In Thought

[REVIEW] Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan



Setelah selalu gagal mendapatkan edisi pertama buku ini, saya akhirnya pasrah membeli novel ini dengan cover yang tidak saya sukai. Tidak ada yang salah sih dengan cover yang baru tapi menurut saya cover ini cukup seram untuk membuat saya memandanginya lama-lama. Sekian tentang cover.

Well, dari judulnya, semula saya pikir buku ini akan berkisah tentang gadis-gadis cantik bernasib malang, korban iri hati wanita lain atau libido para lelaki. Hahhaha. Lagi-lagi atas nama besar Eka Kurniawan dan sejumlah penghargaan pada buku ini saya tetap bertekad membacanya (walau telat banget yah hehe).

Secara singkat, cantik itu luka adalah kisah seorang pelacur yang memiliki anak-anak cantik namun bernasip pahit, sehingga ia pikir jika pada saatnya harus memiliki anak lagi, maka anak yang buruk rupalah yang terbaik. Tapi tentu saja bukan itu intinya.

Dewi Ayu menoleh dan menjawab, "Telah bertahun-tahun aku tak lagi percaya doa."
"Tergantung pada siapa kau berdoa," Rosinah tersenyum. "Beberapa tuhan memang terbukti pelit." (Hal 16)

Lalu tuhan -entah tuhan yang mana- mengabulkan doanya.

Bukan Eka namanya kalau tidak suka bermain-main dengan alur cerita. Juga seperti pada semua novelnya, ada banyak cinta yang membuat orang waras menjadi tak waras dan begitu pula sebaliknya.

"Kau bisa mencintaiku," kata Dewi Ayu lagi. "Tapi kau jangan berharap terlalu banyak dariku, sebab itu tak ada hubungannya dengan cinta," 
Bagaimana mungkin aku mencintai seseorang yang tak mencintaiku?"
"Kau harus belajar, Preman."  (Hal 127)


Mungkin jika melihat buku Eka yang lain berjudul "seperti dendam rindu harus dibayar tuntas" Novel Cantik Itu Luka bisa menjadi kebalikannya: Seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas. Karena kisah ini dibungkus oleh rasa dendam raksasa yang mendadak 'menjadi sutradara' bagi para karakternya. 

Berlatar pada zaman penjajahan sejak kolonial Jepang puluhan tahun silam hingga kemerdekaan berhasil diraih, maka tak heran jika ada tokoh yang merupakan seorang kamerad, dan seperti kisah kelam sejarah anggota PKI di Indonesia, kisah para anggota PKI kalau tidak mendebarkan yah mengenaskan.


"Selamat siang. Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak mati dieksekusi," kata Dewi ayu
"Sebab mereka tahu kematian terlalu menyenangkan untukku." (Hal 341)


"Begitu orang-orang komunis," kata Sang Shondancho. "Orang-orang malang yang tak tahu bahwa dunia telah ditakdirkan menjadi tempat sebusuk-busuknya. Itulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menjanjikan sorga sebagai penghibur manusia-manusia yang malang." (Hal 264)

Dewi Ayu sebagai tokoh sentral sempat mengingatkan saya pada Nyai Ontosoroh yang sama-sama memiliki karakter dan kepribadian yang kuat.  Tapi hanya sebatas itu saja. Selain itu sepertinya Eka menikmati sekali membuat pembacanya "malas" membayangkan beberapa bagian kisah, salah satunya adegan kematian yang terlalu nahas.

By the way, buku ini seram karena banyak hantunya. sekian.


0 comments:

Post a Comment

What do you think?