Tapi, apakah masih ada kenyamanan ketika seseorang sudah dikepung tatapan penuh kecurigaan? Rasanya seperti sedang dimusuhi dalam diam, ditelanjangi tanpa sentuhan. (Maryam, hal 65)
Pasung Jiwa dan Maryam, kedua
buku ini berhasil memancing amarah saya ketika membaca. Keresahan dalam
mempertanyakan keadilan menjadi benang merah keduanya. Kebebasan yang dijerat
banyak nilai, norma hingga kebenaran yang dijadikan acuan masyarakat. Kebenaran
mayoritas. Penerapan keadilan mendadak menjadi tidak adil.
“Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” (Maryam, hal 249)
Lahir dan tumbuh sebagai Ahmadi
(atau keyakinan apapun yang berbeda),
di negara Indonesia-tercinta-kita ini, yang katanya negara demokratis, yang
katanya berpenghuni manusia penuh toleransi, nyatanya sulitnya setengah mati.
Beberapa tahun belakangan memang santer media memberitakan penyerbuan pada
kelompok-kelompok agama tertentu, yang dianggap berbeda, yang dilabeli sesat.
Apakah yang menentukan sesat atau tidak sesat sudah terjamin sedang tidak dalam
kesesatan? Biarkan akal masing-masing yang menjawab.
“Sudah jelas dasarnya. MUI baru saja mengeluarkan fatwa. Bilang itu sesat. Harus ada dasar apa lagi?”(Maryam, hal 219)
Begitu pula yang dialami Maryam
dan keluarganya. Sebagai jamaah ahmadiyah, Maryam tahu rasanya menjadi berbeda;
minoritas. Maryam pun harus menerima berbagai konsekuensi saat memilih pasangan
yang tidak satu keyakinan. Islam
judulnya, tapi tetap saja, bukan islam
kebanyakan.
Adakah pasangan yang lebih sempurna dari seorang yang membuat kita mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya mustahil? Begitu pikir Maryam berulang kali. (Maryam, hal 217)
Belum cukup urusan pasangan,
hidup yang semula damai tiba-tiba terusik. Para ahmadi terusir dari kampungnya
sendiri, rumahnya sendiri. Masyarakat sekitar melempari dengan batu, dalihnya
merasa terganggu, takut kesesatan menyebar bagai penyakit menular. Padahal jika
meyakini dirinya benar, untuk apa merasa takut? Akhirnya yang merasa terganggu
justru yang paling mengganggu.
Keteraturan dalam kesemrawutan. Ketenangan dalam kegelisahan. Kepasrahan dalam kemarahan. Kebahagiaan dalam kesedihan. Itulah yang sedang mereka bangun sekarang. (Maryam, hal 253)
“Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan.” (Maryam, hal 241)
Beralih ke Pasung Jiwa, Secara
singkat Pasung Jiwa adalah Jiwa yang terpasung demi mengikuti norma yang ada. Tentang
Sasana yang tidak tahu harus menjadi Sasa atau tetap Sasana. Sasana tahu ingin
menjadi apa, tapi ia juga tahu keinginan orang-orang bertentangan dengannya.
Dia tahu keinginannya melawan banyak hal, banyak nilai.
Apakah aku senang? Apakah aku bahagia? Apakah benar aku berpura-pura? Kalau pun memang berpura-pura, apa salahnya jika itu membuatku bahagia?Maka aku tetap menjadi Sasa. (Pasung Jiwa, hal 80)
Beberapa kesamaan lain antara Pasung Jiwa dan Maryam, adalah kisah antar
tokohnya. Sasa dan Cak Jek yang saling mengasihi akhirnya berada di dua kubu
berbeda. Dengan jubah FPInya, Cak Jek menumpas segala bentuk penyimpangan, Sasa salah satunya.
Seperti Maryam yang akhirnya melepaskan Alam, yang terus menerus didikte sang
ibu yang menganggap menantunya sesat. Meskipun hubungan antara Maryam dan Alam
tidak seintim Sasa dan Cak Jek. Hal lain adalah penerimaan yang mengharukan
dari sosok Ibu. Ibu Maryam (dan bapaknya) yang tetap menerimanya pulang setelah
bertahun-tahun menikah tanpa restu dan menghilang. Ibu Sasana, yang menyayangi
anaknya tak peduli apakah anaknya adalah Sasana atau Sasa. Keduanya simbol cinta tak
bersyarat, ketulusan yang membuat haru.
Tapi apakah aku binatang jika memang aku sedang berjuang untuk hal yang kuanggap benar? (Pasung Jiwa, hal 310)
Saya memang bukan seorang ahmadi,
Saya juga tidak berniat menjadi laki-laki. Tapi saya tahu rasanya menjadi
minoritas, menjadi berbeda. Saya tahu
rasanya harus bersembunyi untuk
diterima, mungkin itulah mengapa saya ikut geram melihat bertapa nyatanya
keadilan begitu berpihak. Kedua buku ini memang fiksi, tapi persoalannya
betulan fakta. Tayangan televisi tidak sekali dua kali menyiarkan kasus serupa,
yang bahkan hingga detik ini masih terdengar gaungnya. Tapi sayang, tak banyak
yang suka melihat dan mendengar. Padahal korbannya
adalah manusia, titik. Keadilan harusnya
tegak tanpa perlu menempelkan atribut apapun pada manusia. Siapapun.
Tak ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini kebebasan kami. (Pasung Jiwa, Hal 321)
Singkat kata, kedua buku ini perlu dibaca :)
0 comments:
Post a Comment
What do you think?