In

Pengalaman Hipnoterapi... Part 1


Aku datang dengan pikiran naif: semua masalah akan selesai hari itu. Tak ada lagi dendam, amarah yang dipendam, dan aku akan menjadi super percaya diri.


Dari yang aku baca di beberapa highlight Instagram tempat hipnoterapi ini, teknik ini bukan hanya melepaskan emosi-emosi yang tak diharapkan, tapi juga "menginstall" program baru agar lahirlah kita si "new me, better me".

Tapi ya tentu tidak sesederhana itu.

Saat aku tiba, Mbak Mala, terapis dari Menatar Bawah Sadar, sudah duduk menunggu di suatu sofa. Kita berbincang-bincang dulu sebelum ke ruangan terapi. Mbak Mala sepertinya ingin memastikan bahwa aku sudah punya tujuan dan harapan yang tepat dari proses terapi ini.

Singkatnya, aku ingin menjadi seperti apa/ apa yang ingin aku ubah dari diriku sendiri?

Apa pun masalah yang dihadapi, aku hanya bisa melakukan perubahan pada diri sendiri. Sekalipun rasanya masalah ini dari orang lain, tapi bagaimana kita merasakan dan memaknai "masalah" ini berasal dari pengalaman diri di masa lalu.

Jadi, aku ceritakan kekhawatiranku tentang ini dan itu dan kusampaikan bahwa aku ingin menjadi pribadi yang terlepas dari rasa amarah, dendam,  lebih welas asih, dan punya banyak keberanian untuk mengambil kesempatan-kesempatan dalam hidup.

Setelah kurang lebih 30 menit, barulah kami menuju ruangan terapi. Aku diminta berbaring di sebuah kasur lantai lalu mencoba relaks sebisa yang aku mampu.

Pada dasarnya, hipnoterapi ini dilakukan dengan mencoba "mengakses" area subconcious, yaitu area di antara concious dan unconcious. Di area ini banyak ingatan tersimpan dan mudah diakses.  Jika area consious adalah rumah untuk logika, di  sinilah pusatnya "rasa".

Untuk "menyelesaikan" masalah yang saat ini sedang aku hadapi, Mbak Mala ingin menemui  si kecil dalam diriku dan melihat bagaimana traumaku saat kecil dulu memengaruhi cara pikirku saat ini. Maka, singkat cerita, aku si kecil menceritakan satu pengalamannya yang paling kuat. Menyebutkan satu per satu orang yang dengan atau tanpa sengaja meninggalkan luka di hatinya.  Menggali ingatan tersebut dan mengumpulkan rasa amarah yang sudah ditabung sekian lama.

Setelah bertemu dengan si kecil, Mbak Mala ingin berbicara dengan si kebijaksanaan alias Wisdom. Wisdom adalah bagian dari diri yang melihat segalanya dengan lebih jernih. Maka, si Wisdom mencoba memahami dan menghayati tiap peran dari tokoh-tokoh yang dianggap pernah melukai si kecil.  Lalu, si Wisdom menyampaikannya kepada si Kecil dan si Kecil meneruskannya kepada aku, si Dewasa.

Lalu, kami menemui si Marah, "senjata" yang digunakan diri untuk melindungi si aku. Meski  punya niatan baik, si Marah tidak lagi relevan dan justru bisa membahayakan. Maka, sudah saatnya si Marah bertransformasi menjadi "senjata" lain yang lebih sakti, misalnya si Welas Asih.

Singkat cerita di akhir sesi terapi, kami pun menguninstall "program" yang sudah usang dan menggantinya dengan "program" yang baru. Program yang berisi konsep diri yang aku harapkan aku miliki.

Ibarat komputer, jika ingin menggunakan OS yang mutakhir, kapasitas memori wajib memadai kalau tidak mau berakhir lemot. Jadi, jika ingin menerapkan program atau nilai-nilai baru, pastikan menyediakan kapasitas yang cukup dalam diri. Caranya, bisa dengan "menghapus" dan menghindari banjir informasi yang tak perlu (hal ini bisa terjadi saat kita menggunakan media sosial secara tanpa kesadaran penuh), mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga (karena kesehatan fisik dan kesehatan mental itu berkelidan sehingga harus ditangani secara holistik).

Dan perbesar porsi  dan durasi otak atau pikiran dalam kondisi relaks sehingga kacamata yang dihasilkan jadi lebih jernih. Ini bisa diperoleh dengan rutin bermeditasi --> berkesadaran penuh dan  istilah Jawanya, bisa lebih "jejeg".

Apakah berhasil?
Jawabannya, belum tahu. Sebab, perubahan/pemulihan/penyembuhan atau apa pun namanya itu adalah sebuah kondisi bukan destinasi. Kita menjalaninya bukan berusaha "sampai" ke sana.

source image: pexels.com/ron-lach

0 comments:

Post a Comment

What do you think?