In Fiction

Ketika Kami Bertemu Kembali



Waktu mataku menatap wajahnya, ada rasa familier yang muncul begitu saja. 
Tanpa sadar, matanya telah bertemu mataku. 
Aku tersenyum sambil berjalan mendekatinya. 
Tidak tahu apa yang melatari reaksiku, bagai ada penggerak pada kedua kaki begitu saja.

Saat itu, matahari telah terbit tapi belum terlalu tinggi. Selain para pengguna sepeda dan pejalan kaki di sekitar kami, ada pula penjual air tebu yang berhenti di antara posisi kami berdua. Aku perlu melaluinya, tukang tebu itu maksudnya. 

Saat aku berjalan mendekatinya dan matanya telanjur beradu dengan mataku, kakinya juga meniru gerak kakiku, berjalan mendekatiku.

Aku rasa saat itulah langkahku terasa amat berat walau hatiku sudah begitu ringan.

Begitu kakiku hanya beberapa jengkal dengan tukang tebu, penjual itu sempat menyapa dan menawarkan dagangannya. Ternyata, ia -laki-laki itu, bukan si penjual tebu-  telah berdiri beberapa langkah di hadapanku. Sudah cukup dekat sehingga aku merasa tak perlu melangkah lagi. 

"Tidak pak, terima kasih"
"Boleh pak, di plastik saja yah"

Ia masih suka air tebu ternyata. Ia mungkin saja berpikir bahwa hingga kini aku tak mau meminum air tebu. Penjual tebu itu tersenyum menanggapi ucapan kami yang terlontar bersamaan. Lalu beralih pada gerobak dan gelas-gelas di hadapannya. Kepala kami berdua masih mengamati penjual tebu, belum bernyali saling bertemu. Sampai ia kembali melangkah kecil ke arahku.

"Apa kabar?"

"Baik mas" tukang tebu itu menimpali. Aku tersenyum kecut. 

"Ke situ yuk" Aku menunjuk kursi panjang yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku tak berharap obrolan kami diinterupsi. Setelah menerima plastik air tebunya, ia berjalan mengikutiku. Ia sempat menawariku air tebu yang sudah di tangannya tapi belum dihisapnya walau setetes, tapi kemudian sadar dengan pasti bahwa aku akan menolak, menyisakan cengiran di wajahnya yang setengah berkeringat.

"Jadi, apa kabar?"

Pertanyaan sederhana itu membawa kami pada percakapan panjang tanpa henti. Kami bercengkrama tentang apa saja sampai menemukan fakta bahwa kami sama-sama masih sendiri. Ia mengeluarkan lagi humor yang masih membuatku tertawa seakan baru pertama kali kudengar. Kami bahkan tak menyadari matahari sudah jauh lebih tinggi, dan sama-sama merasakan terik yang menyengat, kami saling berpamitan setelah membuat janji untuk bertemu lagi keesokan hari. Kami berpisah dengan hati yang penuh dan harap yang kembali tumbuh.

Kira-kira begitulah akhirnya jika saja aku benar-benar melangkahkan kakiku mendekat ke arahnya.

Aku belum sempat membalas senyumnya saat mata kami bertemu.
Sampai aku menyadari otakku dengan cekatan memberi perintah pada sepasang kakiku untuk berlari kencang ke arah berlawanan dari tempatnya berdiri.

Kudengar suara ketus seorang pedagang yang tanpa sengaja kusenggol gerobaknya saat berlari. 
Tapi, tak kudengar namaku diteriakkan olehnya.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments