Bandung, 2014
Apa yang
terlintas di benakmu saat mendengar kata perpustakaan?
Jika pertanyaan ini diajukan pada saya, ketika masih di
bangku sekolah dasar dulu, akan ada tayangan mobil besar berisi buku-buku, gelap
dan pengap. Kenapa mobil? karena dahulu sekolah saya tidak memiliki ruangan
khusus untuk dijadikan perpustakaan, sehingga mendapatkan bantuan berupa
perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling hanya ada setiap hari selasa,
apabila jadwal kami masuk siang, paginya kami disuruh mengantri di depan pintu
mobil yang sudah diberi tangga lalu masuk secara bergantian ke dalam mobil
untuk memilih buku yang akan dipinjam. Jangan bayangan kursi membaca yang
nyaman atau bahkan penerangan yang cukup. Keringat biasanya mengalir
deras seusai turun dari mobil pusling (perpustakaan keliling) itu.
Ketika beranjak SMP, saya sudah mendapati ruangan yang
disebut perpustakaan. Hampir seluruh buku yang saya ingat adalah buku
pelajaran. Penerangan ruangan tidak mumpuni dan setiap kali menyentuh buku, akan
ada sidik jari yang tertinggal sementara debu ditangan terbawa pulang.
Perpustakaan semacam ini tidak jauh berbeda dengan yang saya temui ketika SMA. Bedanya
ada pula koleksi majalah disana. Majalah remaja yang isinya kalau tidak tentang
cara berpakaian pasti hanya seputar acara musik dan film. Sementara perpustakaan
di SMA saya, lebih identik sebagai tempat mengerjakan tugas merangkum daripada
tempat membaca yang nyaman.
SD 11 Kampung
Melayu
Ada anak kecil menunggu di depan pintu. Duduk di tepian
lantai sambil melihat ke lapangan. Di belangkangnya satu ruangan di samping
kamar mandi masih terkunci. Selang beberapa menit terdengar derap sepatu yang sudah
dihapalnya, anak kecil itu dengan spontan menoleh. Senyumnya merekah
menghampiri ibu muda berseragam coklat.
“Ayo Ibu, Ayo buka pintunya”.
Ibu guru muda itu membuka pintu dan menyilakan masuk anak
kecil yang sudah tidak sabar. Setelah melepas sepatu sambil berdiri, anak kecil
itu segera masuk dan membuka tirai penghalang pada sebuah rak buku, melihat-lihat
sebentar lalu mengambil satu buah buku dan membawanya duduk di kursi panjang
berwarna merah disudut ruangan. Keningnya mengkerut lalu menutup buku tanpa
mengembalikannya ke rak.
“Jangan Jadi Komunis” begitu yang tertulis pada sampul
depan buku. Buku-buku sejenis tersusun rapi pada rak yang sama. Merasa
kebutuhannya tidak terpenuhi, anak kecil itu bergegas memakai sepatu dan pergi
ke kantin. Ibu guru muda sudah sibuk mencatat rekap data peminjaman di
belakang meja.
SD 01 Tanggerang Selatan
“ Waah Bukunya bagus-bagus banget.”
Sampul-sampul mengilat tersusun rapi di lemari besar
pada salah satu dinding di ruang perpustakan. Anak- anak memandangi takzim
seraya menujuk buku yang dibatasi kaca lemari.
“Baru beli ya
pak?” tanya gadis kecil berkuncir dua
bersemangat.
“Sumbangan dari Diknas.” Laki laki yang dipanggil pak guru tersenyum bangga, berdiri di belakang anak-anak yang masih melihat buku dari balik kaca.
“Sumbangan dari Diknas.” Laki laki yang dipanggil pak guru tersenyum bangga, berdiri di belakang anak-anak yang masih melihat buku dari balik kaca.
“Diknas baik sekali yah pak,” Seru salah satu anak laki-laki .
“Mau lihat pak, mau Baca!” Beberapa anak mengetuk kaca lemari dengan jemari.
Seketika ramai anak-anak lain berseru mengikuti bersahut-sahutan. Pak guru nampak kewalahan, diam-diam tanggannya buru-buru mengantungi kunci lemari.
“Jangan, tidak boleh nanti rusak, kalau mau
baca, buku di rak yang itu saja.” Tangan
pak guru menujuk rak-rak buku pada posisi berlawanan. Bibir anak-anak serempak
ditarik kebawah.
“Terus buat apa ditaro perpus pak?” Pak guru diam sejenak, memikirkan jawaban yang mampu
mendiamkan muridnya.
“Yah, pokoknya tidak boleh nanti rusak.”
SD 05 Jatinegara
Dua orang wanita berjalan mengikuti seorang bapak yang
masuk ke dalam sebuah ruangan. Ketiganya menuju meja yang diatasnya terdapat
papan panjang bertuliskan “Kepala Sekolah”
“ Silakan, Silakan.”
Kedua
wanita tersebut mengganguk patuh, duduk pada kursi berhadapan dengan kursi yang
telah lebih dulu diduduki pemilik ruangan, bapak Kepala Sekolah.
“Bagaimana? Sudah lihat-lihatnya?”.
Keduanya
serempak mengganguk menanggapi suara berat pak Kepala Sekolah.
“Mau tanya pak, Kenapa perpustakaannya
tutup yah pak?”
“Karena belum ada orang yang menjaga.”
Dalam hati keduanya merasa sangsi namun enggan menanggapi.
“Lalu, anak-anak tidak pernah membaca atau meminjam di perpus dong pak?”
“Yah
itulah, tidak ada yang menjaga.”
“Lalu buat apa ada perpustakaan pak?”
Ada nada kesal dan tidak percaya terselip tak sengaja
dari salah seorang wanita, lantas kemudian memaksakan senyum atas dasar sopan
santun.
“Karena kalau tidak ada perpustakaan, SD
ini tidak dapat akreditasi. Harus ada perpustakaan, syaratnya begitu mbak-mbak
sekalian.”
Tidak
jauh dari ujung pintu, dua anak kecil mengintip dan berusaha curi dengar,
sesekali berbisik saling menyampaikan apa yang terlewat dengar satu sama lain.
“Kalau kita yang jaga Pak, boleh?”
Bapak
kepala sekolah diam sebentar, memutar-mutar pulpennya di meja
“Hm.. perlu di bayar berapa?”
“Tidak pak, tidak perlu dibayar.” Wanita bekerudung hijau buru-buru menanggapi, kakinya
menyenggol teman di sampingnya dengan kesal.
“Kalau begitu kalian siapkan proposalnya,
nanti dilengkapi tanda tangan ketua RT sini, nanti bapak kenalkan, lalu minta
surat izin dari kelurahan….”.
Keduanya
segera mencatat apa-apa yang dititahkan, seraya menggangguk meski ada kesal
yang terbesit. Mengapa birokrasinya harus serumit ini hanya untuk menjaga
sebuah perpustakaan. Setelah berpamitan dan meminta izin untuk datang kembali
pekan depan, keduanya keluar ruangan disambut dua anak kecil yang sedari tadi
mencuri dengar.
“Ka, Kita mau dong perpustakaannya dibuka.”
“Iyah
ka, kita mau baca buku ka,” Temannya menimpali, berahut-sahutan.
Kedua
wanita itu tersenyum, mengusap kepala
anak-anak kecil dihadapannya.
“Nanti bilang sama kepala sekolah yah.” Mereka lalu berpamitan.
SD 11 Kampung
Melayu
Melihat anak kecil yang sebelumnya bersemangat itu pergi,
Ibu guru muda itu menutup buku peminjaman, kemudian dihampirinya buku yang ditinggalkan
begitu saja di meja. dibukanya tirai pada rak tempat semula buku tersebut
berada.
“Teroris, Komunis,
PKI…” gumamnya pelan membaca judul satu persatu, disapunya
debu yang menempel di jemarinya, lalu diambilnya sebuah kardus yang tersusun di
atas lemari. Kemudian dimasukan semua buku-bukunya dengan heran. Mengapa buku-buku itu bisa ada disana.
SD 01 Tanggerang Selatan
Selepas anak-anak pergi dengan wajah kecewa, laki-laki
itu menimbang-nimbang pikiran sambil memainkan kunci ditangannya. Belum pernah dia
melihat anak muridnya seantusias itu. ada rasa sesal bergumul di hatinya
melihat anak-anak yang semula berkumpul berdesak-desakan sembari
menunjuk-nunjuk lemari dengan semangat, kini berhamburan keluar sambil menggerutu
karena tidak diizinkan membaca buku di dalamnya.
Setengah ragu, Pak guru memasukan anak kunci ke dalam
lubang pintu lemari. Ia membuka pintu lemari lebar-lebar lantas bergegas keluar.
Pandangannya menyisir lorong-lorong kelas. Mendapati anak-anak masih berjalan
bergerombol menuju kelas, Ia lantas berteriak,
“Anak-anak, ayooo baca buku baruu!”
SD 05
Jatinegara
Seorang
anak menangis di depan kelas, Bapak Kepala Sekolah yang tengah melintas menghampirinya
dengan heran.
“Iren kenapa menangis?”
Sambil
tetap menangis Iren menghadap Pak Kepala Sekolah
“Andi bilang Iren bodoh Pak karena tidak
tahu ibu kota Indonesia.” Napasnya
tersengal mencoba menjelaskan.
“Memangnya Pak Aryo tidak pernah memberi
tahu?” Tanya Kepala Sekolah, menyebut nama salah satu
guru yang mengajar kelas Iren.
“Belum sampai situ pak pelajarannya.” Anak kelas 3 SD itu mengusap matanya yang basah.
“Wah, kalau belum sampai situ, coba Iren
baca buku, biar pintar!”
“Buku darimana pak? kan perpusnya tutup.”
Yogyakarta.
“Waaah, nganggo
boso inggris aku ra ngerti no, tapi gambarne apik mbak!”
Seorang anak menatap dengan mata berbinar buku yang
diambilnya dari kardus besar yang baru saja dibuka ramai-ramai bersama
teman-temannya yang lain. Di sampingnya seorang anak lain ikut mencari-cari, ingin
juga mendapatkan buku yang tidak kalah bagus.
Seorang remaja tersenyum di sudut ruangan, membiarkan
kerumunan anak-anak mengelilingi dan ‘mengacak-ngacak’ dengan semangat
sumbangan buku dalam kardus yang baru sampai, dikirim temannya dari jakarta.
Seorang anak dengan baju tercoreng lumpur yang telah
mengering, menatap girang buku yang baru saja di dapatinya. “Aku juga dapat, Aku juga dapat.” Di angkatnya tinggi-tinggi buku tipis penuh warna
bergambar kartun hewan.
“Aku mau, Aku mau juga.” Seorang anak lain mendesak ingin ikutan mencari, Sesekali
dilapnya lendir pada hidungnya dengan pinggiran lengan kausnya.
Kesembilan
anak kecil dan tiga orang remaja tengah berkumpul dalam satu ruangan, berdesak-desak
dengan semangat, tawa mereka terdengar sesekali.
“Bukune apik-apik tenan tapi kita ra iso
maca hahaha.” Palang
bertuliskan “Taman-Baca” berdiri di depan pintu.
Bandung, 2014
Tapi, kalau pertanyaan tentang perpustakaan ini kamu
ajukan pada saya sekarang, akan saya jawab dengan semangat, perpustakaan adalah
tempat lemari berjajar rapi yang disesaki buku-buku media tualang. Saya bisa
hanyut di dunia sastra jika berdiri pada salah satu rak, atau bisa juga
tiba-tiba dahi saya berkerut menghadapi jejeran buku filsafat pada rak lain. Saya
bisa bersandar di sofa pada salah satu sudut atau merebahkan diri pada sudut
berkarpet di sisi lain. Saya pun bisa memakai komputer dengan leluasa kalau-kalau
saya ingin membaca ebook atau sekedar
browsing. Jadi, Kalau ada yang bertanya dimana tempat kesukaan
saya, kini saya bisa mantap menjawab: Perpustakaan.
Perpustakaan adalah tempat dimana saya bisa kehilangan sekaligus menemukan diri saya.
Perpustakaan adalah tempat dimana saya bisa kehilangan sekaligus menemukan diri saya.
Sudah malam ketika saya menutup lembar majalah berisi
artikel potret perpustakaan di beberapa sekolah dan tempat di Indonesia.
Tiba-tiba ingin mengajukan pertanyaan yang sama pada adik-adik di SD yang
kisahnya tertulis di majalah yang baru saja saya baca tadi.
Jadi, apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata perpustakaan?
Jadi, apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata perpustakaan?
*Tulisan fiksi ini diterbitkan pada Buku Dongeng Airis; Antalogi Cerpen Muda Angkatan 18 FLP Jakarta. Meskipun kisah fiksi tapi persoalan-persoalan yang diambil (sayangnya) masih sering terjadi, khususnya di Jakarta.
Di tengah-tengah kerinduan berkumpul dengan teman-teman dan adik-adik TBIM Kebon Baru.
Di tengah-tengah kerinduan berkumpul dengan teman-teman dan adik-adik TBIM Kebon Baru.
0 comments:
Post a Comment
What do you think?