In Memories

Tidak selamanya berkata "Iya" itu baik

           Kelemahan saya dalam hal kesulitan mengatakan tidak secara gamblang, berakhir dengan terdamparnya saya di KL dan Singapur selama 3 hari 2 malam. Kenapa saya awali dengan kalimat seperti itu, karena sungguh awalnya saya tidak berminat sedikitpun pergi ke kedua tempat tersebut. Namun karena teman saya yang memang berkeinginan pergi mengancam tidak akan jadi berangkat kalau saya tidak ikut, maka kata 'tidak' yang saya pasrah. Maka, tanggal 30 Januari 2014 lalu, jadilah saya dan dua orang rekan kantor pergi ke Kuala Lumpur. Sungguh, jika ada pilihan lain dengan sejumlah waktu dan uang yang sama saya pasti akan lebih antusias kalau saja destinasi ke pulau-pulau indah di Indonesia. Tapi sudahlah, berhubung nasi sudah menjadi bubur, saatnya membuat bubur yang enak disantap.

          Agenda ke Singapura pada hari ketiga pun tidak direncanakan sama sekali awalnya. Kami memutuskan pergi ke Singapura karena pesawat yang kami tumpangi saat pulang mendadak harus transit terlebih dahulu di Singapur, jadi ketimbang menunggu selama 3 jam di Changi Airport saat transit. Kami pun memutuskan untuk mengulur waktu kepulangan dengan berjalan-jalan dulu di Singapura. 
                 
               Destinasi pertama kami adalah Batu Caves (sudah kehabisan ide harus kemana), kemudian pergi ke penginapan di Bukit Bintang, lalu tentu saja ke Twin Tower agar terasa sah ke KL hehe. Hari kedua kami ke Lego land di Johor Bahru yang jauhnya bukan main, 4-5 jam dari KL dengan Bis. Malamnya melanjutkan perjalanan ke Singapura yang hanya 30 menit dari Johor Bahru dengan Bis, walaupun harus berganti bis beberapa kali, melakukan proses imigrasi lalu sampailah di Singapura sekitar pukul 11.00 malam. 
              
               Ngomong-ngomong soal Legoland, selain mahal dan daerahnya gersang (banyak lahan yang belum dibangun karena arena masih baru), pun tidak ada permainan yang cukup menantang, mungkin karna Lego land memang dikhususkan untuk anak-anak. Lagi-lagi alasan saya kesana padahal bagi saya Dufan bahkan jauh lebih membuat puas, adalah karena saya tidak bisa menolak ajakan teman. *payah mode on*
Sampai di Singapura, menginap di dorm wanita, keesokan harinya berjalan-jalan, berhubung ini bukan kali pertama kami bertiga pergi ke Singapura, hingga tidak ada destinasi yang dikhususkan harus didatangi, jadi kami hanya belanja oleh-oleh sebentar di bugis, jalan-jalan di Marina Bay, lalu pulang.
               
                 Perihal ketidakmampuan saya mengatakan tidak dengan mudah yang berakibat perjalanan 3 hari ini (seminggu sebelum resign hehe) sejujurnya tidak membuat saya menyesal (terlepas dari ketidak puasan saya terhadap semua destinasi selama liburan) Tapi toh selama disana saya bisa senang-senang dan merasa senang. Lalu teringat obrolan dengan Mas Galuh selaku HR di kantor baru saya, yang tanpa saya cerita apapun sudah bisa menebak karakter saya yang (katanya) tertutup dan kesulitan menolak ini, justru menjadikan saya kurang pantas menjadi seorang pemimpin yang baik. Cukuplah percakapan itu yang tadinya saya merasa aman-aman saja jadi harus serius merubah kelemahan yang satu ini.

Seperti teguran halus teman saya dulu "Tidak selamanya berkata "Iya" itu baik!".

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Memories

Sebuah Epilog.

             Rasanya sudah ratusan hari tidak menggunakan kata-kata untuk merangkai kalimat apapun, boro-boro menjadi sebuah cerita (seperti yang sudah diagendakan selama ini), bahkan sebuah puisi singkat pun tak kunjung dibuat. Kalau dicari-cari alasannya, saya sasarkan rasa jengah ketika setiap menulis, akan menjelma menjadi kisah yang kamu sebagai pemeran utamanya. Kalaulah itu cerita pendek pastilah diawali harapan-harapan naif  tentangmu, pun jika itu sebuah puisi jadilah kata-kata mendayu yang terbaca cemas dengan jelas. yah, saya jengah jika harus menulis sambil mengingatmu secara bersamaan. Kemudian saya pun berhenti menulis, berharap dengan begitu saya jadi berhenti pula berpikir dan mengingat hal apa (yang tentang kamu) yang akan saya tulis. 

              Tapi rupanya perasaan padamu persis air bah yang bagaimanapun usaha saya menahannya, akan tumpah juga. Entah mengapa pada kisah yang stagnan bisa banyak kata (atau rasa) yang berdesak-desakan. Kemudian, saya pun mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca, tapi ah kegemaran saya terhadap cerpen-cerpen pada media cetak, malah menjebak dengan cara lain. Kisah sederhana khas cerpen koran malah mengingatkan saya pada kisah kita yang tidak mewah namun tetap merasa berkecukupan, paling tidak untuk saya. Maka ah, saya akhirnya punya ide lain, seperti halnya air bah, saya biarkan saja ia tumpah, menggenang, banjir, lalu menunggu sampai surut dan barulah saya bersihkan sisa-sisa lumpurnya, agar dapat saya bangun rumah baru yang anti banjir. Begitulah praktisnya menurut saya. 
      
          Bah ini bermula ketika kedatanganmu beberapa bulan silam. Mungkin perasaan kagum memberi kemudahan membuat prolog baru denganmu. Bagi saya sempurna bukan ketika semua hal terjadi sesuai kehendak, namun ketika pada segala hal kita merasa cukup, dan denganmu segala sesuatu terasa tercukupkan. Tidak melebih-lebihkan hati maupun mengurang-ngurangi rasio. Tapi entah karena apa, teori kecukupan ini hanya ada pada pemahaman sempit saya semata. Hingga (mungkin) padamu, perasaan kekurangan (atau berlebihan) ada dimana-mana, dihatimu yang mengharapkan ketenangan, juga di akalmu yang mencari-cari Tuhan.

           Ada masanya sepeninggalanmu, perasaan tetap dekat membuat saya merasa seperti tidak berpisah, tapi ah ternyata , pikiran adalah satu-satunya sebab yang membuat saya merasa dekat. Faktanya, kita berjauhan sejauh jarak sebenarnya, sejauh dua akal yang enggan saling mengenang. Saya pun melakukan perjalanan yang kilometernya ratusan, berharap dalam ketersesatan saya menemukan. Tapi benarlah tidak mungkin bisa menemukan tanpa tahu sedang mencari apa, selagi alam bawah sadar saya masih berandai-andai kamulah temuannya. Hingga sadarlah saya, perjalanan fisik tidak cukup ampuh kala pikiran tetap pada titik yang sama, stagnan. Lalu pernah pula saya menunggu. Persis barang titipan yang menunggu diambil pemiliknya, saya tidak mengizinkan diambil siapapun selain kamu. Saya diam seperti semula, sabar sekaligus cemas, cemas karena umumnya manusia  tidak tahu apa yang ia miliki.

        Bagaimanapun juga, seperti tujuan semula setelah tumpah bah ini, lalu menunggu sebentar hingga surut, sekaranglah saatnya saya bersihkan lumpur-lumpur yang terbawa dari selokan dan genangan. Saya tidak (ingin) menyangka bahwa pada tawa dan senyum ada pula bau bacin dan pesing yang tersirap dari sisa-sisa kebanjiran ini. Saya pun merasa perlu berjinjit dan menggulung celana agar tidak terkena jentik penyakit dari banjir rasa ini. Saya rasa sudah cukup bulan yang terpakai untuk membiarkan lumpur ini mengering dan meninggalkan bau yang pekat. Sudah saatnya, saat ini juga saya bersihkan, Walaupun akan menghabiskan banyak cairan karbol dan kain lap dadakan dari sisa pakaian bekas. Sungguh saya pun ingin cepat-cepat mendiami tempat yang bersih, kering dan wangi. Saya harap karbol yang saya beli di jejeran produk diskon di  swalayan tadi ampuh mengusirmu jauh-jauh. 

Sejauh akal yang enggan mengenang.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments