In Thought

[Review] Pulang: Tanah Air dan Malpraktek Sejarah

Apa sebutan yang tepat untuk buku yang sudah membuat pembaca merasa kehilangan ketika menemukan kata Tamat pada beberapa halaman terakhir?

Pulang adalah drama kehidupan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Drama paket lengkap tentang keluarga, cinta, pemerintahan, dan persahabatan.  Saya pribadi merasa lebih mengenal Indonesia melalui pembongkaran malpraktek sejarah (meminjam istilah Alam) yang dikemas dalam cerita fiksi ini.

Siapa yang tidak pernah disodori bahasan mengenai PKI ketika di bangku sekolah dulu? Tentang bagaimana para komunis itu membunuhi para jenderal dengan kejam, begitukah? Faktanya, sejarah diceritakan berdasarkan kepentingan negara (atau pencerita) itu sendiri. Seperti kekalahan Amerika dalam perang melawan Vietnam yang disarukan film Ramboo dan sejenisnya, dimana kemenangan dibalik demi menjaga citra negara.

Yah begitu pula halnya dengan Indonesia tercinta. Ketika Indonesia terpecah dua (secara garis besar; antara PKI dan anti-PKI). Menentukan siapa korban dan siapa tersangka bergantung pada pihak mana yang bicara.

Awal cerita pembaca sudah disuguhkan ketegangan ketika Hananto (yang diduga terkait PKI) berhasil diciduk. Bab dilanjutkan dengan Dimas sebagai tokoh sentral yang justru tidak terlibat langsung dengan kubu manapun harus rela terdampar di Paris. Selama puluhan tahun, sebagai eksil politik Indonesia, Dimas Suryo tidak dapat pulang ke negaranya sendiri. Bersama teman-teman senasib, Dimas membangun keluarga dan menjalani kehidupannya di kota Paris. Walaupun begitu, Dimas selalu ingin pulang (ke Indonesia).

Beberapa pergantian Bab diiringi dengan pergantian sudut pandang dengan sangat apik. Pendekatan dan penuturan yang begitu hidup membuat saya, sebagai pembaca, merasa bersisian dengan tiap-tiap tokoh yang ada. Lintang Suryo, Alam, Bimo, Keempat pilar restoran Tanah Air, Surti, Om Aji, Kenanga, Rama dan semua tokoh lain. Semuanya seperti berlalu lalang saat kisah tokoh sedang disorot penulis.

“Kenanga, kamu adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga. Kamu adalah urat nadi kita semua..” (hal 247) 
Seperti yang saya sebutkan diawal, buku ini adalah fiksi paket lengkap. Konflik batin dalam memilih; mulai dari persoalan kubu politik hingga memilih sasaran cinta lengkap dengan resikonya.

“Aku tak ingin berakhir seperti mereka, saling mencintai. Lantas kehilangan dan kini mereka hanya mengenang dan merenung dari jauh.” (Hal 391)  
Mengapa aku seperti dikhianati? Mengapa saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu ditebas semena-mena? (Hal 427)

Membaca buku ini, pembaca sudah bisa dibuat menangis terharu bahkan untuk bab-bab awal. Para tokoh yang telah dicap E.T (eks tapol) seperti korban sekaligus tersangka yang dimusuhi satu negara.
 Tak ada yang mengejek apalagi mencela tingkah laku Mas Nug karena masing-masing pilar mempunyai caranya sendiri untuk tetap tegak dan kuat. (Hal 116) 
 Tiba-tiba keluarlah pertanyaan itu, “Bagaimana gaya Hananto di ranjang? Apa yang kamu sukai?” Aku terpana untuk beberapa saat. Mulailah kekejian Pak R terkuak. Dia mengulang pertanyaannya, kali ini dia membuka sabuk dan ritssluting celananya. Matanya memandang kancing blusku, Aku tetap diam tak menjawab. Suara Pak R menekan. Tidak membentak, tidak mencaci. Menekan.

Hebatnya, dalam narasi ketegangan beberapa dialog dan penuturan tokoh justru kadang membuat tertawa (baik sekedar senyum maupun terbahak).
 “Itu Amien Rais  kan, Lam?” tanyaku menyembunyikan rasa senang karena cara dia memanggilku. Setan. Dalam keadaan begini, masih sempat memanjakan ego pubertas. (Hal 415)

Bukan hanya karena konflik yang beragam yang membuat saya memberi cap buku lengkap, tapi juga karena emosi yang saya rasakan ketika membaca pun campur aduk. Haru, takut, marah, senang, semuanya. Semua perasaan itu masih ada bahkan ketika buku sudah saya tutup.

Luar biasa Leila S. Chudori ini. Tidak heran buku ini menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 dan sudah mengalami lima kali cetak ulang.





0 comments:

Post a Comment

What do you think?