In Poems

Confetti

Ibu apakah kamu bersenang-senang?
kulihat langkahmu kian pincang sementara tanganku belum juga menjadi tongkat  yang membantumu berdiri tegak.
Ibu,
Berpestalah sering-sering.
Pesta yang menyulapmu menjadi kanak-kanak sementara aku akan menjadi ibumu yang setia menimang sampai lelap.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Kalau-kalau Kamu Lupa

raga bukan penjara
ruh bukan penguasa
mereka adalah karib yang saling mencinta dengan merdeka
naluri menuntun selera
nurani memagari dengan norma
dirimu pengendali paling berani
maka itu;
tutup telingamu
bising di luar membuatmu abai bisikan dari dalam
tutup mulutmu
adakalanya sejahtera rakitan lara, ria merancang luka  
tutup matamu
ilusi optik begitu licik menipu
merdekalah
dari pengadilan ilegal yang kau izinkan
dan sayangilah dirimu
seperti ibu pada bayi yang disusuinya setiap waktu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Resah

Kamu tidak tahu. Hujan yang kau rutuki, diam-diam kusyukuri. Hujan menahan kita dan memberi denting agar sepi tidak menjerat tubuh dingin kita.  Betapa sulit mengunci tanganku agar tidak nakal menyapu basah di pipimu.

Sudah lama hilang senyuman dari bibirmu yang berawarna ceri. Sementara mulutku, tidak berhenti mengalirkan cerita tentang masa ketika tawamu bersatu dengan selorohku di udara. Mengapa kali ini lelucon yang sama tidak memberi tawa yang sama pula?
Bibirmu kian rapat.

Mataku menantang matamu yang menolak menatapku. Angin membawa lari beberapa helai rambutmu dari ikatannya. Jemarimu tampak risih membenarkan, memperlihatkan benda perak yang melingkari jari manismu dengan anggun.

Bersama daun-daun gugur yang larung ke dalam selokan, nyaliku terbawa turun.
“Aku ingin pulang.”
Entah mana yang lebih menggigilkanku, angin atau suaramu sore itu.

* * *
123 Kata #FiksiLaguku terinspirasi dari lagu Resah oleh Payung Teduh.

Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

laki-laki yang terpilih

Malam ini adalah malam penentuan. Meskipun langit sama mendungnya dengan hari-hari kemarin, tapi hari ini semua akan bermula atau berakhir. Sejak pagi, sudah tampak raut gelisah pada wajah emak. Meskipun tidak diutarakan, emak menyapu rumah berkali-kali dengan salah tingkah. Sementara Nanik, istriku, tetap tenang seperti sedia kala. Nanik tetap menyediakan sarapan dan makan siang pada waktunya. Tapi diam-diam, kupergoki dirinya melamun sambil tersenyum sendiri. Barangkali lamunan indah mampir dalam khayalnya. Padahal Nanik yang kukenal adalah wanita yang paling tahu diri. Baginya mengandai-andai adalah jalan pintas menuju kemalasan dan kekecewaan. Tapi barangkali hari ini lain. Malam ini spesial.

Usai sembahyang isya, Nanik dan Emak sudah berjilbab rapi. Cantiknya gadis-gadis ini, kucandai begitu, Emak tertawa canggung sementara Nanik mencubit lenganku. Kami bertiga berangkat dengan harap yang terasa berjingkat-jingkat hingga kerongkongan.

Begitu tiba, hampir semua kursi sudah terisi. Pak RT yang melihat kami tiba, buru-buru mengambil kursi tambahan dan menyilakan kami duduk. Tidak perlu pak, berdiri saja. Lihat, emak mana bisa duduk tenang, yang ini kuutarakan hanya di dalam hati.

Mungkin diantara kami bertiga, Emaklah yang menyimpan keinginan untuk menang paling besar. Mungkin karena emak yang paling sering mengalami kesulitan ketika harus mencari uang pinjaman untuk menebusku di tahanan. Sementara Nanik, kalau tidak menangis, ia pulang ke kampungnya di Pati. 

Kalau dipikirkan semua terasa lucu. Gara-gara mencari uang aku ditahan, lalu emak harus mencari uang lagi untuk tebusan. Kalau aku tidak mencari uang, Emak tidak perlu mencari tebusan, tapi kami tidak makan. Kalau begitu, akhirnya emak mencari pinjaman untuk makan.  Yah begitulah, jelas sudah emaklah yang paling kepayahan. Tidak heran jika kini beliau yang paling mengharap. 

Kata emak kalau mencari tidak akan membuatnya kesusahan, kamu mencuri itulah sebabnya. Sambil tertawa kutanggapi emakku tersayang ini.

Aku ini mencari mak, tapi mencarinya di dompet orang.

Itu mencuri, Bodoh. Kalau kesalnya memuncak emak tidak segan melemparku dengan sapu atau apapun yang ada di tangannya. Walau begitu tetap kusanggah ucapannya.

Mana mungkin mencuri Mak, yang punya yang memberi, itu namanya rejeki.
 PLAK! Gagang sapu sudah beradu kepalaku.

Kalau diancam pakai pisau, semua pun memberi, dasar Bodoh!

Baiklah, aku memang bodoh tapi ternyata orang bodoh sepertiku masih diberi kesempatan yang luar biasa. 

( bersambung ah...)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[Review] Pulang: Tanah Air dan Malpraktek Sejarah

Apa sebutan yang tepat untuk buku yang sudah membuat pembaca merasa kehilangan ketika menemukan kata Tamat pada beberapa halaman terakhir?

Pulang adalah drama kehidupan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Drama paket lengkap tentang keluarga, cinta, pemerintahan, dan persahabatan.  Saya pribadi merasa lebih mengenal Indonesia melalui pembongkaran malpraktek sejarah (meminjam istilah Alam) yang dikemas dalam cerita fiksi ini.

Siapa yang tidak pernah disodori bahasan mengenai PKI ketika di bangku sekolah dulu? Tentang bagaimana para komunis itu membunuhi para jenderal dengan kejam, begitukah? Faktanya, sejarah diceritakan berdasarkan kepentingan negara (atau pencerita) itu sendiri. Seperti kekalahan Amerika dalam perang melawan Vietnam yang disarukan film Ramboo dan sejenisnya, dimana kemenangan dibalik demi menjaga citra negara.

Yah begitu pula halnya dengan Indonesia tercinta. Ketika Indonesia terpecah dua (secara garis besar; antara PKI dan anti-PKI). Menentukan siapa korban dan siapa tersangka bergantung pada pihak mana yang bicara.

Awal cerita pembaca sudah disuguhkan ketegangan ketika Hananto (yang diduga terkait PKI) berhasil diciduk. Bab dilanjutkan dengan Dimas sebagai tokoh sentral yang justru tidak terlibat langsung dengan kubu manapun harus rela terdampar di Paris. Selama puluhan tahun, sebagai eksil politik Indonesia, Dimas Suryo tidak dapat pulang ke negaranya sendiri. Bersama teman-teman senasib, Dimas membangun keluarga dan menjalani kehidupannya di kota Paris. Walaupun begitu, Dimas selalu ingin pulang (ke Indonesia).

Beberapa pergantian Bab diiringi dengan pergantian sudut pandang dengan sangat apik. Pendekatan dan penuturan yang begitu hidup membuat saya, sebagai pembaca, merasa bersisian dengan tiap-tiap tokoh yang ada. Lintang Suryo, Alam, Bimo, Keempat pilar restoran Tanah Air, Surti, Om Aji, Kenanga, Rama dan semua tokoh lain. Semuanya seperti berlalu lalang saat kisah tokoh sedang disorot penulis.

“Kenanga, kamu adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga. Kamu adalah urat nadi kita semua..” (hal 247) 
Seperti yang saya sebutkan diawal, buku ini adalah fiksi paket lengkap. Konflik batin dalam memilih; mulai dari persoalan kubu politik hingga memilih sasaran cinta lengkap dengan resikonya.

“Aku tak ingin berakhir seperti mereka, saling mencintai. Lantas kehilangan dan kini mereka hanya mengenang dan merenung dari jauh.” (Hal 391)  
Mengapa aku seperti dikhianati? Mengapa saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu ditebas semena-mena? (Hal 427)

Membaca buku ini, pembaca sudah bisa dibuat menangis terharu bahkan untuk bab-bab awal. Para tokoh yang telah dicap E.T (eks tapol) seperti korban sekaligus tersangka yang dimusuhi satu negara.
 Tak ada yang mengejek apalagi mencela tingkah laku Mas Nug karena masing-masing pilar mempunyai caranya sendiri untuk tetap tegak dan kuat. (Hal 116) 
 Tiba-tiba keluarlah pertanyaan itu, “Bagaimana gaya Hananto di ranjang? Apa yang kamu sukai?” Aku terpana untuk beberapa saat. Mulailah kekejian Pak R terkuak. Dia mengulang pertanyaannya, kali ini dia membuka sabuk dan ritssluting celananya. Matanya memandang kancing blusku, Aku tetap diam tak menjawab. Suara Pak R menekan. Tidak membentak, tidak mencaci. Menekan.

Hebatnya, dalam narasi ketegangan beberapa dialog dan penuturan tokoh justru kadang membuat tertawa (baik sekedar senyum maupun terbahak).
 “Itu Amien Rais  kan, Lam?” tanyaku menyembunyikan rasa senang karena cara dia memanggilku. Setan. Dalam keadaan begini, masih sempat memanjakan ego pubertas. (Hal 415)

Bukan hanya karena konflik yang beragam yang membuat saya memberi cap buku lengkap, tapi juga karena emosi yang saya rasakan ketika membaca pun campur aduk. Haru, takut, marah, senang, semuanya. Semua perasaan itu masih ada bahkan ketika buku sudah saya tutup.

Luar biasa Leila S. Chudori ini. Tidak heran buku ini menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 dan sudah mengalami lima kali cetak ulang.





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Menyudahi Delusi

Begini segalanya bermula:

Kamu membuatku tertawa. Apakah karena aku mudah merasa senang atau ketika pandangan kita bersirobok, matamu benderang dan kamu memang menyenangkan?

Baru kali ini kutemui manusia semerdeka dirimu. Kamu tidak sibuk berbusana citra. Tidak. Kamu menelanjangi dirimu dari kulit palsu untuk sekedar nilai manusia. 
Kamu merdeka.

Lalu, bang! Aku jatuh cinta. (ternyata lebih menggelikan menuliskannya ketimbang mengucapkannya)
Kita semua tahu menyukai seseorang itu menyenangkan. Bagaimana hanya dengan memikirkan, berandai-andai sudah membuat mata berbinar-binar, hati berdebar, dan  senyum menjadi kian lebar. Dan aku ingin bertemu, satu kali, dua kali, berkali-kali lagi.

Jatuh cinta memang semenyenangkan itu.

Lalu hati dan akal mulai berunding. Hati dengan rona kepayang, akal dengan kacamata kudanya.  Pertanyaan-pertanyaan terlontar tak terbendung. Ada tenggat waktu  untuk segera melampirkan jawabannya. Sebelum segalanya bertajuk terlanjur. Misalnya, Apakah agamanya sama, usianya setara, sukunya tidak bertentangan, pekerjaannya sepadan, prinsipnya tidak berlawanan, blablabla blablabla blablaba..

Kita semua pun tahu, semuanya adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Hanya saja beberapa jawaban belum tentu mudah diterima dengan lapang. Beberapa jawaban membuatmu merengsa dalam memutuskan.

Mengapa kita tidak bisa jatuh cinta saja dan menikmatinya hingga segalanya menjadi boyak, hambar. Mencintai tanpa pagar. Mencintai tanpa bertanya pantas atau tidak, mencintai cinta itu sendiri.

Ketika aku sedang asyik melengkapi essay pertanyaan-pertanyaan yang harus segera dikumpulkan kepada akal sebagai tim penilai. Seketika aku sadar tidak ada jawaban yang akan membuat akal terpuaskan.
Permasalahannya ada banyak; agama yang berbeda, usia jauh lebih muda, pekerjaan yang tak setara, suku yang bertentangan, dan sejumlah masalah yang diada-adakan agar hati memafhumi.
Tapi, aku jatuh cinta.

Kita saling tahu dengan jawaban yang kita punya, kita tidak akan pernah kemana-mana, hingga kita pura-pura tidak tahu kalau kita saling merasa. Itu cara paling mangkus menurut hemat kita.
Apakah ini pintar? Atau pengecut? Atau pengecut yang belagak pintar?
Ingatkah, jatuh cinta hanya bisa dipikul para pemberani? Berani jatuh untuk sekedar terlena dan melenakan.

Sesungguhnya persoalannya demikian sederhana, yang merumitkan adalah ketidakrelaan melesapkan renjana. Cinta. Aku ingin mengatakannya sekali saja, dan melihat tanda pada matamu yang jenaka.
Meskipun, tanda apapun itu tiada lagi gunanya.

Begitulah segalanya berakhir.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Pulang


“Malam ini kamu berangkat ke Banjarnegara, Banyak sekali korban jiwa.” 
Perintah Pak Kardin, atasanku, pagi tadi mencuatkan berbagai ingatan tentang kota itu dan kamu. 

Tiba-tiba suaramu yang memintaku pulang beresonansi di kepalaku. 
“Pulanglah, sebentar lagi aku resmi menjadi perawat, Ibu mengadakan syukuran.”
Gelombang suaramu tiba melalui pesawat telepon. Bergetar.

Seminggu setelah penolakan halus dariku waktu itu, kudengar kabar kamu telah menikah. Selamat! Kamu akhirnya terbebas dari fantasi hubungan kita. Sementara aku melakukan pelarian konyol ke ibu kota, dirimu berlari ke dalam rumah untuk selamanya menetap; berumah tangga.

Itulah terakhir kali kita saling berbicara, selanjutnya aku berbicara padamu melalui balon-balon percakapan di dalam kepala. Menikah. Prosesi pernikahan kita pun hanya di dalam kepalaku.
“Piyambakipun iki adhine awakmu, edan!”1
Peringatan Agus, teman semasa kecil dulu, juga ikut mengekal dalam kepala. Segaja dikekalkan agar memidana rasa yang menjadikannya kriminal norma.

* * *
Sewaktu kukenali wajahmu yang berlumur lumpur pada tubuh yang sedang dibersihkan tim BPBD, seketika aku mundur menjauh. Aku pikir bisa saja karena aku sudah lama merindukanmu sampai aku membayangkan wajahmu pada wajah siapa saja. Entah mengapa sedikitpun aku tidak ingin memastikannya. Aku tidak ingin mendapat kepastian kalau itu memang dirimu. Memiliki harapan kalau kamu masih selamat di luar sana adalah pilihanku saat ini. Membodohi diri sendiri saat ini adalah salah satu cara membuatku bertahan.

Tapi itu memang wajahmu.

Seorang petugas menyerahkan sebuah dompet untuk segera kuperiksa. Kartu tanda pengenal dengan namamu kusalin dalam sebuah buku besar bertuliskan Korban Bencana yang Tewas pada sampul depan.

“Dia adik saya pak.” Dia juga kekasih saya pak.
“Saya turut berduka.” Ucapan simpati disampaikan dengan begitu terburu-buru. Pak Kardin yang ternyata memperhatikan, menghampiri.
“Istirahat dulu saja kamu.” Beliau menepuk punggungku dengan berat. Aku tidak menyangka ketika akhirnya aku pulang, kamu justru berpulang. 

“Tidak usah, tidak apa-apa.”
Pikiranku harus disibukan. Aku kembali beralih pada tanda pengenal milikmu. Pandanganku turun pada status pernikahan. Belum Menikah.


1 Dia itu adikmu, gila!

*repost dari  blog saya yang lain, dengan tema throw back 2014; Bencana Banjarnegara

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Cikuray Bray!


Setelah pendakian hore ke Papandayan akhirnya saya mencicipi pendakian yang sebenarnya *tsah* ke Gunung Cikuray, Garut pada tanggal 30 sampai 1 Januari 2015.

Perjalanan bermula dari pertemuan di Terminal Kampung Rambutan dengan teman-teman pendaki lain pada pukul 10.00 malam. Tiba di terminal Garut pada pukul 03.00 pagi. Kemudian kami menuju Pemancar dengan menggunakan mobil pick up dan tiba pada pukul 5.00. Kami memulai pendakian pada pukul 06.00 dan tiba di puncak pada pukul 01.00 siang.

 Gunung Cikuray walaupun hanya 2818 mdpl namun track pendakiannya lumayan terjal dan hampir tidak berbonus jalan landai. Alhasil sebagai amatir, saya dan teman-teman menghabiskan waktu 7 jam untuk tiba di puncak. Beruntung, dua orang teman lain yang berhasil tiba 4 jam lebih awal, sudah mendirikan tenda di puncak yang telah ramai (berhubung banyak pula yang merayakan tahun baru di gunung).  Sementara waktu turun hanya membutuhkan waktu 3 jam ( dengan berjalan santai, 2 jam jika berjalan cepat).

Menuju puncak gunung Cikuray, kami harus melewati tujuh buah pos. Memulai perjalanan kami melewati perkebunan teh dan sudah dapat melihat pemandangan kota garut yang indah dari atas. Beruntung selama dua hari satu malam disana, cuaca cerah meskipun sedang musim penghujan. Gerimis baru turun ketika kami sudah tiba di Pemancar saat ingin kembali pulang. Meskipun ketika tiba di puncak, kabut membuat sekeliling langit berwarna putih, tapi kealpaan hujan membuat kekhawatiran yang sempat ada menguap seketika.

Malam tahun baru di puncak sangat meriah (meskipun saya toh tetap memilih di dalam tenda haha). Karena posisi tenda hanya beberapa jengkal dari puncak, kami baru mulai ke atas pukul 5.30. Sayangnya matahari tertutup awan dan samudra awan belum sepenuhnya naik ke atas. Menjelang pukul sembilan pagi kabut sudah mulai kembali menutupi langit. Meskipun begitu, barisan  gunung yang mengelilingi puncak sempat terlihat dan memberi pemandangan yang indah sekali.

Pendakian kali ini kami hanya mengeluarkan sekitar 150 ribu untuk simaksi dan ongkos mobil pick up dan 100 ribu untuk ongkos dari kp. Rambutan menuju terminal Garut (52rb) dan dari Terminal Garut menuju Rumah (40 rb, dengan Primajasa Garut-Bekasi). Jadi terlepas dari biaya cemilan dan lain-lain, total biaya sekitar 250 ribu.


Kata orang, mendaki bisa membuat ketagihan. Saya sendiri sudah tidak sabar untuk pendakian berikutnya. It's really addicting! Kalau menurut filosofi Chenia, Jika ke Pantai untuk mengenang/mengingat2, ke Gunung justru untuk mencari distraksi-distraksi. Mungkin benar, toh semua orang butuh distraksi untuk rehat sejenak dari realita *tsaaah ha ha ha.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments