Found on theultralinx.com |
Kita (barangkali sebetulnya) suka membicarakan topik ini. Pernikahan adalah topik yang paling menyenangkan sekaligus mendebarkan. Kita sama-sama takut ditolak. Kita takut pikiran kita yang telah jauh dianggap sebagai hal yang berlebihan. Padahal memang, pernikahan adalah hal yang berlebihan. Tapi bukankah dengan telah saling membicarakannya kita telah sepakat bahwa hubungan kita telah cukup untuk sesuatu yang besar. Sebesar pernikahan?
Walau terkadang pernikahan adalah topik yang
sering kita hindari. Percakapan pernikahan menyimpan banyak ketegangan yang kadang
membuat kita ragu, bahkan kepada diri sendiri. Karena menikah artinya
meleburkan. Nilai, trauma masa lalu, mimpi di masa depan, angan-angan idealis,
memangnya siapa yang bisa diajak melebur untuk hal sehebat itu?
Lalu tiba-tiba pernikahan membuat
kita merasa begitu kerdil. Membuat kita seperti anak-anak yang hanya pantas
menjadi penonton saja. Karena meskipun kita ingin, kita pun ketakutan. Kita
takut jangan-jangan pernikahan hanyalah sasaran melarikan diri dari wilayah
kehidupan lain. Kita takut kaki kita tidak cukup mampu berdiri sendiri, lepas
dari kenyamanan yang selama ini kita jadikan pijakan. Kita takut kalau-kalau ketakutan
yang kita simpan melebihi keinginan yang kita utarakan.
Tapi pada suatu hari, seperti anak kecil yang seru membahas tontonan favoritnya, kita begitu semangat membicarakannya. Satu persatu kerangka pernikahan seperti susunan lego di dalam kepala. Perasaan optimis yang tertukar-tukar dengan khayalan utopis. Bahagia seperti sudah di dalam genggaman. Kita mendadak naif (tapi tidak apa-apalah sekali-kali).
Jadi entahlah mana yang lebih besar kadarnya, rasa takut yang kita punya atau euforia yang kita rasakan. Meskipun keduanya bukanlah alasan yang cukup kuat untuk berpihak (atau tidak) pada pernikahan.
Tapi pada suatu hari, seperti anak kecil yang seru membahas tontonan favoritnya, kita begitu semangat membicarakannya. Satu persatu kerangka pernikahan seperti susunan lego di dalam kepala. Perasaan optimis yang tertukar-tukar dengan khayalan utopis. Bahagia seperti sudah di dalam genggaman. Kita mendadak naif (tapi tidak apa-apalah sekali-kali).
Jadi entahlah mana yang lebih besar kadarnya, rasa takut yang kita punya atau euforia yang kita rasakan. Meskipun keduanya bukanlah alasan yang cukup kuat untuk berpihak (atau tidak) pada pernikahan.
0 comments:
Post a Comment
What do you think?