In Fiction

Kakakku yang Pemberani

kamu yang mengayuh sepedahnya, aku yang memegangi ujung kausmu sambil bernyanyi. Di sela laguku aku sempat bertanya
'lalu kita tidur dimana ?'
di sela kayuhan dan isakanmu, kamu sempat menjawab
'mungkin di masjid'

Aku meneruskan laguku, tanganku tetap memegangi ujung kausmu, kayuhanmu memelan. Apakah kamu sudah letih atau karna sedang berduka, aku tidak yakin. Tapi dari arah kayuhan sepedahmu yang tidak menentu, sepertinya kamu tidak tahu akan membawaku kemana, membawa kita pada siapa.
siapa?
di sela laguku aku sempat bertanya
'lalu siapa yang akan menjadi orang tua kita?'
di sela isakanmu yang sekarang mulai tidak terdengar lagi, kamu sempat menjawab
'tidak tahu' 'mungkin kita bisa meminta bantuan presiden'
di sela laguku dan tangismu, aku tertawa. Kakakku sejak kapan kamu menjadi begitu bodoh, apakah duka memakan akal sehatmu juga? tapi tentu tidak kuutarakan, kakakku sedang berduka, maka aku melanjutkan laguku.

Bapak mengajarkanku untuk tidak pernah bersedih, mungkin bapak lupa mengajarkan kepada kakak, mungkin kakak yang lupa pelajaran Bapak. Apakah kita berdua juga akan lupa wajah Bapak?. Kalau Bapak, mungkin sudah lama lupa wajah kami.

Kakakku, dia berhenti mengayuh, mau tidak mau aku berhenti bernyanyi. Kami berhenti di depan warung tenda yang sudah sepi. Kakakku, setelah mengusap wajahnya, barulah ia berani menoleh padaku, padahal garis air mata sepeti aliran sungai kering masih tampak jelas di wajahnya yang cemong oleh abu, abu ibu kami.

'Kamu lapar tidak?' dia merogoh-rogoh saku celananya, kakakku lupa, saku celananya berlubang, kakakku juga mungkin lupa, ia tidak pernah menaruh uang di dalam saku celana. karena dia tidak pernah punya uang. 
'tidak, aku mengantuk' aku tidak berbohong, aku hanya pura-pura lupa kalau aku sedang sangat lapar. Aku memandangi wajah kakakku, mencari-cari artian lapar di wajahnya yang berabu. sekali lagi abu ibu kami. Ibu kami menjadi abu, apakah kalau aku memandangi abu ibu kami, ibu kami akan menjadi tidak lagi abu? kakakku sepertinya tidak berani mengelap wajahnya selain pada garis airmatanya. Ia sepertinya ingin abu ibu kami tetap ada disana. Ia tidak ingin kehilangan ibu kami. Apakah Ibu kami yang kini sudah menjadi abu, kehilangan kami?. Kami saling kehilangan.

Malam itu, aku akhirnya menemukan artian lapar di wajahnya, aku ingin juga menangis jadinya, tapi bagaimanapun aku masih ingat betul ajaran Bapak yang melarangku bersedih. Lalu apakah aku harus bersenang-senang sementara kakakku toh sudah menangis dari tadi. Kakak apakah laparmu seperti laparku? kantukmu seperti kantukku? karna sungguh aku ingin tidur saja.

'sabar dulu, didepan ada masjid' 
di masjid ada makanan? di masjid ada bapak dan ibu?
aku tidak bodoh, aku hanya berharap kakakku yang sedang kalut bisa membodohiku kali ini saja.
Kakakku yang mengayuh sepedahnya, aku tidak lagi memegangi ujung kausnya, aku memeluk perutnya, aku ingin mengganjal perutku dengan perutnya, perut kita kedinginan kalau tidak disatukan.
kakakku mengayuh pelan saja, aku bernyanyi kencang-kencang. aku memeluk kakakku pun dengan kencang. Kakakku sudah tidak menangis lagi. Dia ikut bernyanyi bersamaku,suaranya serak dan berat, kata Ibu, kakakku  baru menjadi remaja, dan setiap remaja laki-laki, suaranya berubah menjadi serak dan berat. Kata Ibu yang kini sudah menjadi abu, kakakku adalah anak kebanggaannya, sementara aku kesayangan Bapak dulu. dulu, karena kalau kini Bapak sudah lupa pada kami. 

Kakakku pemberani, Sementara aku pengecut dan hanya bisa bernyanyi dibelakang pundak kakak.
Kakakku yang pemberani, memberanikan diri menghanguskan rumah Bapak tadi sore, yang ternyata telah pergi bertahun-tahun lalu, karena bapak memang sudah lama melupakan kami. Ibuku yang hatinya lembut dan pengecut seperti aku, mencoba menghentikan kakakku dan dendam kesumatnya pada Bapak. Bapak yang ternyata sudah lama pergi. Ibuku yang lembut menjadi abu karena kakakku sangat berani.

'kak, aku mengantuk'.




0 comments:

Post a Comment

What do you think?