In Fiction

Dari Balik Jendela Kamar

kegemaranmu menari ketika bermain hujan itu yang membuatku malas memandang yang lain, katamu kamu sedang berkomunikasi dengan air dari langit itu, kadang imajinasimu kelewat tinggi hingga tak terjangkau logikaku. Tapi melihat gigi kelinci itu tampak tiap kali kamu tersenyum lebar, kusampaikan terima kasih banyak pada imajinasi-imajinasimu itu.

Lalu rambut ikal sebahumu itu basah tak karuan, kamu yang memang lebih suka menyisir dengan jemari ketimbang sisir betulan, suka kesal sendiri kalau ada rambut yang terikat satu sama lain saking kusutnya, lalu dahimu mengerut, bibirmu cemberut. aku bahkan bisa terpingkal-pingkal dibuatmu yang sedang begitu.

Kalau aku sedang tertawa tanpa sadar begitu, dengan sigap kamu melempar sumpit rambut yang kamu sangkutkan pada telingamu, dan selalu saja pas mengenai dahiku. Maka bergantianlah kamu yang tertawa. Yang selalu membuatku heran adalah, mata bulatmu yang menyipit saat tertawa, bagaimana bisa mata sebesar itu menjadi segaris saat kamu tertawa?. Matamu yang suka melotot tiap kali aku iseng meledek warna kulitmu.

Salahkan hobimu yang lain, yang diusiamu keduapuluh tahun, masih suka bermain layangan setiap 'kabur' Ke Talang Padang tempat pakde mu itu. Alhasil tidak ada yang akan menyangka kalau sewaktu kecil kulitmu putih seperti gadis Bandung pada umumnya. Kalau aku sedang ingin menjahilimu, kubilang saja warna kulitmu setingkat dengan warna kulit kuli panggul di Tanjung Priok, lalu seketika dahiku merah dan terasa panas bertemu sumpitmu itu. Tapi aku tahu kamu tidak benar-benar peduli perihal itu. Kamu lebih peduli kalau ada hujan yang kamu lewatkan untuk bermain-main.

Pekan lalu kamu mengajariku menari dalam hujan, kamu menunjukan gerakan-gerakan yang membuatku -yang akan berkepala tiga pada tahun ini- kikuk tidak karuan menghadapi tatapan-tatapan orang yang sedang meneduh di pelataran toko, tidak bisakah kita mencari bukit atau taman yang sepi lalu bermain disana saja? tapi katamu lebih seru dijalanan. Baru beberapa menit 'bermain' aku sudah menyerah dan ingin berendam air hangat saja, tapi tatapanmu yang seperti anak kucing-lapar-takberdaya itu akhirnya memaksaku tetap bermain mengikutimu, lalu aku berfikir, baiklah sekali saja aku turuti mau gadis manis ini. Aku pun menari, meski kaku bukan main, lalu beberapa detik kemudian terpeleset, kepalaku tepat mengenai penanda jalan berlubang, beberapa detik aku masih bisa melihat air hujan yang jadi merah, beberapa detik aku masih bisa mendengar jeritanmu yang bergantian dengan petir,kala itu hujan memang deras sekali. 

Aku membenci diriku sendiri karena menjadi penyebab hilangnya hobimu yang satu itu, yang bermain-main dengan hujan. Kini kamu lebih suka menatapnya dengan mata bulatmu itu dari balik jendela dalam kamar. Disampingmu ada meja kecil yang masih penuh dengan hidangan sarapan yang belum kamu sentuh, sementara Ibumu mengetuk ngetuk pintu sambil membawakan hidangan makan siang dan beberapa obat penenang.



0 comments:

Post a Comment

What do you think?