In Fiction

saat yang tepat

(Photo credit by theboyofcheese on devianart)
Kami bertemu dan semuanya terasa begitu tepat. Hanya itu saja prolognya. Kemudian kamu yang tiba-tiba menjadi lebih cerewet dari biasanya bertanya padaku, kenapa? kenapa menjadi terasa begitu tepat? Itulah mengapa akan kujabarkan padamu kejadian hari itu, mungkin kamu akan tahu apa yang menjadikannya begitu tepat atau jika belum ada yang berhasil kamu tangkap, mungkin karena kamu perlu mengalaminya sendiri.

Sejujurnya ketika dia membuka pintu hingga terdengar bunyi klenengan yang bergerak-gerak, aku segera meletakan buku yang sedang kubaca untuk memperhatikan siapa yang baru saja tiba. Tidak setiap bunyi klenengan membuat perhatianku teralihkan, hanya entah mengapa tepat ketika  aku mulai sedikit jenuh dengan buku yang kubaca, saat itulah kepalaku ingin mendongak dan mendapatinya melangkah dari luar. Hujan yang masih deras di luar membuat kafe ini mendadak ramai. Dia menyampirkan jaket yang setengah basah di bahunya. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Mungkin dia hanya orang lewat yang kebetulan ingin meneduh. Aku baru tersadar ketika langkahnya mendekati tempatku duduk. Mataku menangkapnya lagi, mencoba mengingat apakah dia seorang kenalan di masa lalu yang kulupakan, jika bukan untuk apa dia menghampiriku. Lalu berlatarkan suara hujan yang berisik, suaranya yang asing menyambar telingaku.
"Kosong?"
"Silakan."

Tentu saja, tidak ada tempat duduk lain yang masih kosong selain di mejaku. Ternyata kita memang hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu. Berterima kasihlah pada pelayan yang menanyakan pesanan dan mengira kami berdua adalah sepasang karena setelah sama-sama tertawa kikuk, akhirnya dia membuka obrolan. Beruntung sebagai orang Indonesia, kami sangat ahli berbasa basi. Bahkan kopi krimer yang ia pesan menjadi bahan obrolan yang membawa kita dari rasa keterasingan.

"Ada orang yang merasa dirinya seperti krimer." Sebut aku konyol karena tiba-tiba melontarkan pernyataan yang tiba-tiba melesat pada pikiranku begitu saja, dahinya mengeryit seolah meminta kujelaskan. 

"Krimer, tidak bisa dinikmati secara mandiri, sifatnya pendamping saja, bukankah ada orang-orang seperti itu? merasa dirinya berguna hanya jika disandingkan dengan hal lain?"

"Faktanya aku tidak bisa meminum kopi tanpa krimer, bukankah itu menjadikan kopi dan krimer setara? ".

Aku tidak tahu apa maksudnya dan apa sebabnya sampai ujung bibirku tertarik begitu saja.

Apakah kamu sudah sampai pada bagian kesimpulan yang kumaksud di bagian awal tadi? apakah aku perlu menjelaskan bagaimana cara berpakaiannya karena bisa saja jangan-jangan itu yang membuatnya begitu tepat. Sebetulnya tidak ada yang berbeda dari caranya berpakaian. Dia mengenakan kaus hitam, celena jeans dan sepatu. Kemudian kamu akan tertawa karena menyadari caranya berpakaian sangat biasa, bukankah semua laki-laki yang kamu temui di jalan berpenampilan seperti itu? dengan jaket dan tas ransel. Aku pikir kamu pun akan mengomentari minuman pilihannya. Menurutmu aku akan merasa tepat jika saja dia memesan kopi hitam atau espresso dan bukannya kopi dengan krimer saja.

Tapi sore itu, ketika suara hujan yang semula berisik mulai mereda, semuanya terasa begitu tepat.

"Sepertinya sudah tidak hujan, aku harus pergi".

Pada bagian ini kamu akan menertawakanku, bukan?
Semuanya begitu tepat sampai terasa tidak lagi tepat. Hujan hanya ingin membuat kita berani mendefiniskan moment apa yang sedang kita alami. Lalu saat hujan benar-benar berhenti bukankah tidak  lagi  aneh jika tiba-tiba matahari menjadi dua kali lebih terik. Jadi kupikir mungkin saja masih ada yang tidak terbiasa dengan panas Jakarta dan ingin meneduh sebentar. 

"Itulah mengapa kamu tetap duduk di sana?" tawamu pecah sedetik setelah kuanggukan kepala.


0 comments:

Post a Comment

What do you think?