Opor ayam dan ketupat adalah santapan lumrah kala lebaran tiba, tapi bahkan untuk memintanya lidahnya mendadak kelu. Kelu karena sudah Ia duga jawabannya. Bukan perihal ketiadaan uang untuk sekedar membeli ayam berapa potong atau beras yang dibungkus daun kelapa sedemikian rupa.
Bahkan pemujaan luka tidak dihentikan sejenak oleh momen lebaran kali ini.
bagaimana bisa ada yang setega itu merajuti hina pada hatinya sendiri
Setelah Ia tinggikan intonasi , ia nanarkan tatapan ke satu mata yang paling lemah, yang ia tahu tidak punya daya yang tersisa. Itulah wujud nista yang membungkus dosa dengan nada nada tinggi penuh emosi. Mungkin pahamnya adalah marah dulu sebelum dimarahi. Salahi dulu sebelum disalahi. Maka pada mata yang basah itu Ia hunus luka sampai ke dalam dalam.
Adalah mati rasa, tingkat tertinggi dari sakit hati.
Maka setelah sekian lama pengecut itu mati, Ia lahirkan kembali. Ia ikut menatap yang tidak berani membalas, Ia ikut berteriak sampai urat lehernya terlihat. Tidak takut barang sedikitpun. Kata Anjing ia gumamkan dalam hati, hanya karena ada norma yang menahannya. Telah bertahun-tahun ia berpura pura, selama itu ia biarkan bidadarinya memuja luka.
Padahal bulan suci kesukaan Tuhan
Ia telan ludah berkali kali,rasanya seperti obat yang telah habis masa pakainya. Bahkan detak jantungnya kentara seperti melompat lompat saking kencangnya. Ketika barisan kata-kata itu terefleksi melalui kacamata plusnya, Ia menarik diri, masih ada ratusan luka yang harus ia nikmati nyatanya.
Mungkin inilah perpisahan terindah yang aku tahu.
mungkin suatu waktu aku memanggilmu karena ada perlu
mungkin suatu waktu kamu menghubungiku karena malu
mungkin suatu waktu kamu tergelatak di pinggir jalan dan aku tidak lagi mau tahu.
padahal esok hari raya idul fitri.
0 comments:
Post a Comment
What do you think?