In Thought

Hati-hati kepeleset.

Akibat terjatuh di rel kereta, saya terpaksa memperlambat ritme dan perlu sesekali berpegangan saat berjalan. Beberapa hari berjalan dengan begitu lambat, ternyata ada enaknya juga. Saya jadi bisa berjalan santai tanpa kesan terburu-buru, bernafas dengan lebih teratur dan memperhatikan sekeliing dengan lebih seksama. Bahkan sorotan cahaya mobil terasa begitu lama menabrak mata sebelum akhirnya saya hindari. Semua suara di sekitar menjadi begitu jelas. Rengekan anak kecil yang minta dibelikan jajanan, tawar-menawar  penjual dengan tikar yang mengampar di pinggir jalan, obrolan anak-anak sekolah yang berjalan di depan saya.  Telinga saya menangkap banyak kata, mata saya menangkap banyak cahaya.

Tadi sore dalam perjalanan pulang, dengan langkah yang masih jauh lebih lambat dari biasanya, saya berniat membeli satu buah barang. Setelah berjalan begitu jauh dan belum juga menemukan, saya mulai kesal sendiri dan ingin segera pulang. Trotoar yang sedang dipugar, gundukan tanah di pingir jalan,  puluhan  motor yang adu selip membuat jalanan sama sekali tidak bisa dinikmati pejalan kaki. Dan berjalan lambat menjadi sangat-sangat tidak menyenangkan lagi. Akhirnya sambil menahan sedikit nyeri, saya kembali berjalan dengan cepat. Tidak peduli, saya ingin segera sampai kosan dan makan. Titik. Dengan berjalan cepat, saya menghemat banyak waktu dan tentu terhindar dari banyak debu. Lalu ketika hampir sampai, saya baru sadar bahwa kaki saya tidak lagi terasa nyeri. Padahal saya paksakan jalan cepat. Saya paksakan tidak berpegangan pada apapun. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments