In Memories

Tengah Malam yang juga Fana

Seharusnya saya tidak menulis dalam keadaan sentimental begini. Apalagi hari sudah larut malam. Akal biasanya berpamitan istirahat  dan perasaan mulai sibuk ambil alih. Kasihan akal, kelelahan menentukan nominal dan moral seharian. Catarsis, anggap saja begitu. Silakan wahai perasaan yang sentimental kamu boleh sentimen pada hal-hal remeh temeh kali ini. untuk kali ini saja. Seperti pada tolakan halus temanmu saat kau ajak mengikuti suatu acara. padahal halus, tapi menurutmu yang sedang sentimen bentuk penolakan saja sudah kasar. Mungkin begitu jika terbiasa dituruti semua keinginannya. katanya kan love without depending, ketika sudah tergantung namanya bukan lagi cinta tapi ego. Sebuah kebiasaan bisa menjurumuskan karakter yang fitrahnya suci menjadi tak tahu diri, pun sebaliknya. Maka mungkin itulah perubahan menjadi begitu urgen.

Ritual membeli sepatu NB (New Basket abal2) tiap lima bulan sekali (karena sepatu abal-abal hanya bertahan 5-6 bulan) bersama teman-teman SMP di pasar dekat rumah sudah menjadi memori sendiri. Memori ini menguak saat melihat pasar sedang diruntuhkan. Mungkin kini peraturan SMP sudah tidak seperti dulu hingga siswanya bisa bebas memakai sepatu warna warni yang berkualitas. Tapi kenangan menyikat hanya bagian depan dan pinggiran putih agar sepatu tampak bersih tanpa dicuci, atau kebiasaan merekatkan pinggiran putih yang terkelupas dengan lem fox tidak hilang hingga kini. Saya mengamati pasar yang kini berupa reruntuhan. Rasanya perubahan memberi sepi tersendiri.

Teman saya, sebutlah si D, bapaknya adalah juragan angkutan kota alias angkot sekaligus anggota DPR. Anak ini bolehlah dibilang berada. Tapi yang tersimpan di laci-laci cerebrum saya adalah kesederhanaan dan keluguan teman saya ini. Ketika kami hendak berjalan-jalan bukannya membawa mobil, D justru membawa salah satu angkotnya dan jadilah kami berekreasi menggunakan angkot. Pernah suatu ketika D menyukai seorang gadis di kelas sebelah. D hanya berani memujanya dari jauh. Caranya? menuliskan nama sang pujaan dihimpit kata  "Neng" dan "Geulis" di belakang kaca salah satu angkotnya . Manis dan norak dalam satu paket. Kini D sudah besar seperti saya, kedewasaannya melebihi kedewasaan saya. D sudah menikah dengan gadis yang lain. D sudah  tahu caranya berpakaian necis dan menggunakan mobil yang berprestise. D mengikuti jejak bapaknya menjadi anggota DPR. Saya tidak tahu apakah di salah satu angkotnya masih ada tulisan "neng geulis", tapi yang jelas D sudah berubah. Perubahan yang terkadang membuat kita disambar rindu. Rindu dengan D yang sederhana dan lugu.

Tapi kan bukan hanya pasar dan D yang berubah. Kamu Saya Mereka hari tanggal musim semua tidak ada yang statis. Kalau masih heran dan mengeluhkan perubahan mungkin artinya kamu betul-betul perlu berubah. 

Meskipun ada hal-hal yang didoakan untuk tidak berubah. Misalnya kebersamaan keluarga yang makin tua penghuninya, makin mahal waktunya.
atau kebiasaan mama memasakan makanan kesukaan tiap kali pulang ke rumah(campuran antara ego dan cinta). Walaupun didoakan bagaimana pun juga, toh sama saja. Ketika mulai dewasa saya mulai  paham konsep keabadian sejatinya milik Tuhan saja sementara kita adalah lakon hidup yang fana.  Doa pun berubah menjadi permohonan agar diberi kesiapan saat terjadi perubahan, kita tidak lagi berusaha menyangkalnya sekarang.

Sentimen saya yang berujung melantur ini (dengan dalih catarsis sekali lagi) pun hanya rasa yang fana. Masalah-masalah yang(seolah-olah) kamu pikul sendiri sampai carut marut tahunya fana juga.

Beruntung sekali kalau begitu.

0 comments:

Post a Comment

What do you think?