In Fiction

laki-laki yang terpilih

Malam ini adalah malam penentuan. Meskipun langit sama mendungnya dengan hari-hari kemarin, tapi hari ini semua akan bermula atau berakhir. Sejak pagi, sudah tampak raut gelisah pada wajah emak. Meskipun tidak diutarakan, emak menyapu rumah berkali-kali dengan salah tingkah. Sementara Nanik, istriku, tetap tenang seperti sedia kala. Nanik tetap menyediakan sarapan dan makan siang pada waktunya. Tapi diam-diam, kupergoki dirinya melamun sambil tersenyum sendiri. Barangkali lamunan indah mampir dalam khayalnya. Padahal Nanik yang kukenal adalah wanita yang paling tahu diri. Baginya mengandai-andai adalah jalan pintas menuju kemalasan dan kekecewaan. Tapi barangkali hari ini lain. Malam ini spesial.

Usai sembahyang isya, Nanik dan Emak sudah berjilbab rapi. Cantiknya gadis-gadis ini, kucandai begitu, Emak tertawa canggung sementara Nanik mencubit lenganku. Kami bertiga berangkat dengan harap yang terasa berjingkat-jingkat hingga kerongkongan.

Begitu tiba, hampir semua kursi sudah terisi. Pak RT yang melihat kami tiba, buru-buru mengambil kursi tambahan dan menyilakan kami duduk. Tidak perlu pak, berdiri saja. Lihat, emak mana bisa duduk tenang, yang ini kuutarakan hanya di dalam hati.

Mungkin diantara kami bertiga, Emaklah yang menyimpan keinginan untuk menang paling besar. Mungkin karena emak yang paling sering mengalami kesulitan ketika harus mencari uang pinjaman untuk menebusku di tahanan. Sementara Nanik, kalau tidak menangis, ia pulang ke kampungnya di Pati. 

Kalau dipikirkan semua terasa lucu. Gara-gara mencari uang aku ditahan, lalu emak harus mencari uang lagi untuk tebusan. Kalau aku tidak mencari uang, Emak tidak perlu mencari tebusan, tapi kami tidak makan. Kalau begitu, akhirnya emak mencari pinjaman untuk makan.  Yah begitulah, jelas sudah emaklah yang paling kepayahan. Tidak heran jika kini beliau yang paling mengharap. 

Kata emak kalau mencari tidak akan membuatnya kesusahan, kamu mencuri itulah sebabnya. Sambil tertawa kutanggapi emakku tersayang ini.

Aku ini mencari mak, tapi mencarinya di dompet orang.

Itu mencuri, Bodoh. Kalau kesalnya memuncak emak tidak segan melemparku dengan sapu atau apapun yang ada di tangannya. Walau begitu tetap kusanggah ucapannya.

Mana mungkin mencuri Mak, yang punya yang memberi, itu namanya rejeki.
 PLAK! Gagang sapu sudah beradu kepalaku.

Kalau diancam pakai pisau, semua pun memberi, dasar Bodoh!

Baiklah, aku memang bodoh tapi ternyata orang bodoh sepertiku masih diberi kesempatan yang luar biasa. 

( bersambung ah...)

0 comments:

Post a Comment

What do you think?