Akibat terjatuh di rel kereta, saya
terpaksa memperlambat ritme dan perlu sesekali berpegangan saat berjalan. Beberapa
hari berjalan dengan begitu lambat, ternyata ada enaknya juga. Saya jadi bisa berjalan
santai tanpa kesan terburu-buru, bernafas dengan lebih teratur dan
memperhatikan sekeliing dengan lebih seksama. Bahkan sorotan cahaya mobil
terasa begitu lama menabrak mata sebelum akhirnya saya hindari. Semua suara di
sekitar menjadi begitu jelas. Rengekan anak kecil yang minta dibelikan jajanan,
tawar-menawar penjual dengan tikar yang
mengampar di pinggir jalan, obrolan anak-anak sekolah yang berjalan di depan
saya. Telinga saya menangkap banyak
kata, mata saya menangkap banyak cahaya.
Tadi sore dalam perjalanan
pulang, dengan langkah yang masih jauh lebih lambat dari biasanya, saya berniat
membeli satu buah barang. Setelah berjalan begitu jauh dan belum juga
menemukan, saya mulai kesal sendiri dan ingin segera pulang. Trotoar yang
sedang dipugar, gundukan tanah di pingir jalan,
puluhan motor yang adu selip
membuat jalanan sama sekali tidak bisa dinikmati pejalan kaki. Dan berjalan
lambat menjadi sangat-sangat tidak menyenangkan lagi. Akhirnya sambil menahan sedikit
nyeri, saya kembali berjalan dengan cepat. Tidak peduli, saya ingin segera
sampai kosan dan makan. Titik. Dengan berjalan cepat, saya menghemat banyak
waktu dan tentu terhindar dari banyak debu. Lalu ketika hampir sampai, saya
baru sadar bahwa kaki saya tidak lagi terasa nyeri. Padahal saya paksakan jalan
cepat. Saya paksakan tidak berpegangan pada apapun.