In Memories

Meninggalkan Posko Kuning

Bapak berusia 40 tahunan itu meneruskan wejangannya. Cerita diawali dengan informasi kedapatan dana dari pemda.  Dana yang tidak bisa dialokasikan untuk sekedar ATK atau keperluan RT. Dana yang hanya akan cair jika ditujukan untuk kegiatan yang bermanfaat untuk seluruh warga. Taman Baca kami memenuhi persyaratan. Taman Baca kami dijadikannya sasaran.

Memang benar politik bukan hanya urusan pemerintah dan orang-orang ‘di atas’. Politik terjadi dimana-mana. Bahkan urusan Kasur pun dipenuhi permasalahan politik.  Politik kelas teri macam begini pun bisa terjadi di Taman Baca yang saban sabtu dipenuhi anak-anak kecil yang gemar mewarnai dan bernyanyi.

Bapak pengurus RT itu belum mengakhiri ceritanya, sementara mulut kami telah rapat dari tadi. Meskipun masing-masing kepala punya suara yang ingin dimuntahkan, tapi perlu ditahan, perlu menahan.

“Jadi menurut adik-adik disini kebutuhan di sini apa saja? Lemari? Papan tulis? Kipas angin? Piring perlu yah buat makan-makan, dispenser yah..”

Sudah setahun lebih Taman Baca berjalan.  Telah banyak orang-orang baik yang membantu, mulai dari perusahaan penerbitan, para relawan lain, hingga mantan preman sekitar yang rela merogoh kocek tidak sedikit. Mulai dari koleksi buku, lemari, alat tulis, hingga makanan ringan untuk anak-anak. Tapi baru kali ini bapak yang berwenang berkenan juga untuk melirik. Kini ketika kami telah memiliki prioritas yang berbeda dan sepakat untuk hengkang, kami malah ditawari piring dan dispenser.

“Dananya hanya bisa untuk Taman Baca, padahal saya ajukan untuk ATK, Meja, kursi di kantor RT tapi ya tidak bisa.” -Dananya harus dapat, dananya harus dapat.

“Tapi kan harus ada pertanggung jawabannya toh, jadi kira-kira habis lulus dari sini anak-anak sudah ada hasil? Sudah bisa baca tulis?Ada sertifikat? Ada rapot?.”

Kami mengawali Taman Baca dengan visi meningkatkan minat baca, melawan gadget dan televisi yang sudah mudah diakses bahkan oleh anak kecil. Sasaran kemudian beralih lantaran permintaan warga karena banyak balita yang perlu sarana bermain sambil belajar bersama. Tapi tetap saja memaksakan balita membaca dan menulis seperti mengeluarkan kupu-kupu dari kepompong dengan paksa.

“Jadi kalau anak-anak sudah bisa baca,  saat masuk SD gurunya enak, ga susah mengajarkan lagi, orang tuanya juga enak.”

“jadi LSM I** kan? yang diketuai oleh Pak A kan? Sudah berkontribusi apa saja?”

Tidak ada yang bersuara diantara kami. Kami patah hati.





0 comments:

Post a Comment

What do you think?