In Thought

Alasan di Balik Amarah: Benarkah Seperti yang Kita Kira? #MelepasAmarah



Ayah saya seorang yang sangat tempramental. Fakta ini tentu memengaruhi kondisi rumah dan seisinya. Para penghuni rumah lainnya jadi sama mudahnya naik darah. Kemarahan bisa pecah kapan pun dengan alasan apa pun.

Dulu saya pun punya mantan pacar yang juga tempramental. Jika kami bertengkar, dia bisa meninju apa saja yang ada di hadapannya (kecuali saya tentu saja), atau memacu motor dengan kecepatan sangat tinggi walau saat itu saya di bangku belakang. 

Berada di tengah-tengah orang yang tempramental, tanpa saya sadari membuat saya berpikir bahwa menjadi seperti itu adalah hal yang wajar. Wajar 'mengamuk' jika ada yang terlambat datang pada janji temu, atau 'wajar' marah-marah saat ada kejadian yang tak sesuai harapan. Tanpa sempat memberi jeda untuk mencerna dan memahami.

Saya tahu, jauh di dalam hati saya dan para penghuni rumah, kami merasa muak dengan kondisi ini. Untungnya, saya bertemu beberapa teman yang melalui perilakunya, saya tahu bagaimana menjadi lebih sabar dan tenang. Dari merekalah saya menyadari, bahwa marah bukanlah satu-satunya pilihan, dan bukan pilihan yang layak diambil.

Tak sedikit keputusan atau sikap yang saya pilih saat dipengaruhi amarah, berujung penyesalan. Hingga pada satu titik, saya mencoba bertanya pada diri saya sendiri: apa sebenarnya yang membuat saya merasa marah? Jangan-jangan ada penyebab lain yang selama ini tak saya anggap.

Maka kali ini saya ingin melatih diri melepas amarah dengan cara yang tepat. Tulisan mengenai ini akan saya bagi ke dalam beberapa bagian mengingat banyaknya hal yang perlu saya pahami.  Pada tulisan ini, sebagai permulaan saya pikir penting untuk menjawab "kenapa" sebelum mencari tahu "bagaimana". 

Jadi, kenapa saya merasa marah (pada banyak hal yang tak perlu)? 

Sama seperti semua jenis emosi lainnya, marah adalah sebuah sinyal dari dalam diri. Sinyal bahwa ada yang tidak 'beres'. Sinyal bahwa sebetulnya kita butuh pertolongan. 

Marah bukanlah sebuah rasa yang polos dan sederhana. Jika berani mengakui, marah bisa jadi topeng dari perasaan lain; malu, takut, cemas, gelisah, sakit hati, dan sebagainya. 

Marah bisa pula timbul dari  narcisstic injuries alias perasaan terluka yang timbul karena merasa self-esteem terancam, seperti perasaan dipermalukan, dihina, atau bahkan ketika dikritik. 

Marah juga mudah terpicu saat kita merasa tak nyaman, seperti merasa lapar, haus, terlalu panas/terlalu dingin, dan lain sebagainya. 

Jadi, rasa marah tak sepenuhnya disebabkan oleh sumber amarah yang semula kita kira. Bisa jadi penyebabnya ada di dalam diri kita sendiri sementara orang lain hanya memicunya muncul ke permukaan.

Misalnya jika seseorang mengatakan hal yang tak menyenangkan tentang kita, lalu kita marah. Ingat, jika kita terpengaruh dengan pernyataan tersebut, barangkali diam-diam kita mengamini tapi tak mau mengakui. Jika memang tidak, lantas buat apa kita marah. Jika kita menyakini dan telah menerima diri sebagaimana mestinya, seharusnya kita tak perlu lagi terpengaruh. Seharusnya kita tak perlu merasa marah.

Jika memang begitu, ada hal yang lebih penting dibanding merasa marah apalagi meluapkannya: melihat ke dalam diri, mencari tahu apa yang bisa kita benahi. 


Maka, coba renungi dulu, mengapa merasa marah?


sumber gambar: pinterest

0 comments:

Post a Comment

What do you think?