In Memories

Rekonstruksi Kebahagiaan


You can be miserable in paradise~ Ruut Veenhoven.

Taman hiburan kadang kala persis miniatur hidup; sekali waktu langit hanya sejengkal lalu dalam sekejap tanah hampir bertubrukan dengan wajah. Apa namanya? Jet coaster? Roller coaster?  Tapi tetap saja kita tidak kapok-kapok, datang lagi, menaiki lagi, merasa mual lagi, menjerit, memohon-mohon minta diturunkan lalu mengantri kembali. Tapi bukankah memang menyenangkan mengetahui kita akhirnya dapat melalui bagian tersulit. Mungkin itulah mengapa kita tidak kapok. Kita ingin terus menunjukan kita mampu, sekalipun hanya kepada diri sendiri.

Jadi, apa sih yang sebetulnya sedang kita (saya) cari? Sudah tepatkah jika bahagia saya tulis sebagai jawaban? Menjadi mutlakah?

Saya bisa mencari kebahagian pada tumpukan buku yang sangat ingin saya baca, atau menonton film komedi dengan pemeran yang saya suka, atau berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi, atau apapun. Tapi saya juga (harusnya) bisa berbahagia tanpa itu semua. Konsep kebahagiaan sejatinya tidak melekat pada apapun.  Tapi bisakah terus-menerus menuntut diri untuk berbahagia?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Malam di Taman

Di Cikarang ada sebuah taman yang sebetulnya tidak bisa disebut taman karena letaknya tepat di tengah jalan raya yang memisahkan antara jalan Kasuari dan Kedasih. Dulu sekali taman mungil yang membentang sepanjang jalan ini dipenuhi oleh pohon Kayu Putih. Lalu entah bagaimana mulanya, tiba-tiba bermunculan pasangan yang menghabiskan malam di antara pohon. Demi mencegah terjadinya hal yang tidak pantas, maka yang berwenang menebang seluruh pohon Kayu Putih. Taman hanya dipenuhi rumput pendek berwarna hijau. Di luar sangkaan, kini tiap malam, jumlah pasangan dan orang-orang yang menghabiskan malam, bahkan menggelar tikar segala menjadi lebih banyak. Dampaknya, tiap pagi puluhan sampah meruah sampai ke jalan-jalan.

Saya termasuk satu diantara banyak orang yang rewel tentang banyaknya orang dan pasangan kekasih yang menghabiskan malam di taman tersebut. Alasan utamanya karena pada pagi harinya, sepanjang jalan mata saya hanya akan menemukan berbagai jenis sampah. Apa enaknya menghabiskan malam di tengah jalan raya dengan pemandangan mobil lalu lalang? Apa enaknya makan bercampur polusi sambil dikibuli pacar yang bahkan tidak bisa mengajarkan cara membuang sampah dengan benar?

Lalu suatu sore menjelang malam, sepulang kerja saya melihat orang tua yang membawa anaknya duduk di salah satu sudut taman (yang sebetulnya bukan taman) beralaskan tikar dan berseda gurau entah sambil menyantap apa. Mengapa mereka sampai perlu bersantai disana? Bagaimana jika sang anak berlarian sampai ke tengah jalan? Tapi semakin dekat,  saya melihat semuanya sedang tertawa. Mungkinkah ada kesenangan yang mereka dapatkan dari sekedar duduk-duduk di taman (yang sebetulnya bukan taman)? Udara malam, keramaian, hijau rumput, suara klakson dan deru kendaraan yang bersahut-sahutan atau apapun selain kotak beratap yang barangkali belum dapat memuaskan kebutuhan hiburan si kecil. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

2 Comments

In Poems


dibuat oleh teman-teman Logika Rasa dari Puisi: Selamat Melawan Malam

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

#1

sumber gambar

berlarilah
cepat-cepat
sampai jatuh
terpelanting
lalu terhisap ke dalam pusaran muasal

berlarilah
jauh-jauh
sampai bayangan tidak tertangkap pandangan
sampai bertemu pada titik bertolak

tidakkah kau merasa
kau hanya
berputar-putar
seperti gangsing yang ditarik ikatannya
terpelesat untuk melesap
menunggu

jatuh.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Tolong Ingatkan

Jika datang waktu ketika kamu tidak tahu harus melakukan atau bahkan merasakan apa, lalu kamu mulai meragu hingga cemasmu menjadi ketakutan yang tidak bisa diabaikan. Tenang saja, tidak apa-apa merasa ragu. Keraguan adalah pengingat untuk merenung lebih lama. Perenungan yang melibatkan akal dan Tuhan, bukan hanya tentang dirimu dan dunia kecil yang kau ciptakan. Dan jika belum dapat kamu kuasai rasa takutmu, pun tidak jadi persoalan. Ketakutan menyadarkanmu perlunya persiapan yang matang. Bukan lagi persiapan kebut semalam seperti ujian sekolah dulu, yang telah kamu duga hasilnya akan membuat malu ibumu. Tentu kamu masih ingat bahwa  sesuatu yang premature seringkali rentan, dan kamu sudah kesal kalau harus terus menyesal. Saya yakin kamu tahu, kamu hanya perlu sedikit lagi bersabar. 

Apakah kamu masih ingin saya ingatkan jika apa yang kamu rasakan mulai kelewatan? 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Pasung Jiwa dan Maryam; Keresahan dalam mengadili keadilan.


Tapi, apakah masih ada kenyamanan ketika seseorang sudah dikepung tatapan penuh kecurigaan? Rasanya seperti sedang dimusuhi dalam diam, ditelanjangi tanpa sentuhan. (Maryam, hal 65)

Pasung Jiwa dan Maryam, kedua buku ini berhasil memancing amarah saya ketika membaca. Keresahan dalam mempertanyakan keadilan menjadi benang merah keduanya. Kebebasan yang dijerat banyak nilai, norma hingga kebenaran yang dijadikan acuan masyarakat. Kebenaran mayoritas. Penerapan keadilan mendadak menjadi tidak adil. 

“Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” (Maryam, hal 249)

Lahir dan tumbuh sebagai Ahmadi (atau keyakinan apapun yang berbeda), di negara Indonesia-tercinta-kita ini, yang katanya negara demokratis, yang katanya berpenghuni manusia penuh toleransi, nyatanya sulitnya setengah mati. Beberapa tahun belakangan memang santer media memberitakan penyerbuan pada kelompok-kelompok agama tertentu, yang dianggap berbeda, yang dilabeli sesat. Apakah yang menentukan sesat atau tidak sesat sudah terjamin sedang tidak dalam kesesatan? Biarkan akal masing-masing yang menjawab.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments