In Fiction

Percakapan di Ruang Tunggu

“Menurutmu lebih baik mana, menjadi teman selamanya atau pernah begitu dekat tapi kemudian menjadi saling asing?”

Benar kata orang, cuaca bisa mempengaruhi perasaan seseorang. Sepertinya gerimis yang membekas di ujung celanamu membawa melankolis pada kepalamu. Kita sama-sama tahu kemana arah pertanyaanmu, Jadi kubiarkan pertanyaanmu mengambang di udara yang dipenuhi aroma antiseptik. Kepalaku bahkan tidak repot-repot mengalihkan pandangan dari lukisan alam di depan kita. Aku ingin pura-pura tidak mendengar, tapi mulutku justru terkekeh. Menertawakan pertanyaan retorismu. Menertawakan diriku sendiri.

 “Heh, aku serius.”

Kamu menoleh padaku, memacingku untuk membalas pandangan. Baiklah, kamu menantangku rupanya.

“Kamu mau jawaban panjang atau pendek?”

“Sepertinya kita masih punya cukup waktu untuk jawaban panjang”. Kamu berpura-pura melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganmu.

“Tergantung.”

Alismu mengeryit, aku menghela napas untuk mendramatisasi ketidakpahamanmu itu. Ingin rasanya kuucapkan terima kasih pada siapapun yang meletakan lukisan pada dinding di hadapan kita, Memberiku alasan untuk tidak selalu memandangmu.

“Apakah ada kepentingan lain selain hanya menjadi teman sehingga menimbulkan pilihan seperti itu?”

Kali ini gantian kamu yang menghela napas berpura-pura mengejek pertanyaanku. Mengejek perasaanku.

“Anggaplah ada.”

Sejak kapan kamu mulai berani seperti itu? Aku menghela napas, berlagak akan menjelaskan sesuatu yang penting. Padahal mungkin percakapan ini akan segera menguap sehabis kita tinggalkan kursi panjang yang menahan kita kini.

“Menurutku menjadi teman selamanya, adalah pilihan teraman. Menyembunyikan perasaan dengan hati-hati dan menyimpan harap sekaligus merasa tahu diri asalkan tetap bisa berinteraksi. Eh yang benar tahu diri atau tidak percaya diri yah?”

Kamu mengangkat bahu lalu memintaku melanjutkan.

“Yah terkadang, bisa berinteraksi sudah cukup membuat senang. Namun kadarnya selalu sama. Jika digambarkan dengan grafik, mungkin bermain aman begini hanya akan membuat garis lurus. Konstan. Kesenangan yang konstan lama-lama akan menjadi membosankan (kalau tidak ingin dibilang menyakitkan, garis lurus tanda ketiadaan bukan?) meskipun kabar baiknya hubungan tetap terjalin dengan aman.”

“bagaimana dengan pilihan kedua?”

Kali ini bukan hanya kepalamu, tubuhmu sudah berhadapan denganku. Aku tidak berminat merubah posisi sedikitpun. Memandangmu hanya akan mengaburkan kata-kata dalam kepalaku. Aku melanjutkan sambil tetap menatap lurus ke depan.

“Sebetulnya memberikan diri kesempatan untuk menjadi begitu dekat berisiko lebih tinggi. Jatuh cinta memang tidak pernah membuat bosan. Grafiknya mungkin akan fluktuatif, tapi pada saat tertentu ketika jatah waktu kita telah habis, hubungan pertemanan berkemungkinan akan ikut habis. Berakhir menjadi dua orang yang saling asing. Bukankah imun kita menolak sesuatu yang asing?” 
Meskipun pada kadar tertentu tubuh kita akan kebas juga tapi pasti efeknya tidak lagi baik. Jika sudah begini pada akhirnya menjadi saling asing lebih baik, jangan dilebihkan kadarnya, agar tidak kebas. 

Kamu berdeham setelah hening beberapa menit. Tidak lagi menatapku. Tali sepatumu yang terlepas seolah menarik perhatian matamu, tapi tanganmu tetap tidak bergerak membenarkan.

“Ndi, Seingatku, kamu orang yang suka mengambil risiko.”

Aku mulai sesak dengan aroma asam borat yang entah mengapa terasa makin pekat. Tapi untunglah suara langkah para suster yang berlalu lalang membuat sunyi sementara ini tidak terlalu menyiksa. Kamu tahu aku tidak berniat membalas pernyataanmu. Kamu membaca keraguan (dan ketakutan) pada mataku yang mulai berair.

“Pilihan kedua bisa saja membuatmu kecewa karena kehilangan seorang teman, tapi kabar baiknya, kamu bisa melangkah maju, bermil-mil lebih jauh. Kamu jadi tahu satu hal, bahwa memang bukan dialah orangnya”.

Belum sempat kutanggapi omonganmu, Linggar datang dengan perban di kepala. Giginya yang tidak rata mengintip saat meringis berusaha tertawa sekaligus menahan sakit. Aku sadar kamu sedang memergokiku tersenyum lega.

Pagi tadi, dengan panik aku menghubungimu begitu mendengar kabar Linggar  terjatuh dari motor hingga kepalanya terbentur trotoar. Rupanya suara isakan yang begitu pelan pun turut menjelma gelombang radio hingga sampai pada telingamu walau ratusan meter jarak kita. Aku bahkan dapat mendengar suara tanganmu menyambar kunci yang biasa kamu gantungkan pada paku berkarat di samping pintu. Aku tahu kamu bergegas mengantarkanku walau gerimis menyambar bajumu. Aku tahu kamu merasakan kecemasanku. Sejujurnya aku tetap cemas kamu akan tahu. Walau mungkin, kamu sudah tahu.

“Indi, ambilah risikonya dan buktikan jatah waktu kalian tidak akan habis.”

Kamu memaksakan tersenyum. Linggar yang belum sempat berkata apa-apa memandang kita bingung. Aku tidak tahu harus menjawabmu atau menjawab kerut heran di kening teman dekatku itu. Tapi melihatmu tersenyum, aku tahu, kamu sudah melepaskanku.

No matter how I think we grow
You always seem to let me know 
It ain't workin'
Lauren Hill's "Ex-Factor"



0 comments:

Post a Comment

What do you think?