In Memories

Menyudahi Delusi

Begini segalanya bermula:

Kamu membuatku tertawa. Apakah karena aku mudah merasa senang atau ketika pandangan kita bersirobok, matamu benderang dan kamu memang menyenangkan?

Baru kali ini kutemui manusia semerdeka dirimu. Kamu tidak sibuk berbusana citra. Tidak. Kamu menelanjangi dirimu dari kulit palsu untuk sekedar nilai manusia. 
Kamu merdeka.

Lalu, bang! Aku jatuh cinta. (ternyata lebih menggelikan menuliskannya ketimbang mengucapkannya)
Kita semua tahu menyukai seseorang itu menyenangkan. Bagaimana hanya dengan memikirkan, berandai-andai sudah membuat mata berbinar-binar, hati berdebar, dan  senyum menjadi kian lebar. Dan aku ingin bertemu, satu kali, dua kali, berkali-kali lagi.

Jatuh cinta memang semenyenangkan itu.

Lalu hati dan akal mulai berunding. Hati dengan rona kepayang, akal dengan kacamata kudanya.  Pertanyaan-pertanyaan terlontar tak terbendung. Ada tenggat waktu  untuk segera melampirkan jawabannya. Sebelum segalanya bertajuk terlanjur. Misalnya, Apakah agamanya sama, usianya setara, sukunya tidak bertentangan, pekerjaannya sepadan, prinsipnya tidak berlawanan, blablabla blablabla blablaba..

Kita semua pun tahu, semuanya adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Hanya saja beberapa jawaban belum tentu mudah diterima dengan lapang. Beberapa jawaban membuatmu merengsa dalam memutuskan.

Mengapa kita tidak bisa jatuh cinta saja dan menikmatinya hingga segalanya menjadi boyak, hambar. Mencintai tanpa pagar. Mencintai tanpa bertanya pantas atau tidak, mencintai cinta itu sendiri.

Ketika aku sedang asyik melengkapi essay pertanyaan-pertanyaan yang harus segera dikumpulkan kepada akal sebagai tim penilai. Seketika aku sadar tidak ada jawaban yang akan membuat akal terpuaskan.
Permasalahannya ada banyak; agama yang berbeda, usia jauh lebih muda, pekerjaan yang tak setara, suku yang bertentangan, dan sejumlah masalah yang diada-adakan agar hati memafhumi.
Tapi, aku jatuh cinta.

Kita saling tahu dengan jawaban yang kita punya, kita tidak akan pernah kemana-mana, hingga kita pura-pura tidak tahu kalau kita saling merasa. Itu cara paling mangkus menurut hemat kita.
Apakah ini pintar? Atau pengecut? Atau pengecut yang belagak pintar?
Ingatkah, jatuh cinta hanya bisa dipikul para pemberani? Berani jatuh untuk sekedar terlena dan melenakan.

Sesungguhnya persoalannya demikian sederhana, yang merumitkan adalah ketidakrelaan melesapkan renjana. Cinta. Aku ingin mengatakannya sekali saja, dan melihat tanda pada matamu yang jenaka.
Meskipun, tanda apapun itu tiada lagi gunanya.

Begitulah segalanya berakhir.

0 comments:

Post a Comment

What do you think?