In Memories

Dari Puasa Instagram, Inilah yang Kini Saya Rasakan

Sudah hampir dua bulan semenjak terakhir kali saya posting di Instagram dan rutin scrolling timeline. Saya pikir saya hanya akan 'puasa' satu bulan, karena pakai metode #onemonthewithout ala-ala. Tapi usai dua bulan berlalu, saya kini tak begitu berminat mengakses media sosial yang satu itu. 

photo credit: Isentia

Dari puasa ini saya mendapakan lebih dari sekadar menyelamatkan waktu-waktu yang tersiakan dan akhirnya teralokasikan untuk hal yang lebih produktif.

Semuanya bermula dari kejenuhan saya karena sering sekali secara unconscious melakukan comparing dengan siapa pun yang saya lihat di Instagram. Si anu yang sudah married dan looks like a new happy mom, si anu lain yang hampir setiap pekan punya agenda jalan-jalan, atau si anu yang sudah jadi ini dan itu. Media sosial khususnya Instagram bagai etalase pencapaian demi pencapain, yang secara tak langsung membuat orang yang merasa belum mencapai apa pun (baca: saya), ditinggal lari jauh ke depan. Bahkan, saat melihat seseorang yang cantik di feeds, saya merasa ada yang kurang pada diri saya, yah, begitulah. Barangkali hanya pada pribadi-pribadi rapuh insecure macam saya, dampak ini rasanya membuat saya tidak sehat, mentally. Tapi, kesadaran akan 'kelemahan' ini membuat saya berpikir, bahwa mungkin, Instagram tak memberikan apa yang saya butuhkan, sebaliknya, media ini membuat saya merasa kerdil pada satu waktu, atau justru merasa jemawa pada waktu lain. Either inferior or superior. Jadi, saya pun mantap tak membuka aplikasi ini lagi sementara waktu. 

Anehnya, walaupun dulu saya begitu terbiasa melihat feeds Instagram, sejak awal hingga detik ini, saya tak merasa kehilangan apa pun. Well, saya mungkin melewatkan kabar teman yang sedang liburan di suatu tempat, atau yang lebih agak penting, kabar teman saya yang ternyata sudah lamaran. Semua informasi yang dibagikan teman-teman akun media sosialnya, tak lagi menggapai saya. Tapi, saya pikir, jika memang teman saya merasa saya cukup penting untuk tahu, ia akan menggapai saya melalui media yang lebih pribadi, seperti chat messanger. Benar saja, karena pada akhirnya teman saya mengabari saya melalui pesan Whatsapp. Jadi, saya memang tak kehilangan apa pun, yang penting untuk saya tahu.

Selain itu, saya pun menyadari mudahnya mencari dan menjadi teman melalui media sosial. Cukup menekan button like dan menambahkan satu dua kata di kolom komentar, jarak sosial lantas berkurang beberapa senti. Saya bisa merasa memiliki impresi positif pada si A, lantaran si A selalu memberi like postingan saya. Saya merasa 'kenal' pada si B, karena saya dan B telah saling follow. Saya rasa pada poin ini, media sosial memiliki kelebihannya sendiri. Namun, tak lagi merasakan 'manfaat' ini pun tak jadi masalah buat saya. Pada akhirnya hidup saya bukan hanya tentang menambah teman sebanyak-banyaknya dan membuat semua orang menyukai saya kan? Toh, saya pribadi lebih menyukai berhubungan dengan orang lain secara personal.

Selain media yang pas untuk share apa pun, Instagram pun sesungguhnya salah satu platform yang baik untuk personal branding. Saya mungkin akan 'ditemukan' oleh jodoh karier atau apa pun melalui Instagram, tentu saja jika saya mengatur feeds dengan baik. Maka, saya mungkin akan kembali menggunakannya suatu saat nanti, jika dirasa perlu. Tapi untuk saat ini, saya merasa lebih senang untuk tidak menggunakannya. 

Asyik melihat diri sendiri tanpa perbandingan dari berbagai pihak, dari 'tuntutan' untuk menjadi lebih, dari keinginan membanggakan diri dan mengharapkan pengakuan, dan dari kepusingan membuat caption yang membuat saya tampak cool dan cerdas, Hahahha.

Mungkin, seperti kata seorang filsuf, bahwa semakin maju perkembangan zaman, semakin sulit orang merasa bahagia. Dan mungkin bagi saya, inilah salah satu cara termudah untuk tetap merasa bahagia.

5 comments:

  1. Hmm... apa yang mbak tuliskan ini mengingatkan saya pada seorang public figure asal australia yang bernama Essena O Neill. Ia berhenti menjadi selebgram karena Instagram tidak membuatnya bahagia.

    Aku juga seperti itu, meski sekarang aku menggunakan Instagram hanya untuk memposting tausiyah serta info mengenai artikel yang baru aku posting di blog, aku malah merasa insecure hanya gara-gara Instagram. Ditambah lagi sering muncul foto para selebgram sebut saja si A dengan si L serta si R dengan si Q yang kelihatan bahagia dengan pasangannya karena menikah muda (sekarang udah aku blokir akun mereka)yang bikin aku merasa 'terintimidasi' karena...yah... aku ini jomblo dan belum pasti jodohnya siapa :'(

    Intinya kalau sering-sering buka Instagram pasti ujung-ujungnya bakal berdampak negatif bagi kita

    Aku juga bakalan curhat di blog tentang keinginanku untuk berhenti sementara bermain Instagram selama 2 bulan


    Visit my blog :)
    coretanhatiukhti.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Saya udh uninstall instagram sejak kemarin... aku nulis caption pamit untuk sementara disana... iya aku merasa insecure, aku merasa orang lain itu berlomba lomba membangun image baik, kayak ga punya kehidupan pahit sama sekali... tapi aku sadar itu semua fake... mungkin aku break sementara tapi aku ga tau sampe kapan... karena aku merasa tanpa instagram malah lebih baik... banyak waktu yang bermanfaat...

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih sudah sharing. Semoga jadi lebih baik yah, dengan atau tanpa Instagram ;)

      Delete

What do you think?