In Fiction

Tidak Ada Hujan

Mata kami bertemu. Sesaat aku ingin menantang bola mata yang bersembunyi di balik lensa itu. Aku ingin tahu, apakah dia akan meringkuk atau justru menerima tantanganku. Menenggelamkanku lagi disana, di kedalaman matanya yang bening sekaligus berjelaga. Aku tidak yakin mana yang lebih membuatku nelangsa, jelaga yang membuat buta atau bening yang demikian lihai membaca, menelanjangi pikiranku yang ramai sekaligus sepi, seperti tersasar di tengah pasar.

Faktanya, hanya beberapa detik sampai mataku beralih. Mataku memandang daun-daun kering yang berjatuhan, kursi panjang halte yang sandarannya sudah berkarat, sampah plastik yang terbawa angin, atau apa saja selain matanya.

“Hai.”

Suara yang digiring senyuman itu memecah hening diantara kami. Tapi mulutku tetap terkunci. Bilangan tahun yang berlalu memang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kusiapkan dulu, tapi waktu membuat semuanya kehilangan makna. Aku tidak lagi menagih jawaban, bahkan untuk sekedar penasaran telah tunai tanpa dibayar.

Dia tidak lagi memakai sandal gunung dan kaus lengan pendek. Kemapanan tergambar pada pakaian dan atribut yang ia kenakan. Lihatlah, jam tangan yang dulu kami beli di pusat perbelanjaan tidak lagi melingkari tangannya, digantikan dengan brand yang nominalnya melebihi setengah gajiku sebulan. Aroma segar sabun antiseptik pun terganti aroma parfum yang tidak kukenali. Perlahan kumasukan tanganku dalam saku, menyembunyikan gelang kayu yang melingkarinya, yang kami beli bersama di Yogyakarta dulu.

Kita memang tidak bisa dengan mudah melupakan apa yang sudah lama terpatri dalam kepala, tapi kita bisa menimpanya dengan kenangan yang lebih segar. Sayangnya, ingatan yang buruk tetap ada sebagai pengingat. Seperti saat dia membawa-bawa nama Tuhan hanya agar aku tidak menahan dan berhenti memintanya mempertimbangkan. Dia benar. Selamanya biji rosario miliknya tidak bisa kugunakan untuk bertasbih. Kita hanya bisa bersitatap tanpa bisa saling berdekap.

“Hai.”

Meski sedikit tercekat, angin tetap menjalarkan suaraku. Angin pula sepertinya yang meringankan langkahku. Lihatlah, kami telah beranjak dewasa. Tidak lagi ada penolakan atau perjuangan yang berakhir sia-sia. Hanya lima menit, selanjutnya kami saling melewati, seperti sepasang asing tanpa kepentingan untuk menguarkan kenangan. Kami melangkah pada arah yang bersebrangan.

Tidak ada hujan. Musim kemarau belum juga berakhir. Mari kita percepat langkah kaki kita karena tidak ada yang akan menyamarkan air mata.

River and sea, picking up salt
Through the air as a fluffy cloud falling down as rain.
(Boat Behind-Kings Of Convenience)



0 comments:

Post a Comment

What do you think?