In Thought

Jika mati nanti, kamu ingin dikenang sebagai apa?

Azki ingin dikenang sebagai orang yang selalu membawa keceriaan. Diqi ingin dikenang sebagai Bupati Kalimantan. Jawaban teman-teman lainnya pun beragam. Namun, tentu saja memiliki satu kesamaan: hal yang positif. Bagaimana pun, kita ingin meninggalkan jejak yang baik saat pergi nanti. Buat apa yah, kan sudah meninggal? Hal ini bisa jadi bukti bahwa sepenting itulah penilaian orang lain bagi kita, bahkan saat kita tak lagi bisa mengetahuinya. Atau, memang kita ingin menjadi orang yang baik, yang berguna, yang berdampak, sudah titik.


Walau terdengar sepele, pertanyaan ini membawa saya pada pemikiran lain, yaitu memangnya saya mau menjadi apa saat hidup? atau singkatnya, apa sih tujuan hidup saya? Seorang pembicara di sebuah seminar pernah menekankan, bahwa berbakti pada orang tua, berguna bagi bangsa, atau menjalankan perintah agama bukanlah tujuan hidup. Iyah, hal-hal itu bukanlah tujuan, tapi kewajiban! 
Maka, jika tujuan hidupmu ternyata salah satu yang disebutkan di atas, coba berpikir ulang. Hm, apa yah tujuan hidup saya?

Waktu kakak saya mengajak saya mengikuti sebuah seminar bertemakan finding your passion dan tujuan hidup (kira-kira seperti itu), saya murni mengiyakan karena ingin menemani saja. Saya pikir, sudahlah, toh saya tahu passion saya menulis, tujuan hidup saya yah jadi penulis, sudah begitu saja. Tapi ternyata saya keliru antara tujuan hidup dan profesi. Pemateri mematahkan tujuan hidup yang saya pikir sudah saya ketahui. Katanya, tujuan hidup tak boleh berkutat tentang diri sendiri, dan berjangka panjang (yah selama kita hidup), juga tak terbatas pada jenis profesi karena profesi hanyalah sebagai alat. Hm, oke, jadi tujuan hidup saya apa dong? *mulaipanik

Saya pikir, saya ingin berkarier di bidang yang saya tekuni sekarang, juga mendalami dan mengaplikasikan ilmu yang sedang saya pelajari, menikah, punya anak, dan hidup bahagia di negeri sakura, titik. Sepertinya jelas, padahal saya belum memiliki ruh rencana saya ini. Mengapa saya ingin menjalani hidup yang seperti itu? 

Saat di SMP, saya pernah bilang pada seorang teman bahwa kelak saya ingin menjadi seorang psikolog. Keinginan ini muncul setelah saya membaca buku Sheila, yah sepertinya hampir semua yang membaca karya Torey Hayden, menganggap profesi psikolog begitu keren. Bagaimana Hayden secara perlahan mendapatkan hati Sheila, menyelami luka-lukanya, dan membuat Sheila bisa berdiri (dengan aman) di atas kakinya. Bertahun-tahun kemudian, saya justru menjadi mahasiswa IT. 

Tapi, apa pun jurusan yang saya ambil, toh saya masih bersinggungan dengan manusia, di mana pun, kapan pun. Manusia itu menarik salah satunya karena saya juga manusia. Setiap saya mengalami masalah, saya tahu orang lain juga memiliki masalahnya masing-masing. Manusia itu unik sekaligus serupa. Sama-sama unik justru membuat mereka begitu mirip. Saya tak pernah cukup peka untuk menyelami luka dan suka yang dialami orang lain, tapi saya tertarik berenang-renang dalam perasaan yang saya punya. Saya ingin mengenali si saya, si manusia yang mengaku unik padahal yah tak beda dengan siapa pun, sama-sama ingin diterima, sama-sama 'mencari tempat' yang nyaman, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Jadi, apa nih tujuan hidup saya? *kembalipanik

Saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di bidang humaniora. Sambil melambaikan tangan pada  jaringan dan coding, saya tertatih-tatih mempelajari teori-teori dasar psikologi. Dalam perjalanannya, saya pernah lupa motivasi saya melanjutkan pendidikan, selain ketertarikan dengan bidang ini. Tapi, pada hari saya memikirkan tujuan hidup, saya membuka-buka kembali blog lama yang sudah tak terurus. 

Di sanalah saya menemukan ini


Tanggal yang tertera adalah hari pertama saya kuliah di kampus baru. Walaupun saya belum tahu bagaimana caranya, paling tidak, kini saya tahu (ingat kembali) apa yang ingin saya lakukan sampai akhir hidup saya nanti.

Jadi, Jika mati nanti, kamu ingin dikenang sebagai apa?

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Poems

kilau


photo credit: favim
kamu terus membicarakan hal-hal yang tak kupahami, tapi matamu yang berkilau kala meracau, membuatku tak ingin beranjak pergi.
aku ingin membungkus mata itu dalam kertas nasi dan mengikatnya dengan karet gelang. aku ingin memasukan bibir itu ke dalam plastik dan menutupnya dengan sedotan.
agar sewaktu-waktu, jika ku rindu, kubiarkan bibirmu bercerita, dan matamu menebar cahaya.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Dari Puasa Instagram, Inilah yang Kini Saya Rasakan

Sudah hampir dua bulan semenjak terakhir kali saya posting di Instagram dan rutin scrolling timeline. Saya pikir saya hanya akan 'puasa' satu bulan, karena pakai metode #onemonthewithout ala-ala. Tapi usai dua bulan berlalu, saya kini tak begitu berminat mengakses media sosial yang satu itu. 

photo credit: Isentia

Dari puasa ini saya mendapakan lebih dari sekadar menyelamatkan waktu-waktu yang tersiakan dan akhirnya teralokasikan untuk hal yang lebih produktif.

Semuanya bermula dari kejenuhan saya karena sering sekali secara unconscious melakukan comparing dengan siapa pun yang saya lihat di Instagram. Si anu yang sudah married dan looks like a new happy mom, si anu lain yang hampir setiap pekan punya agenda jalan-jalan, atau si anu yang sudah jadi ini dan itu. Media sosial khususnya Instagram bagai etalase pencapaian demi pencapain, yang secara tak langsung membuat orang yang merasa belum mencapai apa pun (baca: saya), ditinggal lari jauh ke depan. Bahkan, saat melihat seseorang yang cantik di feeds, saya merasa ada yang kurang pada diri saya, yah, begitulah. Barangkali hanya pada pribadi-pribadi rapuh insecure macam saya, dampak ini rasanya membuat saya tidak sehat, mentally. Tapi, kesadaran akan 'kelemahan' ini membuat saya berpikir, bahwa mungkin, Instagram tak memberikan apa yang saya butuhkan, sebaliknya, media ini membuat saya merasa kerdil pada satu waktu, atau justru merasa jemawa pada waktu lain. Either inferior or superior. Jadi, saya pun mantap tak membuka aplikasi ini lagi sementara waktu. 

Anehnya, walaupun dulu saya begitu terbiasa melihat feeds Instagram, sejak awal hingga detik ini, saya tak merasa kehilangan apa pun. Well, saya mungkin melewatkan kabar teman yang sedang liburan di suatu tempat, atau yang lebih agak penting, kabar teman saya yang ternyata sudah lamaran. Semua informasi yang dibagikan teman-teman akun media sosialnya, tak lagi menggapai saya. Tapi, saya pikir, jika memang teman saya merasa saya cukup penting untuk tahu, ia akan menggapai saya melalui media yang lebih pribadi, seperti chat messanger. Benar saja, karena pada akhirnya teman saya mengabari saya melalui pesan Whatsapp. Jadi, saya memang tak kehilangan apa pun, yang penting untuk saya tahu.

Selain itu, saya pun menyadari mudahnya mencari dan menjadi teman melalui media sosial. Cukup menekan button like dan menambahkan satu dua kata di kolom komentar, jarak sosial lantas berkurang beberapa senti. Saya bisa merasa memiliki impresi positif pada si A, lantaran si A selalu memberi like postingan saya. Saya merasa 'kenal' pada si B, karena saya dan B telah saling follow. Saya rasa pada poin ini, media sosial memiliki kelebihannya sendiri. Namun, tak lagi merasakan 'manfaat' ini pun tak jadi masalah buat saya. Pada akhirnya hidup saya bukan hanya tentang menambah teman sebanyak-banyaknya dan membuat semua orang menyukai saya kan? Toh, saya pribadi lebih menyukai berhubungan dengan orang lain secara personal.

Selain media yang pas untuk share apa pun, Instagram pun sesungguhnya salah satu platform yang baik untuk personal branding. Saya mungkin akan 'ditemukan' oleh jodoh karier atau apa pun melalui Instagram, tentu saja jika saya mengatur feeds dengan baik. Maka, saya mungkin akan kembali menggunakannya suatu saat nanti, jika dirasa perlu. Tapi untuk saat ini, saya merasa lebih senang untuk tidak menggunakannya. 

Asyik melihat diri sendiri tanpa perbandingan dari berbagai pihak, dari 'tuntutan' untuk menjadi lebih, dari keinginan membanggakan diri dan mengharapkan pengakuan, dan dari kepusingan membuat caption yang membuat saya tampak cool dan cerdas, Hahahha.

Mungkin, seperti kata seorang filsuf, bahwa semakin maju perkembangan zaman, semakin sulit orang merasa bahagia. Dan mungkin bagi saya, inilah salah satu cara termudah untuk tetap merasa bahagia.

Read More

Share Tweet Pin It +1

5 Comments