In Memories

Bersenang-senang Di Seni Senang

Mba A. pernah bilang, melihat pertunjukan seni akan membuat kita bertambah peka. Sebagai murid sekaligus penggemarnya saya percaya dan ingin membuktikan juga. Maka saya terpikir untuk mencicipi beberapa pertunjukan seni pada Festival Salihara Kelima di Galeri Salihara, Pasar Minggu.

Festival Salihara kelima diadakan mulai tanggal 13 September-22 Oktober 2014. Ada delapan belas pertunjukan utama pada rentang waktu satu bulan, juga berbagai fringe events menarik yang bisa ditonton secara gratis. Semula saya berniat melihat papermoon puppet theater bertajuk Surat ke Langit (A Letter To The Sky) yang disutradarai oleh Maria Tri Sulistyani. Sayangnya jadwal pertunjukan bersamaan dengan agenda ke Ujung Genteng tanggal 27 September lalu. Setelah menyesuaikan jadwal kembali, pilihan pun jatuh pada The Four Seasons Of The Year & Is'nt This A Lovely Day, Budrugana-Gagra Theater pada tanggal 19 Oktober Minggu lalu.

Saya bersama kakak datang pada pukul 07.00 untuk melakukan penukaran tiket, sementara pertunjukan baru akan mulai pukul 08.00 malam. Sambil menunggu, kami menikmati sebentar pernampilan  Mata Jiwa sebagai salah satu fringe events malam itu (ada pula penampilan jenakawan Boris Bokir). 

Khawatir akan mengantuk, kami putuskan untuk meminum kopi sebentar di kafe Salihara. Di tengah-tengah obrolan melantur kala itu, tiba-tiba seorang bapak berambut putih panjang khas pekerja seni, datang menghampiri kami. Semula beliau hanya berbasa-basi menanyakan pekerjaan, tahu  event ini dari mana dan hal-hal semacam itu, sampai akhirnya beliau menyarankan kami (dengan sangat) untuk menonton pertunjukan berikutnya, Konser Ensemble Modern pada hari Rabu juga Opera Tari Gandari di Taman Ismail Marzuki adaptasi dari puisi Gandari oleh Goenawan Mohamad. Kami sebagai insan-buta-seni, mengangguk saja demi sopan santun sambil tersenyum. Beliau bahkan menjanjikan tiket gratis untuk kami berdua jika kami datang. Setelah percakapan usai, barulah kami tahu beliau adalah Pak Tony Prabowo, komposer senior sekaligus dewan kurator di Salihara (maklum namanya juga insan-buta-seni hehehe).

Budrugana-Gagra Theater adalah kelompok teater bayangan tangan asal Tbilisi, Georgia yang didirikan oleh Gela Kandelaki pada 1982. The Four Season of The Year sendiri berkisah tentang seorang anak beruang yang mengalami petualangan berbeda dari musim semi hingga musim dingin. Sementara Is'nt This A Lovely Day tentang siklus hidup manusia, dari kelahiran hingga kematian dan keabadian jiwa.

Ngomong-ngomong saat menonton kami duduk tepat di belakang Riri Riza, sempat melintas pikiran untuk memaksanya memberi peran sebagai pasangan Nicholas Saputra entah di film apa, tapi untung saya tidak sedang berada dibawah pengaruh alkohol dan tersadarkan dalam sekejap. 

EM preparation
Kemarin malam, Rabu 22 Oktober 2014, saya dan kakak betulan datang lagi untuk menonton konser Ensemble Modern (EM). EM ditampilkan oleh lima musisi. Mereka memainkan komposisi karya Pierre Boulez, Nicholas A. Hubber, Helmut Lachenmann dan komposer lainnya. EM adalah kelompok musik kamar yang berpusat di Frankfurt. Penampilan mereka yang unik dan berbeda berupa teater musikal, proyek tari dan video, musik kamar dan konser okestra.

Ketika sampai di lokasi, Pak Tony yang melihat saya datang langsung menyambut, rupanya beliau masih ingat (saya jadi GR sedikit) dan tetap menawarkan tiket gratis padahal kami sudah terlanjur beli (yaaaah pak telat heheu). Konser EM sekaligus sebagai penutup Festival Salihara kelima, anehnya tidak ada seremoni maupun fringe events hari itu. Rupanya setelah selesai menikmati konser, para tamu diundang untuk makan malam bersama di roof top bersama para musisi dan pekerja seni yang ikut menonton hari itu. Kami bebas berinteraksi dan bertanya apa saja pada orang-orang hebat itu, bahkan seluruh pemain Budrugana Gagra pun turut hadir malam itu. 

EM sendiri memang hal baru untuk telinga saya. Jujur saja pada salah satu penampilan, saya sempat mengantuk dan hampir tertidur. Udara dingin sekali dan saat itu pukul sembilan malam, plus saya belum paham cara menikmatinya. Tapi saya belajar banyak (atau sedikit). Bahwa kadang seni tidak bisa dicerna dengan kepala telanjang. Mungkin mengapa melihat pertunjukan seni membuat makin peka, adalah karena justru untuk menikmatinya dibutuhkan kepekaan. Peka bahwa keindahan bisa jadi datang dari bunyi-bunyian yang menggangu. hahaha entahlah, saya cuma sok tahu, ingat saya masih tetap insan-buta-seni. Yah barangkali ada yang berniat membuka mata saya agar tidak terlalu buta dengan mengajak ke pertunjukan-pertunjukan lain-> kode, iyah ini kode hahaha.

Mata Jiwa Performance

roof top dinner as closing ceremony




0 comments:

Post a Comment

What do you think?