In Fiction

Yang Berakhir di Tempat Sampah.


Saya memungutnya ketika ia buang surat ini di tempat sampah, lemnya masih merekat, membaca pun tidak sudi rupanya.

Saya tidak tahu caranya menulis dengan baik untuk kau baca, saya tahu kamu sudah tahu itu, mungkin karena saya tidak gemar membaca sehingga saya tidak mampu menulis dengan baik. Seperti fungsi indra pendengaran yang bisa lumpuh ketika mulut tidak terbiasa berbicara. Tapi menghubungimu melalui media lain tidak terlihat mungkin bagi kita. Terakhir kali saya melihatmu adalah dari foto profile situs jejaring pekerjaanmu. Kamu pasti memergoki saya melihat profilemu, saya baru menyadarinya setelah beberapa kali melihat. Saya tidak ingin menggangu, saya hanya penasaran keberadaanmu setelah meninggalkan kota tempat kita sama-sama pernah tinggal. Tapi hasilnya nihil, mungkin kamu tidak sempat membarui data pada profile kamu itu, atau mungkin dengan sengaja tidak kamu perbarui apalagi setelah tahu saya beberapa kali melihatnya.

Saya tidak tahu lebih besar mana rasa bencimu atau rasa tidak pedulimu saat ini. Saya memang tidak pernah meminta maaf semenjak terakhir kali saya acuhkan banyak panggilan telepon yang masuk darimu, juga pesan-pesanmu hanya saya baca sambil lalu, beberapa hari setelahnya pasti kamu kaget melihat foto saya di facebook bersama  wanita lain, yang tidak kamu kenal sebelumnya. Jadi wanita yang sebelumnya kamu curigai justru tidak ada hubungan apapun dengan saya. Kamu pasti kecewa menyangka kamu luput dalam hal ini, kamu gagal mengawasi saya, kamu gagal memiliki saya dalam arti sebenarnya.

Seperti yang sering kamu lakukan, kamu pasti menangis dan mencari tahu wanita yang dalam gambar sedang kurangkul pundaknya itu. Ternyata rasa penasaranmu lebih kuat dari rasa sakit hatimu itu, saya menerka ini ketika tiba-tiba wanita dalam gambar memberitahu saya bahwa kamu telah menghubunginya. Kamu tidak mencari masalah, kamu hanya sedang linglung dan bertindak dalam pengaruh emosi, kamu sentimental seperti biasa. Pesanmu untuk wanita dalam gambar adalah melepaskan aku dan membiarkan kami bahagia, sama sekali tidak kami hiraukan, kami pikir kebahagiaan bukan  pemberian dari siapa-siapa. Lagipula kami telah bahagia jauh sebelum kamu izinkan.  Saya tahu saya telah menjahatimu. Maka ketika akhirnya saya bulatkan niat untuk melepasmu artinya saya sedang berbuat baik padamu, maka ketika kamu merengek untuk kebersamaan, saya tidak peduli, jangan halangi saya ketika saya ingin berbuat baik. 

Saya pun tahu sore itu kamu menunggu di pelataran Alfamart, tempat biasa kamu turun dari bis, dan saya datang menjemput untuk mengantarkanmu ke kosan yang tidak jauh dari rumah saya. Pada pesanmu yang saya abaikan itu, salah satunya berkata bahwa ada pasta kesukaan saya yang telah disiapkan ibumu, lengkap dengan saus jamur dan udang pedas, sengaja kamu sisihkan untuk diberikan untuk saya. Ah tapi sore itu saya tidak datang, sengaja tidak datang. Saya menidurkan diri sampai dibangunkan oleh adzan magrib. Panggilan terlewatkan darimu sudah puluhan, chatmu sudah berbaris-baris, pesanmu tak kalah banyak. Saat kamu menelepon lagi dan akhirnya saya berkenan mengangkat. Suara paraumu bertanya mengapa saya tidak kunjung datang, dengan suara mengantuk saya bilang saya tidak akan datang menjemputmu, ada tukang ojek dan angkot, naikilah yang mana saja. Kamu ingatkan saya tentang pasta yang kamu bawa, saya menutup telepon lalu mematikan handphone. Saya tidak tahu berapa lama kamu menunggu disana, kamu terlalu naif  jika menghabiskan berjam-jam  untuk  sepotong penolakan yang lantang. Itulah terakhir kalinya kamu mengirimi saya pesan.

Saya pun tidak pernah berniat mengirimi kamu pesan atau bahkan mengucapkan selamat ulang tahun padamu setahun yang lalu. Bukan salah saya kalau dulu kamu mencintai orang yang salah, mencintai saya. Barulah ketika kemarin sebuah surat membuat saya merasa harus mengutarakan semuanya. Karena sekarang saya yakin kamu sudah bahagia, paling tidak dari figurmu dan lelakimu di sampul undangan itu, senyummu lebar, melebihi wajah sumringah saat saya ajak balapan makan cheesecake dulu. Kamu bahagia. Syukurlah, dengan begitu perasaan bersalah yang bercokol di hati saya akan luntur perlahan. Toh kamu tidak membutuhkan ucapan maaf, maka saya tidak akan meminta maaf.

 Saya pernah mencintaimu sama dalamnya dengan dirimu mencintai saya, kalaupun dulu kamu yang mengkhianati saya dan bukannya saya yang melakukannya, saya mungkin tidak akan marah padamu, karena mencintai bukanlah perintah darimu, adalah pilihan yang sudah saya pahami konsekuensinya sedari awal. Kita memilih, manusia punya hak memilih,. Kala itu saya memilih untuk tidak lagi memilihmu dan tidak membiarkan dirimu memilih saya, saya harap dengan teori saya tadi kamu dapat mafhum sekaligus maklum.

Ngomong-ngomong, saya tidak mengenal laki-laki dalam gambar undanganmu itu, tapi dari matanya saya tahu dia cerdas, kamu selalu mengharapkan punya kekasih cerdas bukan? Kamu bisa ajak dirinya berdiskusi tentang banyak hal, kebanyakan tentang hidup yang kamu pikirkan terlalu banyak, bagiku pembicaraan yang terlalu filosofis  membuat pening. Apa enaknua mempunyai kekasih yang tidak bisa diajak melakukan apa saja? Maka ketimbang membenciku, kamu lebih patut mensyukuri pengkhianatan itu.

Semenjak terkahir kali kita berkirim pesan itu, saya sama sekali tidak tertarik menghubungi atau mencari tahu tentangmu, hidup saya sungguh bahagia, pacar baru saya itu pintar dan paham kesukaan saya bermain game online, dia juga sibuk sehingga tidak mempunyai waktu untuk menanyai saya macam-macam, untuk hal remeh seperti sudah makan atau belum. Seperti yang lumrah kamu lakukan. Bukankah dulu kita seperti napi dan sipir, kamu mengekang saya di dalam sel tahanan lantaran tidak memiliki kepercayaan pada saya sedikit pun. Saya yang merasa jengah, justru merasa pilu dan ingin menentang rulemu itu.

Apakah sudah kamu letakan kepercayaan pada pundak calon pengantinmu itu?.    

. Saya ingat bertapa bawelnya kamu dulu masalah kesehatan, saya harus makan buah ini sayur ini tidak boleh itu dan itu, semoga laki lakimu itu penurut sehingga tidak sering membuatmu kesal seperti saya dulu

Pada akhirnya terlepas dari kebencian yang membara saat kita saling melepaskan, semoga bara itu telah dipadamkan oleh kehadiran lelakimu itu. Percayalah sebagai laki-laki, melihat matanya di gambar, sudah dapat kunilai dia laki laki baik. Saya turut bahagia atas kebahagianmu. Sebenarnya undangan yang sampai di tanganku ini sudah cukup menjadi bukti bahwa kamu telah memaafkan saya bukan? atau bisa juga bukti lain kamu hendak menunjukan bahwa kamu telah bahagia dan bukan dengan saya, tapi sepengetahuan saya kamu tidak sepicik untuk kemungkinan yang kedua.

Pernah suatu ketika saya melihat wajahmu di salah satu media cetak, saat itu ingin buru-buru saya hubungi kamu mengucapkan selamat, tulisanmu memenangkan salah satu perlombaan besar nasional. Tapi kemudian saya ingat suara tawa saya ketika dulu sempat kamu katakan kamu ingin memenangkan lomba itu, sambil lalu saya membaca tulisanmu yang kamu paksa saya untuk memberi review, saya tertawa. Ternyata saya sadar sekarang tawa bisa jadi bentuk kegagalan menangkap makna, singkatnya bentuk kebodohan yang lain. Jadi saat itu saya urungkan niat mengucapkan selamat untukmu, ah kalaupun pada akhirnya saya hubungi kamu lagi dulu, saya hanya akan menjadi pencegah kebahagiaanmu sekarang, kamu pasti akan mudah saya rayu lagi untuk diajak bersama, tapi lagipula saat itu saya masih bersama dengan wanita pada gambar itu.

Wanita saya gadis yang cerdas dan periang, kira-kira sama seperti dirimu jika tidak sedang mengomel karena saya tidak mengabarimu dan malah bermain game sampai malam. Tapi wanita ini sama sekali tidak pernah mengomel sepertimu, ia tahu cara membuat nyaman. Saya mencuri ide-idemu dulu untuk saya, kini dilakukan bersama wanita dalam gambar itu, seperti mengajaknya ke planetarium, taman kota dan hal-hal seperti itu, idemu bukan?. Kami menertawakan banyak hal dan tertawa bahagia, saya pikir saat itu kami cukup bahagia. Mungkin pada saat yang sama matamu sedang sering merah dan berair, apakah kamu masih cengeng seperti dahulu?

Ah, saya tidak tahu apa saja yang telah berubah pada dirimu. Sebatas yang saya lihat kamu telah bahagia dan berhasil meraih mimpi mimpi kecilmu itu, salah satunya mimpi besar, menikah di usia 23 memang mimpimu bukan? yang tadinya menjadi urusanku 2 tahun silam. Saya kan pernah bilang, saya tidak punya rencana untuk menikah dalam waktu dekat, bersyukurlah saya tidak lagi memaksamu untuk memaklumi melulu dalam sebuah kebersamaan, lihatlah dengan begitu mimpimu tercapai bukan?

Esok itu kamu akan menikah, salah satu alasan saya menulis surat ini adalah karena mungkin saya tidak akan datang, meskipun saya ingin melihat bagaimana mimpimu diwujudkan dengan orang lain, seperti apa lelaki yang sabar menghadapi omelan-omelanmu, seperti apa lelaki yang gemar kamu ajak diskusi hal hal tdak penting. Ah saya tidak tahu kalau selang jni sangat tidak nyaman dan membuat sulit menuliskan surat ini padamu. Mungkin  ini hal terbesar yang saya lakukan untukmu, lihatlah pengorbananya? tangan saya terus saya paksakan bekerja walau rasanya ngilu sekali, anggap saja ini hadiah pernikahanmu, persembahan terakhirku darimu.

Saya jadi ingat saat saya sakit, kamu akan izin pulang cepat dari kantormu, menaiki angkutan umum , tiba di pintu kamar sambil terengah-engah, tidak membawa apa apa karena kamu jarang memiliki uang, tapi kamu mencari cari cara menyamankan saya sampai ujung waktu besuk dan kamu disuruh ibu saya pulang karena sudah malam, begitu terus sampai saya keluar dari rumah sakit, setelahnya saya tahu kamu ditegur atasan karena selalu izin pulang cepat dan bekerja dalam keadaan mengantuk, mungkin kamu kelelahan. Saya menertawakanmu saat itu, tidak saya minta kamu melakukan semuanya, tapi kamu hanya tersenyum, katamu kamu puas karena sudah melakukan hal yang semestinya.

Saat ini tidak ada yang datang tersengal-sengal di ujung pintu , tidak ada yang berusaha menyamankan, mungkin karena a. kamu tidak tahu atau b. kamu tidak lagi peduli.

Berbahagialah, dengan begitu saya bersyukur telah melepaskanmu.

Rupanya memang hanya sebuah sampah, buru-buru saya buang kembali ketika suara Raya memanggil. Pengantin saya sudah menunggu dengan gaunnya yang indah.



0 comments:

Post a Comment

What do you think?