You can be miserable in paradise~ Ruut Veenhoven.
Taman hiburan kadang kala persis
miniatur hidup; sekali waktu langit hanya sejengkal lalu dalam sekejap tanah
hampir bertubrukan dengan wajah. Apa namanya? Jet coaster? Roller coaster? Tapi tetap saja kita tidak kapok-kapok, datang
lagi, menaiki lagi, merasa mual lagi, menjerit, memohon-mohon minta diturunkan
lalu mengantri kembali. Tapi bukankah memang menyenangkan mengetahui kita
akhirnya dapat melalui bagian tersulit. Mungkin itulah mengapa kita tidak
kapok. Kita ingin terus menunjukan kita mampu, sekalipun hanya kepada diri
sendiri.
Jadi, apa sih yang sebetulnya
sedang kita (saya) cari? Sudah tepatkah jika bahagia saya tulis sebagai
jawaban? Menjadi mutlakah?
Saya bisa mencari kebahagian pada
tumpukan buku yang sangat ingin saya baca, atau menonton film komedi dengan
pemeran yang saya suka, atau berkumpul dengan orang-orang yang saya sayangi, atau
apapun. Tapi saya juga (harusnya) bisa berbahagia tanpa itu semua. Konsep
kebahagiaan sejatinya tidak melekat pada apapun. Tapi bisakah terus-menerus menuntut diri untuk berbahagia?
Victor Frankl menyakini ada hal
yang lebih penting dari urusan mencari (atau menciptakan) kebahagiaan, yaitu
pencarian makna. Menurutnya kesehatan mental berhubungan dengan komitmen pada
kesadaran diri, kejujuran, keberanian, tanggung jawab, keterlibatan aktif pada
apapun dalam hidup. Makna hidup harus ditemukan dalam setiap kejadian sebagai
individu yang menghadapi berbagai tantangan dalam hidup. Sejalan dengan mas
Frankl, Robert Emmons bilang jika kebahagiaan terbatas pada pencarian emosi
positif dalam hidup, sementara pencarian makna hidup meliputi baik perasaan
positif maupun negatif. Pencarian makna ditemukan dengan menerima dan menyelaraskan
semua perasaan dalam hidup sehingga kita menjadi kaya. Kira-kira begitu katanya. Bukankah perasaan kaya seperti ini yang kita cari?
Hidup bukan lagi persoalan
mengejar hal-hal yang membuat bahagia. Hingga ketika segalanya tidak berjalan sesuai
rencana, yaaah tidak apa-apa. Bukankah menenangkan rasanya jika selalu ada orang yang akan menepuk punggung kita sambil berkata: tenang, tidak apa-apa. Tapi hanya ada satu orang yang mampu melaksanakan tugas mulia itu secara konsisten: diri kita sendiri! *antiklimaks :p* Tidak apa-apa berenang-renang sebentar dalam
kubangan perasaan kalut asal pastikan tidak ikut hanyut dan sampai tenggelam. Barangkali memang tidak setiap wujud kebahagiaan kita butuhkan. Jika hidup masih suka sekali memberi remedial tantangan sepihak artinya tantangan terdahulu
belum lulus dengan nilai memuaskan. Jadi memang perlu belajar lagi, pahami betul-betul maksudnya,
agar tidak salah tafsir berulang kali. Bukankah menyenangkan jika bisa senantiasa menerka-nerka (meski dengan sok tahu) tuhan ingin membentuk kita menjadi apa. Perasaan sedang diperhatikan itu selalu membuat haru, terlebih oleh yang maha segala :)
Berbahagialah masih bisa belajar untuk tidak (merasa perlu) berbahagia secara bahagia.
*apasih feeeh!* Akhir kata Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Reference: A psychology of human stengths: Fundamental questions and future
directions for a positive psychology.
ps: ÙˆَعَسَÙ‰ Ø£َÙ† تُØِبُّوا Ø´َÙŠْئًا ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø´َرٌّ Ù„َّÙƒُÙ…ْ
0 comments:
Post a Comment
What do you think?