya tidak lagi terasa nyeri. Padahal saya paksakan jalan cepat. Saya paksakan tidak berpegangan pada apapun. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Meninggalkan Posko Kuning

Bapak berusia 40 tahunan itu meneruskan wejangannya. Cerita diawali dengan informasi kedapatan dana dari pemda.  Dana yang tidak bisa dialokasikan untuk sekedar ATK atau keperluan RT. Dana yang hanya akan cair jika ditujukan untuk kegiatan yang bermanfaat untuk seluruh warga. Taman Baca kami memenuhi persyaratan. Taman Baca kami dijadikannya sasaran.

Memang benar politik bukan hanya urusan pemerintah dan orang-orang ‘di atas’. Politik terjadi dimana-mana. Bahkan urusan Kasur pun dipenuhi permasalahan politik.  Politik kelas teri macam begini pun bisa terjadi di Taman Baca yang saban sabtu dipenuhi anak-anak kecil yang gemar mewarnai dan bernyanyi.

Bapak pengurus RT itu belum mengakhiri ceritanya, sementara mulut kami telah rapat dari tadi. Meskipun masing-masing kepala punya suara yang ingin dimuntahkan, tapi perlu ditahan, perlu menahan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In







dibuat oleh teman-teman Logika Rasa dari Cerpen : Tidak Ada Hujan

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

cilukba!

tutup matamu
lalu hitung sampai lima
apa-apa yang hilang akan
menghampirimu
tenang, sayang.
tutup matamu

"ciluk.."

tunggu.

"ba!"

kamu melihatku.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

mesra.

abjad terserak acak
tidak ada kenapa atau apa
hanya bagaimana mengawang di langit-langit.
suara hening mencari perhatian
matamu menemukan tumpuan
bagaimana
caranya
mengekalkan waktu
dalam stoples berisi gula-gula kapas
yang meleleh di ruang mulutmu
yang terkatup sejak
abjad terserak acak
suara hening mendapat perhatian
tanganmu menemukan peraduan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] Entrok: Politik, Feminisme, dan Kasih Ibu.


Novel Entrok memiliki atmosfer yang tidak jauh berbeda dengan novel  Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tapi kadangkala tokoh Marni juga mengingatkan saya dengan tokoh Nyai Ontosoroh pada buku Pram.  Isu tentara versus PKI melatari sebagaian besar cerita. Seperti  pada semua novelnya, Okky Madasari selalu memberi ketegangan yang tidak pernah habis. Ketegangan bahkan sudah dibangun sejak halaman pertama. Epilog di awal novel sudah memberitahu bahwa kisah-kisah seperti ini bukan persoalan happy ending atau tidak, persis seperti Ronggeng Dukuh Paruk.

Tapi Entrok bukan hanya tentang wanita yang tengah berjuang pada era 70an. Entrok adalah cerita tentang cinta dan perjuangan seorang ibu untuk anak perempuannya. Tentang Rahayu yang membenci ibunya.

Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.

Tentang berbagai tirakat ibu untuk anaknya yang membuat dirinya justru dilabeli musyrik, seorang pendosa.

Ealah…Nduk, Sekolah kok malah membuatmu tidak menjadi manusia. (Hal 125)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Rekonstruksi Kebahagiaan


You can be miserable in paradise~ Ruut Veenhoven.

Taman hiburan kadang kala persis miniatur hidup; sekali waktu langit hanya sejengkal lalu dalam sekejap tanah hampir bertubrukan dengan wajah. Apa namanya? Jet coaster? Roller coaster?  Tapi tetap saja kita tidak kapok-kapok, datang lagi, menaiki lagi, merasa mual lagi, menjerit, memohon-mohon minta diturunkan lalu mengantri kembali. Tapi bukankah memang menyenangkan mengetahui kita akhirnya dapat melalui bagian tersulit. Mungkin itulah mengapa kita tidak kapok. Kita ingin terus menunjukan kita mampu, sekalipun hanya kepada diri sendiri.

Jadi, apa sih yang sebetulnya sedang kita (saya) cari? Sudah tepatkah jika bahagia saya tulis sebagai jawaban? Menjadi mutlakah?

Saya bisa mencari kebahagian pada tumpukan buku yang sangat ingin saya baca, atau menonton film komedi dengan pemeran yang saya suka, atau berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi, atau apapun. Tapi saya juga (harusnya) bisa berbahagia tanpa itu semua. Konsep kebahagiaan sejatinya tidak melekat pada apapun.  Tapi bisakah terus-menerus menuntut diri untuk berbahagia?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Malam di Taman

Di Cikarang ada sebuah taman yang sebetulnya tidak bisa disebut taman karena letaknya tepat di tengah jalan raya yang memisahkan antara jalan Kasuari dan Kedasih. Dulu sekali taman mungil yang membentang sepanjang jalan ini dipenuhi oleh pohon Kayu Putih. Lalu entah bagaimana mulanya, tiba-tiba bermunculan pasangan yang menghabiskan malam di antara pohon. Demi mencegah terjadinya hal yang tidak pantas, maka yang berwenang menebang seluruh pohon Kayu Putih. Taman hanya dipenuhi rumput pendek berwarna hijau. Di luar sangkaan, kini tiap malam, jumlah pasangan dan orang-orang yang menghabiskan malam, bahkan menggelar tikar segala menjadi lebih banyak. Dampaknya, tiap pagi puluhan sampah meruah sampai ke jalan-jalan.

Saya termasuk satu diantara banyak orang yang rewel tentang banyaknya orang dan pasangan kekasih yang menghabiskan malam di taman tersebut. Alasan utamanya karena pada pagi harinya, sepanjang jalan mata saya hanya akan menemukan berbagai jenis sampah. Apa enaknya menghabiskan malam di tengah jalan raya dengan pemandangan mobil lalu lalang? Apa enaknya makan bercampur polusi sambil dikibuli pacar yang bahkan tidak bisa mengajarkan cara membuang sampah dengan benar?

Lalu suatu sore menjelang malam, sepulang kerja saya melihat orang tua yang membawa anaknya duduk di salah satu sudut taman (yang sebetulnya bukan taman) beralaskan tikar dan berseda gurau entah sambil menyantap apa. Mengapa mereka sampai perlu bersantai disana? Bagaimana jika sang anak berlarian sampai ke tengah jalan? Tapi semakin dekat,  saya melihat semuanya sedang tertawa. Mungkinkah ada kesenangan yang mereka dapatkan dari sekedar duduk-duduk di taman (yang sebetulnya bukan taman)? Udara malam, keramaian, hijau rumput, suara klakson dan deru kendaraan yang bersahut-sahutan atau apapun selain kotak beratap yang barangkali belum dapat memuaskan kebutuhan hiburan si kecil. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

2 Comments

In Poems


dibuat oleh teman-teman Logika Rasa dari Puisi: Selamat Melawan Malam

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

#1

sumber gambar

berlarilah
cepat-cepat
sampai jatuh
terpelanting
lalu terhisap ke dalam pusaran muasal

berlarilah
jauh-jauh
sampai bayangan tidak tertangkap pandangan
sampai bertemu pada titik bertolak

tidakkah kau merasa
kau hanya
berputar-putar
seperti gangsing yang ditarik ikatannya
terpelesat untuk melesap
menunggu

jatuh.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Tolong Ingatkan

Jika datang waktu ketika kamu tidak tahu harus melakukan atau bahkan merasakan apa, lalu kamu mulai meragu hingga cemasmu menjadi ketakutan yang tidak bisa diabaikan. Tenang saja, tidak apa-apa merasa ragu. Keraguan adalah pengingat untuk merenung lebih lama. Perenungan yang melibatkan akal dan Tuhan, bukan hanya tentang dirimu dan dunia kecil yang kau ciptakan. Dan jika belum dapat kamu kuasai rasa takutmu, pun tidak jadi persoalan. Ketakutan menyadarkanmu perlunya persiapan yang matang. Bukan lagi persiapan kebut semalam seperti ujian sekolah dulu, yang telah kamu duga hasilnya akan membuat malu ibumu. Tentu kamu masih ingat bahwa  sesuatu yang premature seringkali rentan, dan kamu sudah kesal kalau harus terus menyesal. Saya yakin kamu tahu, kamu hanya perlu sedikit lagi bersabar. 

Apakah kamu masih ingin saya ingatkan jika apa yang kamu rasakan mulai kelewatan? 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Pasung Jiwa dan Maryam; Keresahan dalam mengadili keadilan.


Tapi, apakah masih ada kenyamanan ketika seseorang sudah dikepung tatapan penuh kecurigaan? Rasanya seperti sedang dimusuhi dalam diam, ditelanjangi tanpa sentuhan. (Maryam, hal 65)

Pasung Jiwa dan Maryam, kedua buku ini berhasil memancing amarah saya ketika membaca. Keresahan dalam mempertanyakan keadilan menjadi benang merah keduanya. Kebebasan yang dijerat banyak nilai, norma hingga kebenaran yang dijadikan acuan masyarakat. Kebenaran mayoritas. Penerapan keadilan mendadak menjadi tidak adil. 

“Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” (Maryam, hal 249)

Lahir dan tumbuh sebagai Ahmadi (atau keyakinan apapun yang berbeda), di negara Indonesia-tercinta-kita ini, yang katanya negara demokratis, yang katanya berpenghuni manusia penuh toleransi, nyatanya sulitnya setengah mati. Beberapa tahun belakangan memang santer media memberitakan penyerbuan pada kelompok-kelompok agama tertentu, yang dianggap berbeda, yang dilabeli sesat. Apakah yang menentukan sesat atau tidak sesat sudah terjamin sedang tidak dalam kesesatan? Biarkan akal masing-masing yang menjawab.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

untitled.

Jika ada time keeper yang senantiasa mengangkat penanda sisa waktu yang kita punya, beranikah untuk melihatnya dan berhenti memandang ke arah yang lain?

kita berpindah-pindah dari satu kotak kesementaraan ke kotak kesementaraan yang lain. 

terbiasalah. :)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

CINTA.

Siang ini saya ingin membahas cinta, karena saya.. *some text missing* lol

Ada seorang teman yang berkata bahwa cinta itu saling melengkapi. Saya tidak membantah tapi tidak pula mengamini. Tapi kok ya saya pikir menyakini cinta sebagai cara melengkapi kekurangan-kelebihan hanya akan membangun standar yang justru runtuh begitu merasakan cinta itu sendiri. Karena Hubungan bukan rumah dimana kekurangan adalah dinding-dinding berlubang yang perlu ditambal, karena pasangan bukan penyedia batu bata tambahan begitu pula sebaliknya. Manusia harus merasa lengkap dengan dirinya sendiri baru bisa membiarkan dirinya direcoki orang lain. Lagipula, apakah semua kekurangan memang perlu dikompensasi?

Semula saya pun berpikir tidak jauh berbeda. Saya kira cinta artinya menemukan orang sesuai kriteria. Kriteria yang dibentuk dari harapan dan kecemasan. Tapi ada satu titik dimana saya pikir cinta hanyalah kerelaan jangka panjang pada penerimaan dan pemakluman. Hingga pemahaman saya menjadi, cinta adalah keberanian menanggalkan kriteria. (Sudah pasti  pemahaman ini pun akan terus berubah-ubah)

Sejalan dengan Lacan, katanya meskipun cinta artinya mengakui bahwa kita kekurangan dan ada korelasi (entah mengingatkan, entah perasaan yang serupa) antara kekurangan yang kita miliki dengan orang yang kita cintai tapi tidak berarti objek cinta harus sebagai solusi permasalahan kita. Sehingga mereka tidak perlu kita bebani dengan tanggung jawab tak kasat mata dari daftar kriteria.

Lalu, lalu, Demi terlepas dari perasaan keterpisahaan, cinta membuat kita menyampirkan hal-hal yang biasanya dipermasalahkan. Mencintai berarti melepaskan jaket tebal ego dan memakaikannya pada orang lain. Menanggung dingin demi menghangatkan. Tapi bisa jadi  ego yang ditanggalkan adalah bentuk ego lain yang sedang dimenangkan. Toh membahagiakan orang lain atas dasar cinta bermuara pada kebahagiaan sendiri. Ujung-ujungnya kita hanya sedang berputar-putar untuk membahagiakan diri sendiri. Bedanya, kebahagiaan yang ini bergantung pada orang lain.  Membutuhkan objek.

Ada banyak jenis cinta, ada banyak faktor yang membuat cinta tidak bisa murni dengan perasaannya sendiri. Kecemasan, rasa aman, harapan, materi, prestise dan sebagainya. Silakan saja memetakan cinta mana yang kita punya. Apakah cinta ala surgawi versi Socrates atau cinta pelapis tipis dorongan seksual versi Freud? Silakan, silakan.

Tetap saja saya manut pada pernyataan Bapak Fromm bahwa cinta adalah jawaban dari setiap permasalahan manusia. Saya tentu ridho kalau otak saya memproduksi dopamine dan serotonin banyak-banyak haha.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Getas

Kamu mengambil tangannya, mencari sesuatu. Kamu perlu membuktikannya, maka kamu mengenggamnya tanpa suara. Dia tersenyum. Senyum yang kamu kenal. Tapi kamu sedang tidak berminat mengandaikan senyumnya dengan hal-hal manis seperti yang biasa kamu lakukan dulu. Kamu harus menemukan apa yang kamu cari.

Kamu mencoba mengingat apapun yang bisa membantumu menemukannya. Kepalamu menanyangkan banyak hal. Kisah pertemuan dan kisah-kisah setelahnya yang dulu selalu ingin kamu ceritakan pada temanmu dengan gemas. Saat akhirnya kamu biarkan hati dan pikiran sama tidak karuannya. Saat rasa senang meletup-letup di dadamu.

Erat, kamu mengenggamnya.


"Ada apa?"

Suaranya menyadarkanmu, tanpa lagi mendebarkan. Kamu pun tahu, kamu gagal menemukannya. Perlahan kamu melepas genggaman tangannya sambil menggeleng dan memaksakan senyuman. 

Rupanya, tidak ada apapun yang bisa kamu rasakan lagi. Kamu merasa asing dengan perasaanmu sendiri. 

Tiba-tiba kamu ingin sekali pulang.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Pretenders

sumber

So, Today the questions are still the same

Which persona do you want to wear?
Which shadow do you want to throw?

Repress the fear while bear ill will

For the sake of the other
Facing your self is getting further

So you put a smile and talk about the rainbow
while the sun has not yet appeared 
and the sky turns grey


You said ‘Chill,  I am not a pretenders, just the best stager’




*in the middle of studying Jung's Theory, easy to guess :))

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Harapan

Dan Allah berfirman, "Mintalah (berdoalah) kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doamu."
~al Mu'min: 60

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Taman Pustaka

Bandung, 2014

Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata perpustakaan? 

Jika pertanyaan ini diajukan pada saya, ketika masih di bangku sekolah dasar dulu, akan ada tayangan mobil besar berisi buku-buku, gelap dan pengap. Kenapa mobil? karena dahulu sekolah saya tidak memiliki ruangan khusus untuk dijadikan perpustakaan, sehingga mendapatkan bantuan berupa perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling hanya ada setiap hari selasa, apabila jadwal kami masuk siang, paginya kami disuruh mengantri di depan pintu mobil yang sudah diberi tangga lalu masuk secara bergantian ke dalam mobil untuk memilih buku yang akan dipinjam. Jangan bayangan kursi membaca yang nyaman atau bahkan penerangan yang cukup.  Keringat biasanya mengalir deras seusai turun dari mobil pusling (perpustakaan keliling) itu.

Ketika beranjak SMP, saya sudah mendapati ruangan yang disebut perpustakaan. Hampir seluruh buku yang saya ingat adalah buku pelajaran. Penerangan ruangan tidak mumpuni dan setiap kali menyentuh buku, akan ada sidik jari yang tertinggal sementara debu ditangan terbawa pulang. Perpustakaan semacam ini tidak jauh berbeda dengan yang saya temui ketika SMA. Bedanya ada pula koleksi majalah disana. Majalah remaja yang isinya kalau tidak tentang cara berpakaian pasti hanya seputar acara musik dan film. Sementara perpustakaan di SMA saya, lebih identik sebagai tempat mengerjakan tugas merangkum daripada tempat membaca yang nyaman. 

SD 11 Kampung Melayu

Ada anak kecil menunggu di depan pintu. Duduk di tepian lantai sambil melihat ke lapangan. Di belangkangnya satu ruangan di samping kamar mandi masih terkunci. Selang beberapa menit terdengar derap sepatu yang sudah dihapalnya, anak kecil itu dengan spontan menoleh. Senyumnya merekah menghampiri ibu muda berseragam coklat.

“Ayo Ibu, Ayo buka pintunya”.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Percakapan-Percakapan

Pada akhirnya kamu menyadari, Kamu tidak merindukan apa(siapa)pun kecuali beberapa percakapan. Percakapan dimana nalarmu disanggah habis-habisan. Percakapan yang mengingatkan bahwa Tuhan menciptakanmu dengan tujuan. Percakapan yang menyuruhmu berhenti memenjarakan amarah, kerena amarah adalah ibu yang gemar melahirkan kecemasan-kecemasan. Percakapan yang memaksamu berlari lebih cepat karena garis finish belum juga terlihat. Kamu ingin digurui kembali, bahwa tidak semua mimpi perlu diamini. Kamu telah menyiapkan berlembar-lembar manuskrip pertanyaan. Tapi kamu masih menakar hendak bertukar kabar atau mengurungkannya sampai waktu yang belum ditentukan. Karena pada akhirnya kamu menyadari sudah saatnya kamu menghadapi pertanyaan-pertanyaanmu sendiri.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Selamat Melawan Malam



Selamat malam,
apakah malam ini kamu masih selamat?
dari rindu yang datang sambil mengerang

Tenang, katamu.
ramuan mujarab telah kau racik  dari ayat-ayat Tuhan
kau tegak hingga tuli dan rindu kau punggungi

dia menanti-nanti percakapan yang dikremasi tanpa pernah kau hidupkan
meringkuk di bawah lidah berteralis
norma dan aturan tentang menjadi manusia baik.

Apakah keselamatan hanya mendatangi manusia-manusia baik?
Yang tiap malam menerjang rindu yang menjerang meminta-minta perhatian

Apakah malam ini kamu selamat lagi?
dari rindu, dari diriku

diam-diam kau tebas pahatan perasaan menjadi patahan-patahan yang lekas-lekas kau sembunyikan sebelum menggenang dalam kenangan.

Rindu-rindu tidak selamat lagi malam ini.



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Jarak dengan Tuhan




Padamu Ibu, kuceritakan
tentang jarakku pada Tuhan yang memanjang seperti kain sulap warna-warni yang tidak berhenti tersulur dari tangan pria bertopi hitam

semakin jauh
semakin riuh tepuk tangan entah siapa

padahal mereka sedang ditipu
tapi siapa yang sedang menipu?

Padamu ibu, kuberitahu
rasanya keterasingan pada Tuhan.
diriku dan jiwa jiwa di dalamnya
tidak saling mengenali satu sama lain
bercengkrama tanpa tahu sedang bicara apa.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Kisah Pengirim Pesan


Jika tanpa sengaja kamu melintas dan bertanya-tanya, kuberitahu alasanku dikirim ke sini adalah untuk menemuimu. Mungkin dia begitu pelupa atau tidak peduli, entahlah mana yang benar. Tapi tanpa dibekali ingatan yang lengkap tentang diriku sendiri, aku diutus begitu saja. Ketidakberdayaanku memberikan penolakan padanya bukan karena aku lemah melainkan karena aku tahu dia sudah kehabisan cara dan barangkali inilah satu-satunya cara yang tersisa. Cara terakhirnya dengan mengirimku untuk menemuimu.

Informasi tentangmu dia beritahukan pada beberapa kesempatan yang berbeda. Seperti potongan puzzle yang harus kususun sendiri. Tapi tidak terlalu sulit bagiku karena hampir setiap saat dia memberikan petunjuk tentangmu. Misalnya ketika sedang berada di dalam kereta beberapa pekan lalu, tiba-tiba dia ceritakan bagaimana kalian berbagi koran dan merundingkan berita ringan untuk ditertawakan. Juga saat kamu meminta izin memegang tangannya selama menyusuri jalanan di Cikini. Semula gatal lidahku ingin menyanggah anggapan sopan yang dia lekatkan padamu dari fakta bahwa kamu meminta izin terlebih dahulu. Mungkin saja kamu hanya sedang berlagak santun. Tapi suatu malam, dia bercerita tentang bagaimana kamu menghiburnya dengan menceritakan pengalaman konyolmu dan bukannya memberi nasihat-klise yang kalaupun kamu berikan tidak akan menjadi masalah baginya. Saat itulah aku tahu mengapa dirinya begitu tertarik padamu. Menurutnya, kamu adalah teman bicara yang piawai sekaligus pendengar yang sabar.

Biasanya menjelang tengah malam, ketika sudah mulai melantur dia mulai mengasosiasikanmu dengan banyak hal. Matamu biji kelereng yang tidak berhenti menggelinding, bulat dan berkilat. Ceruk kecil di pipi yang tampak tiap kali kamu tersenyum begitu pas dengan ujung jari kelingkingnya, hingga membuatnya gemas selalu ingin menyentuh. Tapi tentu saja dia kurung jemarinya dalam saku celana.

Beberapa kali dia keluhkan padaku telah kehilangan teman diskusi terbaiknya. Hingga cerita-cerita di kepalanya terpaksa diwariskan padaku. Berberapa kali pula kusarankan padanya untuk mengucapkan langsung padamu, tapi nyalinya tak sebesar yang kusangka. Dia akan menekan tombol backspace, memintaku menelan kembali ucapanku.

Jadi dengan membawa pesan rindu yang tanpa tenggat waktu ini. Aku disuruhnya menemuimu. Payahnya, dia juga tidak punya cukup nyali untuk menuliskan kisah bagaimana akhirnya pesan ini tiba padamu. Dia tidak kuasa membayangkan aksiku dan reaksimu. Hingga akhirnya dia meninggalkanku begitu saja tanpa klimaks yang telah kunantikan sejak lama. Aku hanya diberi sepotong alamat yang belum selesai ditulis.  Menunggu dengan sabar dirinya melanjutkan cerita ini.



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] Trilogi Otobiografi A dan Rik si Lelaki Terakhir


Kali ini saya ingin menceritakan secara singkat pengalaman membaca trilogi Si Parasit Lajang-Cerita Cinta Enrico-Pengakuan Eks Parasit Lajang.

Si Parasit Lajang dan Pengakuan Eks Parasit Lajang adalah buku sebab-akibat terhadap sistem buatan yang dimiliki tokoh A. Bergaris besar pada permasalahan seksualitas dan spiritualitas yang menemukan ketidakadilan (menurut tokoh A).  Nilai-nilai dan kisah dibalik  terbentuknya nilai. Nilai yang melekat pada: keperawanan, perawan tua, pernikahan dan hal lainnya. Dimana mayoritas nilai yang digugat, terasa menyudutkan pihak perempuan. Hingga reaksi Tokoh A seperti proses pembuktian pada si pembuat nilai: adat, stigma masyarakat dan hukum yang patriatkal itu.
"jika kamu takut sesuatu, sesuatu itu harus diperjelas. Sesuatu itu harus dihadapi." (Ibu kepada Tokoh A)
Sementara buku Cerita Cinta Enrico adalah kisah utuh milik Rik, si lelaki terakhir. Saya selalu menilai A sebagai pribadi yang manis (dan usil). Dan buku Cerita Cinta Enrico adalah salah satu buktinya. Menurut saya sangat manis ketika A menjadi Rik dengan hidupnya semasa kecil hingga akhirnya bertemu dengan tokoh A.  Hingga ketika membaca buku selanjutnya; Pengakuan Eks Parasit Lajang, Rik yang telah memiliki kisahnya sendiri, sudah menjadi Subjek baru yang utuh. Ada pula tokoh Nik si lelaki pertama yang juga berperan dalam hidup tokoh A.

Konsep kesalahan ontologis (dan bukan persoalan perasaan) yang dijadikan tokoh A sebagai pedoman menggambil keputusan hingga menyampingkan ego Rik pun terasa usil (dan lucu bagi saya) walau tokoh A tidak  bermaksud demikian.

Pengakuan Eks Parasit Lajang ditutup dengan kalimat Nik untuk tokoh A ketika tokoh A mengenalkan Rik padanya. Kalimat yang kini dikenang sepasang kekasih itu ketika si lelaki pertama akhirnya berpulang

“Sudah cukup, ya. Yayang jangan nakal-nakal lagi.”  untuk si anak nakal yang kini telah melakukan sakramen pernikahan.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Kepada Teman Lari Pagi

Untuk A.F.Y

Ada banyak buku self help ditelurkan berbagai macam penerbit. Pasar barangkali melihat dan menyadari hidup dan tetek bengeknya membuat manusia membutuhkan berbagai jenis obat kuat. Salah satunya melalui rangkaian kata motivasi. Apakah ampuh? Tidak sedikit yang tergerak dan berubah dengan satu dua kata penyemangat. Tidak sedikit pula yang tidak tersentuh. Hidup ini berat. Tidak ada yang menyangkalnya. 

Tapi selalu ada kabar baik dari cerita buruk sekalipun.
Bahwa ada satu pion yang dapat (dan harus) kita miliki untuk mengancam bidak-bidak milik musuh. Walaupun bidak raja tidak bisa ditangkap, ia tetap bisa kita skak agar tak berkutik dan mengaku kalah. Pion hebat itu bernama Harapan. 

Tuhan mengizinkan umatnya berdoa adalah salah satu wujud pemberian harapan. Bahkan Tuhan pula memberi harapan bergaransi seumur hidup melalui jaminan pengabulan tiap doa.

Harapan untuk hidup yang lebih ramah
Harapan untuk pribadi yang lebih tangguh
Harapan untuk orang terkasih agar panjang umurnya
Harapan untuk bisa lebih banyak menertawai daripada menangisi tanpa maksud mengeraskan hati.

Dari pion itu kita pun menjadi tahu kebahagiaan tidak lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan.
Maka, bisakah berjanji untuk terus berbahagia, bahkan pada hari-hari mendungmu?
Janji kepada dirimu sendiri. Karena kamu pun tahu di saku celanamu masih ada pion tak kasatmata itu.

~U.S.L



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Confetti

Ibu apakah kamu bersenang-senang?
kulihat langkahmu kian pincang sementara tanganku belum juga menjadi tongkat  yang membantumu berdiri tegak.
Ibu,
Berpestalah sering-sering.
Pesta yang menyulapmu menjadi kanak-kanak sementara aku akan menjadi ibumu yang setia menimang sampai lelap.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kalau-kalau Kamu Lupa

raga bukan penjara
ruh bukan penguasa
mereka adalah karib yang saling mencinta dengan merdeka
naluri menuntun selera
nurani memagari dengan norma
dirimu pengendali paling berani
maka itu;
tutup telingamu
bising di luar membuatmu abai bisikan dari dalam
tutup mulutmu
adakalanya sejahtera rakitan lara, ria merancang luka  
tutup matamu
ilusi optik begitu licik menipu
merdekalah
dari pengadilan ilegal yang kau izinkan
dan sayangilah dirimu
seperti ibu pada bayi yang disusuinya setiap waktu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Resah

Kamu tidak tahu. Hujan yang kau rutuki, diam-diam kusyukuri. Hujan menahan kita dan memberi denting agar sepi tidak menjerat tubuh dingin kita.  Betapa sulit mengunci tanganku agar tidak nakal menyapu basah di pipimu.

Sudah lama hilang senyuman dari bibirmu yang berawarna ceri. Sementara mulutku, tidak berhenti mengalirkan cerita tentang masa ketika tawamu bersatu dengan selorohku di udara. Mengapa kali ini lelucon yang sama tidak memberi tawa yang sama pula?
Bibirmu kian rapat.

Mataku menantang matamu yang menolak menatapku. Angin membawa lari beberapa helai rambutmu dari ikatannya. Jemarimu tampak risih membenarkan, memperlihatkan benda perak yang melingkari jari manismu dengan anggun.

Bersama daun-daun gugur yang larung ke dalam selokan, nyaliku terbawa turun.
“Aku ingin pulang.”
Entah mana yang lebih menggigilkanku, angin atau suaramu sore itu.

* * *
123 Kata #FiksiLaguku terinspirasi dari lagu Resah oleh Payung Teduh.

Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

laki-laki yang terpilih

Malam ini adalah malam penentuan. Meskipun langit sama mendungnya dengan hari-hari kemarin, tapi hari ini semua akan bermula atau berakhir. Sejak pagi, sudah tampak raut gelisah pada wajah emak. Meskipun tidak diutarakan, emak menyapu rumah berkali-kali dengan salah tingkah. Sementara Nanik, istriku, tetap tenang seperti sedia kala. Nanik tetap menyediakan sarapan dan makan siang pada waktunya. Tapi diam-diam, kupergoki dirinya melamun sambil tersenyum sendiri. Barangkali lamunan indah mampir dalam khayalnya. Padahal Nanik yang kukenal adalah wanita yang paling tahu diri. Baginya mengandai-andai adalah jalan pintas menuju kemalasan dan kekecewaan. Tapi barangkali hari ini lain. Malam ini spesial.

Usai sembahyang isya, Nanik dan Emak sudah berjilbab rapi. Cantiknya gadis-gadis ini, kucandai begitu, Emak tertawa canggung sementara Nanik mencubit lenganku. Kami bertiga berangkat dengan harap yang terasa berjingkat-jingkat hingga kerongkongan.

Begitu tiba, hampir semua kursi sudah terisi. Pak RT yang melihat kami tiba, buru-buru mengambil kursi tambahan dan menyilakan kami duduk. Tidak perlu pak, berdiri saja. Lihat, emak mana bisa duduk tenang, yang ini kuutarakan hanya di dalam hati.

Mungkin diantara kami bertiga, Emaklah yang menyimpan keinginan untuk menang paling besar. Mungkin karena emak yang paling sering mengalami kesulitan ketika harus mencari uang pinjaman untuk menebusku di tahanan. Sementara Nanik, kalau tidak menangis, ia pulang ke kampungnya di Pati. 

Kalau dipikirkan semua terasa lucu. Gara-gara mencari uang aku ditahan, lalu emak harus mencari uang lagi untuk tebusan. Kalau aku tidak mencari uang, Emak tidak perlu mencari tebusan, tapi kami tidak makan. Kalau begitu, akhirnya emak mencari pinjaman untuk makan.  Yah begitulah, jelas sudah emaklah yang paling kepayahan. Tidak heran jika kini beliau yang paling mengharap. 

Kata emak kalau mencari tidak akan membuatnya kesusahan, kamu mencuri itulah sebabnya. Sambil tertawa kutanggapi emakku tersayang ini.

Aku ini mencari mak, tapi mencarinya di dompet orang.

Itu mencuri, Bodoh. Kalau kesalnya memuncak emak tidak segan melemparku dengan sapu atau apapun yang ada di tangannya. Walau begitu tetap kusanggah ucapannya.

Mana mungkin mencuri Mak, yang punya yang memberi, itu namanya rejeki.
 PLAK! Gagang sapu sudah beradu kepalaku.

Kalau diancam pakai pisau, semua pun memberi, dasar Bodoh!

Baiklah, aku memang bodoh tapi ternyata orang bodoh sepertiku masih diberi kesempatan yang luar biasa. 

( bersambung ah...)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] Pulang: Tanah Air dan Malpraktek Sejarah

Apa sebutan yang tepat untuk buku yang sudah membuat pembaca merasa kehilangan ketika menemukan kata Tamat pada beberapa halaman terakhir?

Pulang adalah drama kehidupan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Drama paket lengkap tentang keluarga, cinta, pemerintahan, dan persahabatan.  Saya pribadi merasa lebih mengenal Indonesia melalui pembongkaran malpraktek sejarah (meminjam istilah Alam) yang dikemas dalam cerita fiksi ini.

Siapa yang tidak pernah disodori bahasan mengenai PKI ketika di bangku sekolah dulu? Tentang bagaimana para komunis itu membunuhi para jenderal dengan kejam, begitukah? Faktanya, sejarah diceritakan berdasarkan kepentingan negara (atau pencerita) itu sendiri. Seperti kekalahan Amerika dalam perang melawan Vietnam yang disarukan film Ramboo dan sejenisnya, dimana kemenangan dibalik demi menjaga citra negara.

Yah begitu pula halnya dengan Indonesia tercinta. Ketika Indonesia terpecah dua (secara garis besar; antara PKI dan anti-PKI). Menentukan siapa korban dan siapa tersangka bergantung pada pihak mana yang bicara.

Awal cerita pembaca sudah disuguhkan ketegangan ketika Hananto (yang diduga terkait PKI) berhasil diciduk. Bab dilanjutkan dengan Dimas sebagai tokoh sentral yang justru tidak terlibat langsung dengan kubu manapun harus rela terdampar di Paris. Selama puluhan tahun, sebagai eksil politik Indonesia, Dimas Suryo tidak dapat pulang ke negaranya sendiri. Bersama teman-teman senasib, Dimas membangun keluarga dan menjalani kehidupannya di kota Paris. Walaupun begitu, Dimas selalu ingin pulang (ke Indonesia).

Beberapa pergantian Bab diiringi dengan pergantian sudut pandang dengan sangat apik. Pendekatan dan penuturan yang begitu hidup membuat saya, sebagai pembaca, merasa bersisian dengan tiap-tiap tokoh yang ada. Lintang Suryo, Alam, Bimo, Keempat pilar restoran Tanah Air, Surti, Om Aji, Kenanga, Rama dan semua tokoh lain. Semuanya seperti berlalu lalang saat kisah tokoh sedang disorot penulis.

“Kenanga, kamu adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga. Kamu adalah urat nadi kita semua..” (hal 247) 
Seperti yang saya sebutkan diawal, buku ini adalah fiksi paket lengkap. Konflik batin dalam memilih; mulai dari persoalan kubu politik hingga memilih sasaran cinta lengkap dengan resikonya.

“Aku tak ingin berakhir seperti mereka, saling mencintai. Lantas kehilangan dan kini mereka hanya mengenang dan merenung dari jauh.” (Hal 391)  
Mengapa aku seperti dikhianati? Mengapa saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu ditebas semena-mena? (Hal 427)

Membaca buku ini, pembaca sudah bisa dibuat menangis terharu bahkan untuk bab-bab awal. Para tokoh yang telah dicap E.T (eks tapol) seperti korban sekaligus tersangka yang dimusuhi satu negara.
 Tak ada yang mengejek apalagi mencela tingkah laku Mas Nug karena masing-masing pilar mempunyai caranya sendiri untuk tetap tegak dan kuat. (Hal 116) 
 Tiba-tiba keluarlah pertanyaan itu, “Bagaimana gaya Hananto di ranjang? Apa yang kamu sukai?” Aku terpana untuk beberapa saat. Mulailah kekejian Pak R terkuak. Dia mengulang pertanyaannya, kali ini dia membuka sabuk dan ritssluting celananya. Matanya memandang kancing blusku, Aku tetap diam tak menjawab. Suara Pak R menekan. Tidak membentak, tidak mencaci. Menekan.

Hebatnya, dalam narasi ketegangan beberapa dialog dan penuturan tokoh justru kadang membuat tertawa (baik sekedar senyum maupun terbahak).
 “Itu Amien Rais  kan, Lam?” tanyaku menyembunyikan rasa senang karena cara dia memanggilku. Setan. Dalam keadaan begini, masih sempat memanjakan ego pubertas. (Hal 415)

Bukan hanya karena konflik yang beragam yang membuat saya memberi cap buku lengkap, tapi juga karena emosi yang saya rasakan ketika membaca pun campur aduk. Haru, takut, marah, senang, semuanya. Semua perasaan itu masih ada bahkan ketika buku sudah saya tutup.

Luar biasa Leila S. Chudori ini. Tidak heran buku ini menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 dan sudah mengalami lima kali cetak ulang.





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Menyudahi Delusi

Begini segalanya bermula:

Kamu membuatku tertawa. Apakah karena aku mudah merasa senang atau ketika pandangan kita bersirobok, matamu benderang dan kamu memang menyenangkan?

Baru kali ini kutemui manusia semerdeka dirimu. Kamu tidak sibuk berbusana citra. Tidak. Kamu menelanjangi dirimu dari kulit palsu untuk sekedar nilai manusia. 
Kamu merdeka.

Lalu, bang! Aku jatuh cinta. (ternyata lebih menggelikan menuliskannya ketimbang mengucapkannya)
Kita semua tahu menyukai seseorang itu menyenangkan. Bagaimana hanya dengan memikirkan, berandai-andai sudah membuat mata berbinar-binar, hati berdebar, dan  senyum menjadi kian lebar. Dan aku ingin bertemu, satu kali, dua kali, berkali-kali lagi.

Jatuh cinta memang semenyenangkan itu.

Lalu hati dan akal mulai berunding. Hati dengan rona kepayang, akal dengan kacamata kudanya.  Pertanyaan-pertanyaan terlontar tak terbendung. Ada tenggat waktu  untuk segera melampirkan jawabannya. Sebelum segalanya bertajuk terlanjur. Misalnya, Apakah agamanya sama, usianya setara, sukunya tidak bertentangan, pekerjaannya sepadan, prinsipnya tidak berlawanan, blablabla blablabla blablaba..

Kita semua pun tahu, semuanya adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Hanya saja beberapa jawaban belum tentu mudah diterima dengan lapang. Beberapa jawaban membuatmu merengsa dalam memutuskan.

Mengapa kita tidak bisa jatuh cinta saja dan menikmatinya hingga segalanya menjadi boyak, hambar. Mencintai tanpa pagar. Mencintai tanpa bertanya pantas atau tidak, mencintai cinta itu sendiri.

Ketika aku sedang asyik melengkapi essay pertanyaan-pertanyaan yang harus segera dikumpulkan kepada akal sebagai tim penilai. Seketika aku sadar tidak ada jawaban yang akan membuat akal terpuaskan.
Permasalahannya ada banyak; agama yang berbeda, usia jauh lebih muda, pekerjaan yang tak setara, suku yang bertentangan, dan sejumlah masalah yang diada-adakan agar hati memafhumi.
Tapi, aku jatuh cinta.

Kita saling tahu dengan jawaban yang kita punya, kita tidak akan pernah kemana-mana, hingga kita pura-pura tidak tahu kalau kita saling merasa. Itu cara paling mangkus menurut hemat kita.
Apakah ini pintar? Atau pengecut? Atau pengecut yang belagak pintar?
Ingatkah, jatuh cinta hanya bisa dipikul para pemberani? Berani jatuh untuk sekedar terlena dan melenakan.

Sesungguhnya persoalannya demikian sederhana, yang merumitkan adalah ketidakrelaan melesapkan renjana. Cinta. Aku ingin mengatakannya sekali saja, dan melihat tanda pada matamu yang jenaka.
Meskipun, tanda apapun itu tiada lagi gunanya.

Begitulah segalanya berakhir.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Pulang


“Malam ini kamu berangkat ke Banjarnegara, Banyak sekali korban jiwa.” 
Perintah Pak Kardin, atasanku, pagi tadi mencuatkan berbagai ingatan tentang kota itu dan kamu. 

Tiba-tiba suaramu yang memintaku pulang beresonansi di kepalaku. 
“Pulanglah, sebentar lagi aku resmi menjadi perawat, Ibu mengadakan syukuran.”
Gelombang suaramu tiba melalui pesawat telepon. Bergetar.

Seminggu setelah penolakan halus dariku waktu itu, kudengar kabar kamu telah menikah. Selamat! Kamu akhirnya terbebas dari fantasi hubungan kita. Sementara aku melakukan pelarian konyol ke ibu kota, dirimu berlari ke dalam rumah untuk selamanya menetap; berumah tangga.

Itulah terakhir kali kita saling berbicara, selanjutnya aku berbicara padamu melalui balon-balon percakapan di dalam kepala. Menikah. Prosesi pernikahan kita pun hanya di dalam kepalaku.
“Piyambakipun iki adhine awakmu, edan!”1
Peringatan Agus, teman semasa kecil dulu, juga ikut mengekal dalam kepala. Segaja dikekalkan agar memidana rasa yang menjadikannya kriminal norma.

* * *
Sewaktu kukenali wajahmu yang berlumur lumpur pada tubuh yang sedang dibersihkan tim BPBD, seketika aku mundur menjauh. Aku pikir bisa saja karena aku sudah lama merindukanmu sampai aku membayangkan wajahmu pada wajah siapa saja. Entah mengapa sedikitpun aku tidak ingin memastikannya. Aku tidak ingin mendapat kepastian kalau itu memang dirimu. Memiliki harapan kalau kamu masih selamat di luar sana adalah pilihanku saat ini. Membodohi diri sendiri saat ini adalah salah satu cara membuatku bertahan.

Tapi itu memang wajahmu.

Seorang petugas menyerahkan sebuah dompet untuk segera kuperiksa. Kartu tanda pengenal dengan namamu kusalin dalam sebuah buku besar bertuliskan Korban Bencana yang Tewas pada sampul depan.

“Dia adik saya pak.” Dia juga kekasih saya pak.
“Saya turut berduka.” Ucapan simpati disampaikan dengan begitu terburu-buru. Pak Kardin yang ternyata memperhatikan, menghampiri.
“Istirahat dulu saja kamu.” Beliau menepuk punggungku dengan berat. Aku tidak menyangka ketika akhirnya aku pulang, kamu justru berpulang. 

“Tidak usah, tidak apa-apa.”
Pikiranku harus disibukan. Aku kembali beralih pada tanda pengenal milikmu. Pandanganku turun pada status pernikahan. Belum Menikah.


1 Dia itu adikmu, gila!

*repost dari  blog saya yang lain, dengan tema throw back 2014; Bencana Banjarnegara

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Cikuray Bray!


Setelah pendakian hore ke Papandayan akhirnya saya mencicipi pendakian yang sebenarnya *tsah* ke Gunung Cikuray, Garut pada tanggal 30 sampai 1 Januari 2015.

Perjalanan bermula dari pertemuan di Terminal Kampung Rambutan dengan teman-teman pendaki lain pada pukul 10.00 malam. Tiba di terminal Garut pada pukul 03.00 pagi. Kemudian kami menuju Pemancar dengan menggunakan mobil pick up dan tiba pada pukul 5.00. Kami memulai pendakian pada pukul 06.00 dan tiba di puncak pada pukul 01.00 siang.

 Gunung Cikuray walaupun hanya 2818 mdpl namun track pendakiannya lumayan terjal dan hampir tidak berbonus jalan landai. Alhasil sebagai amatir, saya dan teman-teman menghabiskan waktu 7 jam untuk tiba di puncak. Beruntung, dua orang teman lain yang berhasil tiba 4 jam lebih awal, sudah mendirikan tenda di puncak yang telah ramai (berhubung banyak pula yang merayakan tahun baru di gunung).  Sementara waktu turun hanya membutuhkan waktu 3 jam ( dengan berjalan santai, 2 jam jika berjalan cepat).

Menuju puncak gunung Cikuray, kami harus melewati tujuh buah pos. Memulai perjalanan kami melewati perkebunan teh dan sudah dapat melihat pemandangan kota garut yang indah dari atas. Beruntung selama dua hari satu malam disana, cuaca cerah meskipun sedang musim penghujan. Gerimis baru turun ketika kami sudah tiba di Pemancar saat ingin kembali pulang. Meskipun ketika tiba di puncak, kabut membuat sekeliling langit berwarna putih, tapi kealpaan hujan membuat kekhawatiran yang sempat ada menguap seketika.

Malam tahun baru di puncak sangat meriah (meskipun saya toh tetap memilih di dalam tenda haha). Karena posisi tenda hanya beberapa jengkal dari puncak, kami baru mulai ke atas pukul 5.30. Sayangnya matahari tertutup awan dan samudra awan belum sepenuhnya naik ke atas. Menjelang pukul sembilan pagi kabut sudah mulai kembali menutupi langit. Meskipun begitu, barisan  gunung yang mengelilingi puncak sempat terlihat dan memberi pemandangan yang indah sekali.

Pendakian kali ini kami hanya mengeluarkan sekitar 150 ribu untuk simaksi dan ongkos mobil pick up dan 100 ribu untuk ongkos dari kp. Rambutan menuju terminal Garut (52rb) dan dari Terminal Garut menuju Rumah (40 rb, dengan Primajasa Garut-Bekasi). Jadi terlepas dari biaya cemilan dan lain-lain, total biaya sekitar 250 ribu.


Kata orang, mendaki bisa membuat ketagihan. Saya sendiri sudah tidak sabar untuk pendakian berikutnya. It's really addicting! Kalau menurut filosofi Chenia, Jika ke Pantai untuk mengenang/mengingat2, ke Gunung justru untuk mencari distraksi-distraksi. Mungkin benar, toh semua orang butuh distraksi untuk rehat sejenak dari realita *tsaaah ha ha ha.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments