In Thought

Tentang Tiga Pembunuh

Mengutip pernyataan Dr. Ibrahim Elfiky tentang tiga pembunuh yang sempat dibahas dalam bukunya, Terapi Berpikir Positif. Tiga pembunuh ini antara lain : Mencela, Mengkritik dan Membanding-bandingkan.
Saya sengaja memakai istilah tiga pembunuh, karena ketiganya mengandung racun seperti bisa ular yang masuk dalam aliran darah kemudian mematikan.
Saya hanya akan membahas salah satu pembunuh yang rasanya sedang sering saya alami baik disadari maupun tidak : Membanding-bandingkan. Tanpa saya sadari saya sering sekali membanding-bandingkan kondisi saya dengan orang lain atau bahkan dengan diri saya di masa lalu. Terlebih di era media sosial dimana dengan sengaja atau tidak kebanyakan penggunanya 'menunjukan' pencapaian mereka atau kondisi mereka yang berupa-rupa.



Melalui media sosial kita dengan mudah tahu ada Si A yang sudah berhasil mencapai mimpinya, si B yang sudah bahagia dengan keluarga barunya, si C yang melanjutkan studi di negri lain, si D yang telah sukses menjadi editor di salah satu perusahaan penerbitan, dan lain-lain yang (sepertinya) telah sukses dengan definisinya masing-masing.

Media sosial dengan gamblang memaparkan kisah teman-teman saya ini. Ada rasa tidak aman pada diri saya yang terusik ketika melihat orang lain sudah mencapai satu hal dan saya belum. Biasanya kalau sudah jengah, saya menguninstall semua aplikasi medsos ini dari handphone saya dengan dalih lebih baik tidak tahu. Hahahahahaha. 

Padahal yang salah bukan pencapaian teman-teman saya, tapi pikiran saya yang kelewat sempit. Beruntung saya diingatkan teman saya melalui buku Terapi Berpikir Positif ini. Tidak salah 'membanding-bandingkan' diikutsertakan dalam tiga pembunuh karena alih-alih membuat saya termotivasi, saya justru merasa ciut dan dilingkupi banyak pikiran negatif. 

Saya jadi teringat perkataan Mba Ayu Utami di tengah-tengah penjelasannya di kelas. Menurut beliau selama ini kita hanya mengetahui hal-hal di permukaan saja. Apalagi jika hal yang kita ketahui bersumber dari media sosial. Bukankah orang-orang sudah membuatnya sedemikian apik agar terlihat mengesankan? Memilih foto yang terbaik untuk diunduh di instagram, Menyiarkan aktivitas atau lokasi yang menurut mereka cukup keren untuk disebarluaskan di path, Menyusun kata-kata yang menarik untuk dijadikan kicauan di twitter. Jelaslah jika orang-orang ini tampak menikmati hidupnya karena yang mereka 'perlihatkan' adalah hasil pilihan. Permukaan saja.

Saya tidak mengetahui pergulatan apa yang sudah dilalui orang lain yang mengantarkannya pada posisi mereka sekarang. Saya bahkan belum tentu bisa/mau untuk bertukar posisi jika sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kita semua punya pertarungan masing-masing, bukan?

Saya pribadi tentu bangga dan turut berbahagia untuk semua teman-teman saya. Kalian semua hebat dan menginspirasi. Tapi terlepas dari itu semua, ada hal yang jauh lebih penting untuk saya urusi yaitu mimpi saya sendiri. Saya tidak bisa mengubah masa lalu saya jadi toh percuma saja jika saya banding-bandingkan lagi, juga dengan orang lain. Tapi saya bisa mengubah pikiran saya dan mungkin mencuri ilmu dari kesuksesan teman-teman sehingga bisa mencapai mimpi saya sendiri.

Pikiran negatif akan menarik pikiran negatif yang lain begitu pula sebaliknya, pilihannya ada di tangan kita ingin mengembangbiakan yang mana. Pertanyaanya adalah apakah pikiran negatif memberi manfaat atau mudharat? 

Carpe Diem, Momento Mori.


0 comments:

Post a Comment

What do you think?