In Memories

Merayakan Pergantian Tahun: Tentang Pelajaran di 2017

Pergantian tahun hanyalah bagian dari perputaran waktu. Sama halnya seperti pergantian bulan, hari, menit, dan detik. Tak ada yang benar-benar berubah selain angka di kalender atau usia yang bertambah (atau berkurang, tergantung bagaimana kamu ingin memaknainya).

Walaupun begitu, pergantian tahun bagai lembar kosong (atau setengah kosong) pada halaman buku sebelum menuju bab selanjutnya. Di halaman inilah, kamu memiliki jeda khusus untuk berhenti sejenak. Jeda yang bisa kamu gunakan untuk merenungi lembaran yang telah dilalui, memiliki sangkaan di lembar berikutnya, atau sekadar mengambil minum dan menyesapnya dengan khidmat; rehat sejenak.

Jeda ini menjadi momentum untukmu berhenti dan berpikir kembali.
Apa yang sudah kamu lalui selama ratusan hari yang lalu?
Apa yang sudah kamu pelajari?
Apa yang kamu dapatkan dan apa yang harus kamu relakan?

Jeda ini menjadi penutup sekaligus pembuka. Saat kamu ingin memberi deadline pada sikap buruk yang ingin kamu ubah dan nasib yang ingin segera kamu gubah.


2017 Wrap-up! (dan sedikit pelajaran yang semoga tak saya lupakan)




Menutup Desember tahun lalu, saya menghabiskan waktu dengan hal yang saya sesali kemudian. Bukan tentang apa yang saya lakukan, tapi bagaimana sikap saya saat itu. Di dalam mobil, di jalan entah di mana, saya mengeluhkan ini dan itu, dan berpamitan dengan hati yang tak puas. Setelahnya, saya menyadari ada kebersamaan yang tak saya hargai. Sebuah pelajaran berharga yang baru saya sadari setelah berbulan-bulan kemudian.

Bulan-bulan berikutnya adalah bulan perjuangan *halah*. Mengerjakan tesis sambil beradaptasi di tempat kerja yang baru. Keberhasilan melalui itu semua, membuat saya menyadari pentingnya peranan orang-orang di sekitar saya. Saya tahu, tanpa support system yang saya punya, saya pasti sudah lama menyerah.

Selanjutnya adalah bulan-bulan paling plin-plan. Sebuah perpisahan akhirnya tak terhindarkan. Mungkin benar kata Ushikawa, makin tua kamu akan makin sering mengalami kehilangan. Berminggu-minggu saya merasa hari saya penuh halu. Tapi, kehilangan memberikan banyak sekali pelajaran (dan semoga pendewasaan). Menerima-memaafkan-merelakan-(mencoba)melupakan-merindukan. Fase ini berputar-putar seperti siklus tanpa putus. Dan saya berharap bisa keluar dari siklus tersebut sebelum menghadapi 2018.

Hal menyenangkan dan menyedihkan yang terjadi padamu, adalah kesempatan untuk membuatmu mengenali dirimu sendiri. Begitu katanya.  
Semakin tua (akhirnya mengakui), saya makin tak pandai berbasa-basi haha-hihi. Saya lebih suka bersantai bersama tim comfort-zone yang bisa menerima segala 'ketidakpentingan' sikap saya.

Saya juga tahu (walau pasti akan lupa sesekali), bahwa tidak semua kriteria harus ada pada pasangan idaman.  Jika kamu masih terus membayangkan bagaimana kamu akan hidup dengannya di bawah satu atap terus-menerus. Maka, kamu perlu banyak-banyak belajar menerima dan menoleransi.

Terakhir, penting untuk menyadari apa yang benar-benar penting, apa yang layak diperjuangkan, dan apa yang sebaiknya dilepaskan. Mimpi-mimpi, harap, cinta, dan doa.

Selamat tahun baru. Selamat berharap kembali!

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Perayaan Tahun Baru



Kini, kita berpura-pura lebih bijak dari semula
memutuskan satu dua hal berharap sesal tak akan membuntuti

gugup menutupi segala degup
merasa cukup untuk bisa terus menuntut
pada segala berhala di jiwa-jiwa yang alpa

apa ingatan turut binasa usai kembang api menyala?

suara-suara terompet sampai pada telinga
suara-suara cinta lenyap di udara

pijar malam
tak bisa disimpan di dalam rumah
yang sepi kehilangan penghuni

menuju tempat-tempat persembunyian
teraman
dari pikulan resolusi yang menanti
diwujudkan


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Payung Teduh dan Kenangan yang Belum Bisa Luruh

photo credit: maarceuu


Ada jenis pertanyaan yang diajukan hanya untuk menunjukkan keengganan menerima, bukan untuk sebuah penjelasan. Misalnya, kenapa Is harus pamit dari Payung Teduh? Kenapa Banda Neira harus bubar? Penjelasan panjang soal visi misi yang tak lagi sama, upaya mempertahankan value, atau apa pun bisa saja dijabarkan berulang kali. Saya paham. Tapi, bisakah saya menerima Is yang tega-teganya mengurangi daftar penyanyi favorit saya yang jumlahnya hanya hitungan jari? Haruskah saya berempati atas keresahan Is yang membebaninya selama beberapa bulan ke belakang walau keputusannya mematahkan hati saya? Mungkin rasa sayang saya belum setulus itu. 

Oh Is, andai kamu tahu, saya bahkan merasa kehilangan sejak lagu Akad muncul. Saya suka, tapi tak merasa jatuh cinta, apalagi memiliki. Seperti pacar yang mungkin berubah menjadi lebih baik tapi tak saya kenali lagi. Saya rindu mencari-cari tapi menemukan ketiadaan atau menyapa wanita di tepi sungai dan menari bersama.  Lirik-lirik yang membuat saya mengintrepertasikan ini dan itu. Bukan hanya soal ijab kabul dan mau tidak mau dinikahi. Saya ingin membiarkan matahari membuka matamu, Is atau mungkin mata saya, biar saya bisa lapang menerima. Tapi Is, cemas yang saya rasakan lebih banyak dari rindunya, terlebih di malam hari menuju pagi.


Oh Is, seketika sunyi ini tak lagi merdu.  

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Selain Pacar, Perasaanmu Juga Perlu Kamu Terima Apa Adanya

Pernahkah merasa kesal, marah, atau bahkan membenci sesuatu lantas beberapa menit kemudian merasa  menjadi manusia yang buruk karena memiliki perasaan negatif tersebut? Merasa bersedih lalu satu menit kemudian menyalahkan diri sendiri karena kurang bersyukur, merasa cemburu dengan mantannya pacar lalu sekian menit kemudian merasa buruk dan pathetic atas perasaan tersebut.

NPR


Jika pernah, tos dulu yuk!

Kita berpikir bahwa orang baik tidak pantas memiliki perasaan yang buruk 
dan karena kita ingin menjadi orang yang baik (atau paling tidak dianggap sebagai orang baik), kita menyalahkan diri atas perasaan yang kita miliki. Jadi, saat beberapa waktu lalu saya merasa sedih karena satu hal, saya buru-buru berpikir sudah-sudah sedih begitu bikin banyak waktu terbuang, salah sendiri kenapa begini dan begitu. Lalu saya  menyalakan laptop dan melamar sejumlah kegiatan volunteering untuk merasa lebih baik. 

Tanpa saya sadari, saya telah melakukan dua (atau mungkin lebih) kesalahan sekaligus: mengabaikan apa yang saya rasakan dan mengkritik diri saya yang sedang dalam kondisi tidak baik. Pernahkah mengkritik teman yang sedang bersedih? Jika tidak cukup tega melakukan hal tersebut, mengapa mudah sekali jika sasarannya adalah diri sendiri yah?

Ibaratnya, si rasa sedih ini sedang teriak-teriak minta diperhatikan, tapi saya malah pasang headset dan menyetel lagu Rich Chigga kencang-kencang. Problem solved.  Padahal tidak!

project love


Mengabaikan perasaan tidak menyelesaikan masalah. 
Perasaan tersebut hanya akan teralihkan sementara tapi menumpuk dan akan meledak sewaktu-waktu. Seperti pakaian kotor yang kamu sembunyikan di bawah kasur. Cepat atau lambat, tetap harus kamu cuci. Tapi semakin lama dibiarkan, siap-siap aroma tak sedap memenuhi kamarmu.

Menurut Tina Gilbertson, seorang psychotherapist asal USA, menerima perasaan adalah langkah awal menerima diri sendiri alias self-acceptance dan self-acceptance merupakan gerbang menuju self-compassion. Sementara self-compassion alias  mengasihi/menyayangi diri sendiri diyakini sebagai kunci kebahagiaan haqiqi~ 

Maka, jika kamu mengalami kejadian yang membuatmu merasa sedih, kecewa, marah, dan hanya ingin menangis, pahami dan catat apa yang menjadi trigger perasaanmu. Bisa jadi dimarahin atasan di depan umum atau sesimple tukang bakso langgananmu pulang kampung untuk setahun ke depan (well, gak simple sih ini). Berbaik hatilah pada dirimu sendiri dengan merasakan perasaan yang muncul tanpa mengadilinya. Iyah, nggak apa-apa kok, kamu berhak merasakan apa yang kamu rasakan, bukan karena kamu buruk, tapi karena begitulah hatimu bereaksi. 

Dalam 'menikmati' perasaanmu ini, pastikan kamu tidak memberi komentar pedas pada dirimu sendiri. Justru yang perlu kamu lakukan adalah cobalah pahami dirimu. Mengapa kamu merasa marah saat atasan menegurmu di depan umum? Apakah kamu merasa dipermalukan? Tak semua pertanyaan perlu kamu jawab, tapi ketahuilah kamu punya alasan yang tepat untuk perasaan yang kamu miliki. Berikan validasi pada dirimu sendiri: Kamu merasa begitu malu dan tampak tidak kompeten di hadapan teman-temanmu, itulah mengapa kini wajar jika kamu merasa kecewa dan marah. 

Berhenti di situ dan rasakanlah sampai kamu tak lagi merasakannya. Ingat, perasaan dan tindakan adalah dua hal yang berbeda. Kamu berhak merasa marah, tapi kamu tidak berhak ngamuk-ngamuk dengan dalih sedang marah. 

Sudah (baru) dua minggu saya menerapkan hal ini. Pertama, saya jadi merasa lebih 'akrab' dengan diri saya sendiri. Saya merasa tidak 'sekejam' dulu dan tidak menyimpan penyesalan yang tak perlu. Kedua, saya merasa lebih 'aman' karena saya tahu saya tetap bisa menjadi orang baik walau perasaan saya pernah negatif. 

npr

Controlling your feeling is a myth. You can't do that, but you can manage it to be constructive.



Note: metode ini saya dapatkan dari buku Constructive Wallowing

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Perjalanan Menuju Rumah


Life is, after all, a continuum of moments

Saat pertama kali ia mengakui perasaannya padamu. Kamu tahu sekeras apa pun kamu mencoba, kamu tak bisa menyembunyikan senyum. Ia menyayangimu. Itulah yang kamu dengar, itulah yang kembali kamu ucapkan pada dirimu sendiri berkali-kali seolah kamu akan melupakannya jika tidak begitu. Kamu merasa hangat kemudian kebanjiran dopamin. Kamu yang tak terbiasa tidur malam, kini rela begadang demi mendengar suaranya lebih lama. 

Kamu bahkan bertanya-tanya, apakah manusia bisa meledak jika terlalu gembira?

Kamu menanti dan menikmati setiap waktu yang kamu habiskan bersama, berdua. 
Kegembiraan lalu menjelma menjadi kenyamanan. Oksitosin sedikit demi sedikit menggantikan dosis dopamin dalam tubuhmu. Rasa aman dan nyaman membuatmu tak pernah merasa sendirian. Hubunganmu bagai rumah yang selalu berpenghuni. Cahaya lampu menyala dan riuh sendok beradu dengan piring tak pernah alpa.

Semuanya berjalan perlahan dan indah.


Saat kembali ia mengakui perasaannya padamu. Kamu tahu sekeras apa pun kamu mencoba, kamu tak bisa tak merasakan luka. Ia ingin berhenti bersamamu. Itulah yang kamu dengar, itulah yang kamu ucapkan pada dirimu sendiri berkali-kali hanya untuk membuatmu lupa bahwa ia pernah menyayangimu. Kamu merasa asam lambungmu naik seketika dan air matamu tak berhenti turun. Kamu heran bagaimana kepalamu bisa begitu berat, tapi sekuat apa pun kamu memejamkan mata, sulit untukmu tertidur. Kamu ingin meyakini bahwa kebersamaan kalian telah berhenti tapi ingatanmu usil memainkan rekaman yang menyenangkan. Mengapa semuanya berjalan perlahan dan indah? Bukan, mengapa semua yang berjalan perlahan dan indah perlu berakhir? Banyak yang tak kamu mengerti. Banyak yang tak ingin kamu mengerti. 

Kamu bertanya-tanya, bagian mana yang salah, bagian mana yang masih bisa diperbaiki?

Kamu mengetuk, mencoba masuk, tapi telah kehilangan kunci. Akhirnya kamu menyadari bahwa rumah itu sudah tak lagi berpenghuni. Gelap dan sepi.

Saat pertama kali kamu menyusuri jalan itu sendiri, kamu merasa ragu dan ingin kembali. Tapi, kamu tahu kamu hanya perlu berjalan maju.  Dari pengalamanmu, ada hal-hal yang perlu kamu lepas dan tinggalkan, tapi ada yang perlu selalu ada di dalam kopermu. Maka dengan rapi kamu mengepak segala kriteria yang akan kamu bawa ke mana pun. Tidak lebih, tidak kurang. Beberapa kali kakimu terantuk, kamu terjatuh, tapi kamu selalu tahu caranya berdiri kembali. Kamu melihat kerikil, pohon, hingga langit yang bagai layar raksasa menaungi langkahmu. 

Kamu tahu kamu hanya perlu berjalan maju untuk kembali menemukan rumahmu.



photo credit: returnsofkings

The good news is that worst day can turn into the best day of your life. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Cuma Soal Penolakan




Hari ini saya mau mengakui bahwa saya patah hati. Saya tidak tahu, bisa juga merasa seperti ini lagi. Seperti ada laci di dalam tubuh yang dipaksa keluar, meninggalkan kerangka kosong yang menganga. Saya tahu, saat ini apa pun yang saya rasakan, apa pun yang saya katakan akan menjadi hiperbola. Andai gaji saya juga bisa dibuat hiper. 

Tahukah kamu, apa yang lebih menakutkan dari manusia? Bahwa manusia adalah makhluk yang mudah sekali berubah. Pikiran mereka berubah, hati mereka berubah. Seseorang yang kamu kira kamu kenal betul, mendadak menjadi alien yang bahasanya tak lagi kamu mengerti. Alien itu juga tak mengenalimu atau tak mau lagi mengenalimu. Tanpa kamu sangka, baginya justru kamu yang seorang alien. Rasa asing oh itu rasa paling bahaya. Jika tubuhmu mengindentifikasi ada benda asing yang masuk ke dalamnya, kalau tidak benda itu yang hancur, tubuhmu yang hancur. Asing. Dalam kata asing seperti ada rasa angin padahal tidak. Itu loh, angin yang menerbangkan semua rasa yang harusnya menetap, dia yang bertanggung jawab terhadap asing yang tercipta. Asyik yah menyalahkan angin. Angin tak akan menyalahkanmu. Ia hanya berlalu tapi sambil sinis menyisakan rasa dingin di tengkuk dan telapak kakimu. Jika bisa bicara mungkin angin akan bilang: rasain!

Jadi, ngomong-ngomong soal penolakan. Kenapa juga nenek moyang kita adalah hunter-gatherer yang mengharuskan mereka bekerja secara koloni? Kenapa mereka tidak  berupaya sendiri sehingga penolakan dari orang lain tidak mereka asumsikan sama mengerikannya dengan kematian? Pada akhirnya mereka meninggalkan arketip yang membuat kita, saya dan kamu, adiksi dalam sebuah hubungan bersama orang lain. Sebegitunya. Kenapa juga otak kita bisa menyamakan reaksi penolakan dengan sakit fisik yang tak terperi? Coba otak, kamu harus lebih teliti lagi, ini kan cuma soal penolakan. 

Cuma soal penolakan.

Tahukah kamu, apa yang paling menyenangkan dari manusia? Bahwa manusia adalah makhluk yang mudah sekali berubah. Pikiran mereka berubah, hati mereka berubah. Kemampuan beradaptasi mereka mampu meyakinkanmu, bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Read More

Share Tweet Pin It +1

1 Comments

In Poems

Membawa Penyesalan Pulang


Jika penyesalan adalah biji-biji tanaman
air matamu cukup untuk menyiraminya tiap pagi dan malam
tenang saja, biji penyesalan tak butuh fotosintesis untuk tumbuh subur di dalam dirimu
akarnya merambat, membelit akal sehat, dan hati yang terlambat sembunyi.

Jika penyesalan adalah biji-biji tanaman
ia seperti ilalang yang tak hilang dengan satu dua kali tebasan
menggesek kaki jenjangmu yang berlari 
meninggalkan goresan, menanggalkan pesan-pesan yang kekasihmu tinggalkan

Di malam hari, sembunyi-sembunyi, kamu tuai hasil ladang 
memasukan semua tanaman dalam karung besar
pelan-pelan, ternyata tahunan, karung itu telah memenuhi seisi kota tempatmu tinggal
satu, dua, tiga, ratusan penduduk terhimpit, terjepit, karung yang tak terbendung
kamu masih memetik
satu, dua, tiga tanaman penyesalan
sambil menyenandungkan melodi yang tak lagi kamu kenali.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Kamu tidak pernah menjadi hanya



Ada pagi ketika kamu tidak ingin cepat-cepat bangun. Barangkali rentetan to-do-list yang mengantri jadi sebabnya. Atau masalah yang belum kamu temui solusinya. Maka selimut seperti pelindung dari dunia luar yang terkadang bisa begitu tak beretika. Saat itulah aku ingin memelukmu lebih erat dari biasanya.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Aku Ingin Kamu yang Memberi Judul


Langit siang tadi berwarna oranye dan biru abu-abu. Awannya berarak seperti bubur sumsum yang tercecer di lantai. Mataharinya yang bulat kecil, memedarkan warna oranye yang menyilaukan. Kamu mungkin suka. Menuju sore, matahari yang menjadi magenta pecah menjadi berkas cahaya dan membuat langit berwarna merah muda. Malam ini, langit-langit kamar berwarna putih, dengan satu lampu menggantung di tengah. 

Aku ingin melambaikan tangan dan memintamu berjaga diri. Hati-hati. Tapi perpisahan akan menyisakan rasa sepi yang tak nyaman. Seperti kehilangan bunyi 'nging' di gendang telinga. Kosong yang menghimpit. Kosong yang membuat kepala terasa penuh.

Dan sejak itulah mulutmu mengeluarkan kata-kata berwarna oranye yang membuatku silau dan melangkah mundur. Tapi wajahmu merah padam, tidak muda seperti langit sore itu. Diam-diam, kamu bersihkan arakan awan dengan kain pel dan sabun lantai. Meninggalkan ruang yang bersih tapi beraroma amis telur. Kamu tak salah beli sabun lantai kan? Pernah kubilang jangan beli yang aroma apel, wangi pinus atau jeruk lebih segar. Tapi, suaraku tak bisa lagi sampai. Pemerintah belum menyediakan transportasi suara. Bukan, telepon hanya menghantarkan, aku ingin suaraku bisa tiba di depan pintu kamarmu, dan tak perlu kamu kembalikan. Setelahnya barulah aku tahu kamu usai membersihkan harap yang kudidihkan dengan api kecil.

Aku ingin berbalik dan melihatmu berdiri di bawah lampu jalan. Sehingga walau langit malam berwarna hitam, aku tetap bisa melihatmu dengan jelas. Tapi, hatimu tidak menggantung lagi di langit mana pun. Sehingga aku tak bisa membaca peta di kepalamu dan menjawab tujuanmu setelah ini.  Aku ingin sekali memasang lampu di bawah lidahmu untuk memastikan apakah ada kata cinta yang kamu sembunyikan. Karena jika tak ada, semoga di telingamu masih melekat kata cinta yang kusampaikan. Jika masih ada di sana, biarlah ia menggembung dan menutupi telingamu agar tak ada kata cinta lain yang kamu dengar.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Ketika Kami Bertemu Kembali



Waktu mataku menatap wajahnya, ada rasa familier yang muncul begitu saja. 
Tanpa sadar, matanya telah bertemu mataku. 
Aku tersenyum sambil berjalan mendekatinya. 
Tidak tahu apa yang melatari reaksiku, bagai ada penggerak pada kedua kaki begitu saja.

Saat itu, matahari telah terbit tapi belum terlalu tinggi. Selain para pengguna sepeda dan pejalan kaki di sekitar kami, ada pula penjual air tebu yang berhenti di antara posisi kami berdua. Aku perlu melaluinya, tukang tebu itu maksudnya. 

Saat aku berjalan mendekatinya dan matanya telanjur beradu dengan mataku, kakinya juga meniru gerak kakiku, berjalan mendekatiku.

Aku rasa saat itulah langkahku terasa amat berat walau hatiku sudah begitu ringan.

Begitu kakiku hanya beberapa jengkal dengan tukang tebu, penjual itu sempat menyapa dan menawarkan dagangannya. Ternyata, ia -laki-laki itu, bukan si penjual tebu-  telah berdiri beberapa langkah di hadapanku. Sudah cukup dekat sehingga aku merasa tak perlu melangkah lagi. 

"Tidak pak, terima kasih"
"Boleh pak, di plastik saja yah"

Ia masih suka air tebu ternyata. Ia mungkin saja berpikir bahwa hingga kini aku tak mau meminum air tebu. Penjual tebu itu tersenyum menanggapi ucapan kami yang terlontar bersamaan. Lalu beralih pada gerobak dan gelas-gelas di hadapannya. Kepala kami berdua masih mengamati penjual tebu, belum bernyali saling bertemu. Sampai ia kembali melangkah kecil ke arahku.

"Apa kabar?"

"Baik mas" tukang tebu itu menimpali. Aku tersenyum kecut. 

"Ke situ yuk" Aku menunjuk kursi panjang yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku tak berharap obrolan kami diinterupsi. Setelah menerima plastik air tebunya, ia berjalan mengikutiku. Ia sempat menawariku air tebu yang sudah di tangannya tapi belum dihisapnya walau setetes, tapi kemudian sadar dengan pasti bahwa aku akan menolak, menyisakan cengiran di wajahnya yang setengah berkeringat.

"Jadi, apa kabar?"

Pertanyaan sederhana itu membawa kami pada percakapan panjang tanpa henti. Kami bercengkrama tentang apa saja sampai menemukan fakta bahwa kami sama-sama masih sendiri. Ia mengeluarkan lagi humor yang masih membuatku tertawa seakan baru pertama kali kudengar. Kami bahkan tak menyadari matahari sudah jauh lebih tinggi, dan sama-sama merasakan terik yang menyengat, kami saling berpamitan setelah membuat janji untuk bertemu lagi keesokan hari. Kami berpisah dengan hati yang penuh dan harap yang kembali tumbuh.

Kira-kira begitulah akhirnya jika saja aku benar-benar melangkahkan kakiku mendekat ke arahnya.

Aku belum sempat membalas senyumnya saat mata kami bertemu.
Sampai aku menyadari otakku dengan cekatan memberi perintah pada sepasang kakiku untuk berlari kencang ke arah berlawanan dari tempatnya berdiri.

Kudengar suara ketus seorang pedagang yang tanpa sengaja kusenggol gerobaknya saat berlari. 
Tapi, tak kudengar namaku diteriakkan olehnya.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Membaca Komentar Kejam Malam-Malam. Duh Netiheeen!



Nggak ada niatan nulis malam ini sampai saya melihat satu akun Instagram yang sedang ramai dibully karena postingannya dicap pengkhianat dan tidak nasionalis. Dan percayalah, komentar-komentarnya SANGAT SANGAT KEJAM. Bukan satu, puluhan, atau ratusan komen kejam, tapi RIBUAN KOMEN KEJAM (Fyi, iyah saya memang  tipe 'pembaca-komen' apa pun jenis medianya).

Saya nggak mau membahas benar atau salah pendapat si Mbaknya, tapi reaksi netizen yang.... 



Ini pun hanya segelintir dari ribuan komentar yang nadanya tak jauh berbeda. Mulai dari hinaan fisik, sampai menyuruh mati, gila yah, saya bacanya aja merinding. Ngebayangin jadi Mbaknya, disuruh mati sama orang yang nggak dia kenal, yang nggak kenal dia, yang nggak punya masalah apa pun sama dia.  Saya heran (mengaku) menjadi nasionalis / membela negara memang jadi sah-sah saja bebas berkata kasar, menghakimi orang sampai menyuruh mati yah? Sudah ngapain sih buat negara Indonesia sampai segitunya merasa paling nasionalis? 

Awalnya saya hanya berpikir, pada konteks apa pun, gila yah, susah banget berbeda pendapat di Indonesia kalau bahasanya nggak 'dipoles sedemikian rupa. Toh, pada akhirnya kubu yang tidak setuju tidak akan memperdebatkan pendapat kita, melainkan nyerang fisik, dan hal-hal yang nggak ada kaitannya sama sekali. Gila! 

Iyah, mungkin aja Mbaknya sellow2 aja karena punya support system yang bagus, atau cukup cerdas dengan tidak membaca komen satu-satu, tapi ada berapa banyak coba akun Instagram yang nasibnya serupa dengan si Mbak, kena cyberbullying keroyokan karena pendapat berbeda, atau melakukan satu dua kesalahan. Well, siapa sih yang nggak pernah ngelakuin salah? Tapi, siapa kita sampai merasa berhak untuk 'menghukumnya'?

Cyberbullying is real. Jangan anggap remeh komentar negatif di media sosial. Jangan kira rasa sakit yang dirasakan korban hilang begitu ia hapus komen, matiin hp, atau pun tutup akun. Dampak cyberbullying sama mengerikannya dengan physical bullying, bahkan lebih. Anonimitas bikin pelaku bagai hilang kendali dan korban pun semakin merasa ngeri.  It's huge problem we can't ignore. 

Apa perlu harus ada tes etika dulu sebelum seseorang bikin akun media sosial, yah nggak kan yah. Saya sih yakin ada jutaan pengguna medsos yang punya pikiran jauh lebih terbuka, etika jauh lebih baik dan taat norma, salah saya aja tadi lihat foto di tab explore lalu keterusan sampai menyadari masih ada (banyak sekali) orang yang kecepatan mengetiknya jauh lebih cepat daripada kecepatan berpikirnya. 

Semoga saya yang imannya kaya roller coaster ini dilindungi dari penyakit gatel komen negatif di medsos. Amin.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Berkah Tuhan di Tahun 2017 #EdisiKelulusan

Tahun 2017 memang masih ada beberapa bulan lagi, tapi nggak apalah mumpung niat sempat. Tahun ini usia saya sudah banyak, 26 tahun. Walau saya tidak merasa se-26-tahun itu. Bukan karena ingin tetap selalu abege, tapi karena memang masih merasa childish dan belum banyak pencapaian saja. Iyah, semua orang punya zona waktunya masing-masing, but still pencapaian teman-teman lain bisa menjadi 'pengingat' yang baik untuk saya. 

Walau begitu, saya tetap bersyukur karena beberapa hal yang telah menjadi target saya di tahun ini akhirnya tercapai juga. Dan salah satunya adalah..*jeng-jeng* Alhamdulillah tahun ini jadi juga wisuda.  Saya masih ingat rasanya hampir menyerah dan mulai berpikir untuk tak melanjutkan studi, tapi syukurlah saya dikelilingi banyak orang baik dan dilimpahi keberkahan yang membuat saya berhasil lulus juga.


Keberkahan 1: diberi pembimbing cuek yang nggak rigid soal lembaran revisi

Dengan lokasi kantor yang puluhan kilometer dari kampus, bolak-balik kampus-kantor itu bagai ketemu dementor yang bikin energi terkuras. Tanpa maksud lebay, mengingat kondisi commuter line penuhnya macem apa tauk. Tapi, syukurlah dosen pembimbing bisa sangat fleksibel dan minta segala revisian dalam bentuk softcopy, jadi nggak perlu mengeluarkan berupiah-rupiah uang cuma dapat goresan pena (baca: corat-coret revisian). 

Meski sering bersedih hati, karena suka sirik saat teman-teman lain mengeluh banyaknya poin revisian, diperiksa, dan diberi masukan/revisi sooo detail biar aman sentausa saat ujian sidang, sementara saya tidak. Tapi, itulah, kembali lagi, Allah memberikan saya situasi yang saya butuhkan. 

Keberkahan 2: diberkahi support system yang numero uno

Jika diprosentasekan, penyebab kelulusan saya mungkin 50% berasal dari kontribusi teman-teman. Mulai dari teman yang rela menjadi co-experimenter dari mulai pilot study hingga akhir experiment yang jumlahnya hampir 10 kali pertemuan. Dari Tanggerang, Depok, Jakarta hingga ke Padang! Juga teman lain yang mau rutin memeriksa tulisan tesis saya dari yang nggak karuan sampai mendingan. Padahal sama sibuknya, sama stresnya, tapi mereka tetap mau bantu dan mikirin orang lain *standing applause*.


Keberkahan 3: diberi dukungan atasan berupa izin nggak ke kantor jutaan kali

Bagi saya fleksibilitas ini merupakan bentuk dukungan yang juga saya syukuri. Yah, namanya juga mahasiswa semester akhir, kelihatannya aja 'kosong' padahal mah.... Belum lagi karena penelitian kali ini berupa experiment yang nggak bisa saya selesaikan dengan mendekam di kosan berhari-hari kaya zaman S1 dulu, sebaliknya saya justru harus pergi kesana kemari demi bertemu ratusan partisipan. Nah, syukurlah saya bisa banyak izin untuk keperluan yang satu ini.


Keberkahan 4: diberkahi orang-orang baik yang mau membantu

Mulai dari dosen di BSI, UP, UNP, hingga Pak Mamet yang selalu ceria tiap kali membantu mencarikan dan menyiapkan ruangan saat dibutuhkan. Keramahan yang bisa meredakan beban yang kala itu sedang dirasakan. 
Pelajaran berharga buat saya untuk menjadi seperti itu, karena bisa saja orang lain sedang melalui hari yang berat dan segaris senyuman bisa sedikit memperingan.


Keberkahan 5: diberkahi mama yang luar biasa kasihnya

Yah, semua ibu selalu punya cara untuk menjadi pahlawan anak-anaknya. Seperti mama yang langsung membelikan tiket saat saya galau karena merasa perlu ke Padang untuk experiment tapi lagi bokek, hahaha. Mama yang pada hari ujian sidang tidak ada kabarnya sampai siang, ternyata baru selesai mendoakan saya bahkan dari malamnya dan tidak keluar kamar hingga saya mengabarkan kelulusan.  Saya yakin 50% sisa penyebab kelulusan saya berasal dari doa beliau.



Keberkahan yang saya terima tentu tak terhitung jumlahnya, tapi paling tidak, 5 poin di atas bisa menjadi pengingat untuk saya di kemudian hari. Agar terus ingat, bahwa keberhasilan yang saya capai, adalah hasil dari kumpulan kasih sayang dari orang-orang baik di sekitar saya, dan itulah campur tangan tuhan yang paling mengharukan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Rangkaian pertemuan yang mencerahkan sekaligus melelahkan




Dua hari ini bertemu dengan 10 orang baru dan melakukan percakapan yang medium deep secara terpisah. Sebetulnya pertemuan ini diniatkan sebagai interview komunitas, namun karena pertanyaan-pertanyaan bersifat pandangan personal dan pengalaman hidup yang agak-agak deep begitu, jadi tak jarang obrolan melebar jauh ke dalam.

Saya suka bertemu dengan orang baru, berbincang-bincang tentang ini itu. Tapi, saya tidak menyangka dua hari ini akan menjadi sangat melelahkan!

dan mencerahkan, paling tidak untuk diri saya sendiri.


Karena isu yang diangkat komunitas ini memang termasuk isu sensitif (suicide), maka orang-orang yang saya temui ini pun sangat beragam, mulai dari dedek-dedek yang ingin mengisi waktu luang dengan kegiatan volunteering hingga korban bullying yang tahunan alami depresi. Dan dari 10 orang interviewee, 5 di antaranya pernah melakukan self-harm dan berpikir untuk melakukan percobaan bunuh diri.

Ada A yang merasa ditolak oleh ibunya karena berpindah agama, B yang hidup nomaden karena orientasi seksualnya membuatnya sulit 'diterima' orang-orang terdekatnya, C yang bertahun-tahun depresi sebelum akhirnya menjadi seorang psikiater, dan lainnya.

Secara personal, saya suka berinteraksi dengan para interviewee, namun mendengarkan kisah 'pahit' (yang kadang melebar menjadi curhatan panjang) dan tetap berusaha menjadi pendengar yang baik, tak selalu mudah.

Tapi, dari cerita-cerita merekalah saya belajar, bahwa kadang perlu pengalaman untuk menjadi lebih peka, perlu upaya memahami untuk bisa merasa peduli, dan pentingnya kesadaran bahwa hidup tak sesempit kotak sepatu, karena di luar sana ada keberagaman yang tak bisa diabaikan.

Seorang remaja yang kamu nilai dari make-up, tas, dan sepatu branded-nya, bisa jadi semalam suntuk bekerja dan hanya tidur 2 jam setiap harinya untuk bisa membayar kuliahnya. 

Judge less, listen more.


note: tapi jika kamu sedang lelah, lalu ada teman yang tiba-tiba ingin curhat, tolaklah secara halus dan beri pengertian untuk mengatur jadwal  di lain waktu, karena kamu pun perlu istirahat.

*2016: edisi publish tulisan lama di draft

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Saat Tak Cukup Menjadi Pendengar, Jadilah Pengamat




Saat dia bilang kamu cantik, barangkali kamu memang cantik, tapi lebih dari itu, bisa jadi maksudnya kamu cantik, sementara dia tidak, kamu cantik dan dia sedikit iri, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Kata-kata bisa memindahkan pemahaman dari satu kepala ke kepala lainnya, tapi tak jarang bukan itu yang ingin dipindahkan. Saat kata-kata hanya jadi tirai, dan kamu tak bisa membukanya, maknanya tetaplah berada di balik sana.

Coba perhatikan baik-baik, bukan hanya pada kata, tapi ekspresi, emosi, gerak-gerik, kebiasaan, sifat, hingga pengalaman. Lebih jauh dari kata-kata yang dia ucapkan, apa yang sebetulnya ingin dia sampaikan?

Bisakah kamu memahaminya?

Kata-kata hanya alat komunikasi, tapi tak selalu bisa dengan mudah diinterpretasi. Di balik kata-kata, ada makna yang mungkin diungkap dengan sengaja, mungkin pula bersembunyi dan berharap diketahui atau tidak tertebak sama sekali.

Kata-kata yang dia ucapkan, bisa jadi begitu dangkal atau bahkan hanya permukaan, padahal rasa yang ia miliki telah lama membuatnya tenggelam sendiri.

Salah satu cara menjadi pengamat adalah dengan 'mencoba mengenakan sepatunya'. Jika kamu berada di posisinya, apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu katakan? Akankah kata-katamu polos begitu saja atau penuh lapisan yang mengaburkan makna? Tapi, cara ini tak sepenuhnya valid juga, bisa jadi justru kamu malah bertindak sok tahu, karena dirimu ya dirimu, tetaplah tak bisa menjiwai dia. Jika dengan mengenakan sepatunya, kamu tetap tak bisa memahaminya, cobalah mengenali ia lebih dalam. Bisa jadi hari ini kamu memang tak paham, tapi semakin mengenalnya, kamu bagai menyatukan kepingan puzzle dan bisa melihat gambar besarnya.

Mulailah mengenalnya lebih dalam, bisakah kamu mencoba memahaminya?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Jika mati nanti, kamu ingin dikenang sebagai apa?

Azki ingin dikenang sebagai orang yang selalu membawa keceriaan. Diqi ingin dikenang sebagai Bupati Kalimantan. Jawaban teman-teman lainnya pun beragam. Namun, tentu saja memiliki satu kesamaan: hal yang positif. Bagaimana pun, kita ingin meninggalkan jejak yang baik saat pergi nanti. Buat apa yah, kan sudah meninggal? Hal ini bisa jadi bukti bahwa sepenting itulah penilaian orang lain bagi kita, bahkan saat kita tak lagi bisa mengetahuinya. Atau, memang kita ingin menjadi orang yang baik, yang berguna, yang berdampak, sudah titik.


Walau terdengar sepele, pertanyaan ini membawa saya pada pemikiran lain, yaitu memangnya saya mau menjadi apa saat hidup? atau singkatnya, apa sih tujuan hidup saya? Seorang pembicara di sebuah seminar pernah menekankan, bahwa berbakti pada orang tua, berguna bagi bangsa, atau menjalankan perintah agama bukanlah tujuan hidup. Iyah, hal-hal itu bukanlah tujuan, tapi kewajiban! 
Maka, jika tujuan hidupmu ternyata salah satu yang disebutkan di atas, coba berpikir ulang. Hm, apa yah tujuan hidup saya?

Waktu kakak saya mengajak saya mengikuti sebuah seminar bertemakan finding your passion dan tujuan hidup (kira-kira seperti itu), saya murni mengiyakan karena ingin menemani saja. Saya pikir, sudahlah, toh saya tahu passion saya menulis, tujuan hidup saya yah jadi penulis, sudah begitu saja. Tapi ternyata saya keliru antara tujuan hidup dan profesi. Pemateri mematahkan tujuan hidup yang saya pikir sudah saya ketahui. Katanya, tujuan hidup tak boleh berkutat tentang diri sendiri, dan berjangka panjang (yah selama kita hidup), juga tak terbatas pada jenis profesi karena profesi hanyalah sebagai alat. Hm, oke, jadi tujuan hidup saya apa dong? *mulaipanik

Saya pikir, saya ingin berkarier di bidang yang saya tekuni sekarang, juga mendalami dan mengaplikasikan ilmu yang sedang saya pelajari, menikah, punya anak, dan hidup bahagia di negeri sakura, titik. Sepertinya jelas, padahal saya belum memiliki ruh rencana saya ini. Mengapa saya ingin menjalani hidup yang seperti itu? 

Saat di SMP, saya pernah bilang pada seorang teman bahwa kelak saya ingin menjadi seorang psikolog. Keinginan ini muncul setelah saya membaca buku Sheila, yah sepertinya hampir semua yang membaca karya Torey Hayden, menganggap profesi psikolog begitu keren. Bagaimana Hayden secara perlahan mendapatkan hati Sheila, menyelami luka-lukanya, dan membuat Sheila bisa berdiri (dengan aman) di atas kakinya. Bertahun-tahun kemudian, saya justru menjadi mahasiswa IT. 

Tapi, apa pun jurusan yang saya ambil, toh saya masih bersinggungan dengan manusia, di mana pun, kapan pun. Manusia itu menarik salah satunya karena saya juga manusia. Setiap saya mengalami masalah, saya tahu orang lain juga memiliki masalahnya masing-masing. Manusia itu unik sekaligus serupa. Sama-sama unik justru membuat mereka begitu mirip. Saya tak pernah cukup peka untuk menyelami luka dan suka yang dialami orang lain, tapi saya tertarik berenang-renang dalam perasaan yang saya punya. Saya ingin mengenali si saya, si manusia yang mengaku unik padahal yah tak beda dengan siapa pun, sama-sama ingin diterima, sama-sama 'mencari tempat' yang nyaman, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Jadi, apa nih tujuan hidup saya? *kembalipanik

Saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di bidang humaniora. Sambil melambaikan tangan pada  jaringan dan coding, saya tertatih-tatih mempelajari teori-teori dasar psikologi. Dalam perjalanannya, saya pernah lupa motivasi saya melanjutkan pendidikan, selain ketertarikan dengan bidang ini. Tapi, pada hari saya memikirkan tujuan hidup, saya membuka-buka kembali blog lama yang sudah tak terurus. 

Di sanalah saya menemukan ini


Tanggal yang tertera adalah hari pertama saya kuliah di kampus baru. Walaupun saya belum tahu bagaimana caranya, paling tidak, kini saya tahu (ingat kembali) apa yang ingin saya lakukan sampai akhir hidup saya nanti.

Jadi, Jika mati nanti, kamu ingin dikenang sebagai apa?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

kilau


photo credit: favim
kamu terus membicarakan hal-hal yang tak kupahami, tapi matamu yang berkilau kala meracau, membuatku tak ingin beranjak pergi.
aku ingin membungkus mata itu dalam kertas nasi dan mengikatnya dengan karet gelang. aku ingin memasukan bibir itu ke dalam plastik dan menutupnya dengan sedotan.
agar sewaktu-waktu, jika ku rindu, kubiarkan bibirmu bercerita, dan matamu menebar cahaya.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Dari Puasa Instagram, Inilah yang Kini Saya Rasakan

Sudah hampir dua bulan semenjak terakhir kali saya posting di Instagram dan rutin scrolling timeline. Saya pikir saya hanya akan 'puasa' satu bulan, karena pakai metode #onemonthewithout ala-ala. Tapi usai dua bulan berlalu, saya kini tak begitu berminat mengakses media sosial yang satu itu. 

photo credit: Isentia

Dari puasa ini saya mendapakan lebih dari sekadar menyelamatkan waktu-waktu yang tersiakan dan akhirnya teralokasikan untuk hal yang lebih produktif.

Semuanya bermula dari kejenuhan saya karena sering sekali secara unconscious melakukan comparing dengan siapa pun yang saya lihat di Instagram. Si anu yang sudah married dan looks like a new happy mom, si anu lain yang hampir setiap pekan punya agenda jalan-jalan, atau si anu yang sudah jadi ini dan itu. Media sosial khususnya Instagram bagai etalase pencapaian demi pencapain, yang secara tak langsung membuat orang yang merasa belum mencapai apa pun (baca: saya), ditinggal lari jauh ke depan. Bahkan, saat melihat seseorang yang cantik di feeds, saya merasa ada yang kurang pada diri saya, yah, begitulah. Barangkali hanya pada pribadi-pribadi rapuh insecure macam saya, dampak ini rasanya membuat saya tidak sehat, mentally. Tapi, kesadaran akan 'kelemahan' ini membuat saya berpikir, bahwa mungkin, Instagram tak memberikan apa yang saya butuhkan, sebaliknya, media ini membuat saya merasa kerdil pada satu waktu, atau justru merasa jemawa pada waktu lain. Either inferior or superior. Jadi, saya pun mantap tak membuka aplikasi ini lagi sementara waktu. 

Anehnya, walaupun dulu saya begitu terbiasa melihat feeds Instagram, sejak awal hingga detik ini, saya tak merasa kehilangan apa pun. Well, saya mungkin melewatkan kabar teman yang sedang liburan di suatu tempat, atau yang lebih agak penting, kabar teman saya yang ternyata sudah lamaran. Semua informasi yang dibagikan teman-teman akun media sosialnya, tak lagi menggapai saya. Tapi, saya pikir, jika memang teman saya merasa saya cukup penting untuk tahu, ia akan menggapai saya melalui media yang lebih pribadi, seperti chat messanger. Benar saja, karena pada akhirnya teman saya mengabari saya melalui pesan Whatsapp. Jadi, saya memang tak kehilangan apa pun, yang penting untuk saya tahu.

Selain itu, saya pun menyadari mudahnya mencari dan menjadi teman melalui media sosial. Cukup menekan button like dan menambahkan satu dua kata di kolom komentar, jarak sosial lantas berkurang beberapa senti. Saya bisa merasa memiliki impresi positif pada si A, lantaran si A selalu memberi like postingan saya. Saya merasa 'kenal' pada si B, karena saya dan B telah saling follow. Saya rasa pada poin ini, media sosial memiliki kelebihannya sendiri. Namun, tak lagi merasakan 'manfaat' ini pun tak jadi masalah buat saya. Pada akhirnya hidup saya bukan hanya tentang menambah teman sebanyak-banyaknya dan membuat semua orang menyukai saya kan? Toh, saya pribadi lebih menyukai berhubungan dengan orang lain secara personal.

Selain media yang pas untuk share apa pun, Instagram pun sesungguhnya salah satu platform yang baik untuk personal branding. Saya mungkin akan 'ditemukan' oleh jodoh karier atau apa pun melalui Instagram, tentu saja jika saya mengatur feeds dengan baik. Maka, saya mungkin akan kembali menggunakannya suatu saat nanti, jika dirasa perlu. Tapi untuk saat ini, saya merasa lebih senang untuk tidak menggunakannya. 

Asyik melihat diri sendiri tanpa perbandingan dari berbagai pihak, dari 'tuntutan' untuk menjadi lebih, dari keinginan membanggakan diri dan mengharapkan pengakuan, dan dari kepusingan membuat caption yang membuat saya tampak cool dan cerdas, Hahahha.

Mungkin, seperti kata seorang filsuf, bahwa semakin maju perkembangan zaman, semakin sulit orang merasa bahagia. Dan mungkin bagi saya, inilah salah satu cara termudah untuk tetap merasa bahagia.

Read More

Share Tweet Pin It +1

5 Comments

In Thought

Mencintai dengan Berani


Saya ini penakut. Saya takut pada penilaian orang lain, maka saya berlaku konformitas. Saya takut terlihat bodoh, maka saya berlagak paham. Saya takut tak disukai, maka saya berupaya selalu ceria dan bersikap ramah.

Saya ini penakut, maka saya tidak bisa mencintai sepenuh hati, saya takut, cinta yang orang lain akui punya untuk saya, menguap sewaktu-waktu. Maka, saya menjarak dan memberikan cinta seperti cicilan, sedikit-demi sedikit. Membuat pagar yang membuat hubungan saya aman tapi justru membuat saya kesepian. Hingga puncaknya, saya memutuskan untuk mundur, dan mengakhiri hubungan. Saya tak berani jika harus kehilangan saat saya tidak siap.
Siapa yang siap kehilangan?


Tapi kami belum benar-benar berpisah. Pacar saya belum mau kami menyerah. Kami hanya saling diam pada beberapa waktu. Pada satu titik, saya pikir, sifat penakut ini membuat saya menjadi bodoh. Mengapa saya harus takut? Bukannya saya toh sudah pernah putus cinta dan bisa jatuh cinta lagi? Dan setengah hati mencintai membuat saya tak mendapatkan apa pun, kami justru jadi lebih berjarak dari ketika kita berteman dulu. 

Hingga pada satu hari, saya putuskan untuk mencintai dengan berani. Saya beranikan diri untuk selalu menyampaikan apa pun yang saya rasakan, sayang, rindu hingga perasaan tak nyaman yang selama ini saya tahan. Saya beranikan diri untuk bertanya padanya tanpa mencemaskan jawaban yang akan ia berikan, dan bukannya berasumsi seperti yang dulu saya lakukan. Saya beranikan diri memberinya ruang untuk dirinya tanpa merasa teracuhkan. Saya beranikan diri menerima penolakan yang di luar kendali kami berdua.  Dan, pada satu waktu, segalanya tak lagi menjadi tentang saya seorang. Akhirnya saya sadar bahwa ternyata menjadi penakut telah menjadikan saya begitu egois. Ketakutan membuat fokus tentang apa pun terpusat pada kepentingan saya seorang. Saya senang hubungan kami menjadi jauh lebih baik kini.

Dan nyatanya, menjadi berani, terasa begitu melegakan. Mencintai orang lain dengan berani, membuat saya bisa mencintai diri saya sendiri dengan lebih baik.

Saya pasti akan tetap bersedih jika memang suatu saat nanti terjadi hal-hal yang tak saya harapkan. Mungkin menangis satu-dua hari, melakukan hal aneh seperti membeli shampoo dee dee seperti saat putus cinta dulu yang entah untuk apa, tapi paling tidak, saya tahu, saya tidak akan menyesali apa pun. Saya tahu saya sudah melakukan yang terbaik yang saya mampu. Maka saya tidak akan kehilangan apa pun. Kelak, yang tak saya dapatkan, memang tak layak untuk saya miliki.

Dan bukan hanya tentang mencintai, tak disukai oleh orang lain hanya karena tidak menjadi diri saya sendiri pun tak layak saya cemaskan, maka, saya akan tetap berlaku baik, bukan karena takut tak disukai, tapi karena saya menyukai diri saya ketika saya seperti itu.




Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Tentang hal-hal yang harusnya saya pertahankan dan yang perlu saya lepaskan

Telah sejak beberapa bulan yang lalu, saya selalu memikirkan hal yang sama. Tentang hal-hal yang harusnya saya pertahankan dan yang perlu saya lepaskan.  Dia, dan hubungan bersamanya, selalu berada di titik setimbang, membuat saya ragu dan tidak bisa memutuskan apa pun. Satu kali saya begitu yakin untuk melepaskan, di lain waktu saya merasa takkan mampu. Apa yang salah? Apa yang paling akan saya takutkan akan terjadi?

Tak sulit bagi saya untuk mencari-cari kesalahan. Saya selalu ingin memiliki pasangan yang begini dan begitu. Sederet kriteria yang saya jadikan syarat mutlak untuk sebuah hubungan yang serius. Tapi, ketika pertama kali bertemu dengannya dulu, saya pikir, dia yang tak memiliki sederet list tersebut, sungguh hebat, karena toh saya bisa luluh juga. Saya pikir atau saya rasa, dia berhasil membuat saya tak menganggap kriteria itu penting lagi. Dia meluruhkan kriteria dan membuat semuanya seolah tanpa sebab, begitu saja.

Namun, semakin lama bersama, 'tuntutan' yang saya pelihara semakin minta perhatian. Keraguan demi keraguan menggerogoti keyakinan saya setiap harinya. Saya tidak ingat apakah keraguan itu pernah saya alami saat bersama pasangan saya di masa lalu. Entah mengapa, saat mengingat-ingat kembali, seperti banyak kenangan manis dan kebaikan mereka yang selama ini luput dari perhatian saya. Saya pernah bersama dengan seseorang yang berhasil membuat saya yang demikian cuek menjadi mau peduli, yang rajin memberi bunga dan kejutan manis walau harus pulang pergi ke luar kota dalam semalam atau mengirimi masakan rumah tiap pulang kerja saat kosan saya hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Aneh, kenangan manis ini baru muncul ketika saya menarik memori dari laci yang berbeda di otak saya. Saya tahu, terlepas dari semua permasalahan yang kami hadapi dulu, dia pernah menjadi seseorang yang paling peduli dan membuat saya merasa beruntung.



Selanjutnya, saya menjalani hubungan dengan seseorang yang selama ini saya kagumi. Beberapa hari pertama rasanya bagai mimpi, bahkan sampai kami akhirnya harus berpisah, saya tidak terlalu terpukul karena saya pikir hubungan kami tidak senyata yang sebenarnya. Ia adalah teman diskusi terbaik yang pernah saya punya. Ia yang begitu cerdas, dan memiliki banyak impian. Ia tahu kapan harus bercerita lucu untuk membuat saya berhenti mengeluh. Ia tahu bagaimana membuat saya benar-benar mengaguminya bahkan setelah berbulan-bulan kami berpisah. Hingga saat ia memberi kabar pernikahan, anehnya, saya merasa ia layak mendapat kebahagiaan. Pada satu titik saya menyadari, perasaan cinta yang saya duga saya miliki, jangan-jangan hanya perasaan kagum dari penggemar kepada idolanya.

Saya mengenang kembali,  bukan untuk terbuai pada kenangan manis di masa lalu, tapi untuk menyadari bahwa jangan-jangan, kebaikan-kebaikan pasangan saya sekarang baru akan saya sadari justru ketika kami tak bersama lagi. Jangan-jangan saya belum pernah melihat dirinya sebagai dirinya. Dia yang memiliki kualitas-kualitas yang sering saya pungkiri. Dia yang tak pernah berhenti menyerah tiap kali saya ingin berhenti. Jangan-jangan saya melihatnya sebagai boneka kayu yang perlu saya pahat dengan pisau-pisau harap dari masa lalu.  Jangan-jangan saya yang tidak pantas untuknya.

Jangan-jangan, dialah yang harus saya pertahankan, dan segala 'tuntuntan' itu yang ternyata perlu saya lepaskan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

sekali lagi

jika tiap ragu menjelma biji tasbih yang kau telusuri dengan ujung jari, dan harap adalah alasan keningmu menyentuh bumi, tuhan barangkali sudi menemanimu sekali lagi.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

Melepaskan

menggenggam terlalu banyak
membuat tanganmu memar dan memerah
cinta menetes dari sela-sela jemari
kepalanmu kian lemah
kepalamu kian rebah
maka
kamu bentangkan hatimu sekali lagi
membiarkan angin menerbangkannya
jauh
dari cinta yang telah lalu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Menyederhanakan Cinta

"Harus sesering apa lagi sih?" (2011)

Kamu selalu saja merasa tak cukup. Kamu pikir, apa yang menurutmu ideal benar-benar kamu butuhkan. Padahal kebutuhanmu tak terpenuhi dari situ. Kamu pikir ada yang salah, maka kamu melahap banyak teori untuk mencari pembenaran. Mencoba membenarkan. Lama-lama, kamu seperti subjek penelitian yang mencoba membuktikan postulat para ilmuan. Kamu lupa melihat kembali ke dalam hati. Kerajingan memaknai, membuatmu alpa menjiwai.

Maka, mari kita sederhanakan saja cinta.



"Menurutmu, dalam suatu hubungan tak butuh ruang?"(2017)

Kamu takut hantu, tapi kamu lebih takut sendirian, walau kamu tahu tidak akan ada hantu yang datang. Maka menghadiahkan ruang bagai memborong ketakutan. Padahal perbandingan seperti itu sama sekali tak setimpal. Maka kamu merasa sedang diperlakukan tak adil. Padahal kesepian hanya datang jika kamu meninggalkan dirimu sendiri. Maka memaksa orang lain menetap, tak berarti banyak. 

Mari kita sederhanakan saja cinta.

Sederhanakan saja cinta menjadi anak-anak tangga yang membawamu naik ke atas. Puncaknya bukanlah siapa-siapa selain dirimu. Semakin banyak anak tangga yang kamu lewati, semakin kamu mengenal dirimu sendiri. Tak perlu berupaya mencari-cari makna, dalam cinta, tuhan pun bisa saja hanya bercanda. 

Maka, simpan semua teori tentang cinta di dalam kardus bekas dispenser. Sudah saatnya kamu menyederhanakan cinta dan membiarkan hatimu kembali merasa.

rasakan, cinta.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

Lihat ke Atas


Apakah kamu perhatikan, akhir-akhir ini langit lebih tinggi dari biasanya?




Dulu sekali, saat sibuk mengerjakan Tugas Akhir D3, saya terbiasa melihat langit sebelum bertemu dosen pembimbing. Entah sejak kapan, langit bagai indikator suasana hati saya pada hari itu. Walau saya mendapat banyak sekali revisi, selama langit cerah, awan berarak indah, saya bisa memastikan, hari saya akan baik-baik saja. Bukan meramalkan, tapi bagai memberi jaminan saya punya penghibur kesedihan: langit yang indah.

Apakah kamu perhatikan, akhir-akhir ini langit jauh lebih indah dari biasanya? Tidakkah kamu merasa, Tuhan selalu punya cara untuk menghiburmu?

Melalui awan yang menyelimuti birunya langit, mengarak mengelilingi bulan yang oranye, ada pesan Tuhan  dalam setiap keindahan yang ia ciptakan, bahwa semua akan baik-baik saja.

Langit memayungimu dari segala kegelisahan, di atas kepalamu itu, sayang, Tuhan mencoba menenangkanmu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments