In Thought

Menilai-Dinilai

sumber gambar:http://yourbrandvox.com
Manusia itu pelaku sekaligus saksi. Ada saksi yang merasa bisa menjadi juri ada pula yang masih tahu diri. Tapi sekalipun mengaku tahu diri, dalam hati (dalam pikiran) dia tidak henti-hentinya menilai, melabeli, merasai sesuatu yang sebetulnya tak banyak dia tahu. Tindakan otomatis ini membuat dia bebas dari perasaan bersalah, tapi tidak serta merta menjadi benar atau dibenarkan.

Manusia itu saksi sekaligus pelaku. Dia tidak henti-hentinya (merasa) dinilai. Sosiometer namanya, didefinisikan Leary (2005) sebagai perilaku mengawasi nilai hubungan sekaligus juga mengawasi bagaimana seseorang tersebut diterima oleh orang lain secara sosial. Sosiometer melekat di dalam diri individu dan terus menangkap tanda sosial secara (hampir) otomatis dan seringkali diluar kesadaran. Menelan bulat-bulat bagaimana respon, pandangan, sikap orang lain terhadap dirinya.  Berguna? Tentu saja.  Tanda sosial yang tertangkap dicerna sebagai pengingat, pengantisipasi bahkan stimulus imaginatif bagi individu. Sayangnya beberapa manusia memiliki sosiometer yang terlalu sensitif, sering memberi alarm yang sebetulnya tidak ada. Memberi tekanan yang tidak perlu.


Input sekaligus output dari sosiometer ini adalah Self-Esteem. Singkatnya Self-esteem yang rendah memungkinkan sosiometer menjadi lebih sensitif dari seharusnya. Sayangnya menurut Goffman (1955) dalam  Leary (2005) orang selalu memperkirakan sesuatu yang terburuk mengenai akibat dari impresi orang lain terhadap dirinya. Sehingga sosiometer yang sensitif lebih sering menangkap hal buruk dari reaksi/sikap orang lain. Akibatnya individu merasa tidak cukup baik dan  terjadilah penurunan self-esteem.  

Manusia dengan sosiometer yang terlalu sensitif, tidak henti-hentinya mengusahakan diri untuk mendapatkan nilai yang bagus, walau bisa jadi hanya berlandaskan nilai mayoritas, selama judulnya diterima oleh kelompok sosial. Semakin keras usahanya untuk diterima, semakin dia telah mengaburkan dirinya ke dalam citra manusia-manusia lain. Sementara manusia dengan sosiometer yang tidak sensitif, tidak peduli penilaian dari para awam. Mereka mengatakan, melakukan apa pun yang menurutnya sah-sah saja. Siapa yang lebih bahagia? Manusia yang terlalu malas menangkap segala tanda sosial, apakah akan diterima oleh sosial?

Kita, sebagai manusia, bisa saja dilabeli hal-hal yang tidak kita inginkan. Label tidak selamanya urusan benar atau salah, seringkali hanya masalah perbedaan preferensi, kepentingan dan nilai-nilai. Atau hanya sesuatu yang di lontarkan secara impulsive oleh orang lain. Seremeh itu. Tentu tidak ada yang salah dengan menjadi juri (menjadi sok tahu) atau dengan menjadi pelaku yang ingin raportnya bagus. Menjadi bermasalah jika kemudian menjadi terlalu sibuk dinilai-menilai sampai menghilangkan diri sendiri atau lupa berbahagia.




 Reference
Leary, R. M. (2005). Interpersonal Cognition and the Quest for Social Acceptance Inside the Sociometer. In M. W. Baldwin, Interpersonal Cognition (pp. 85-102). New York: The Guilford Press.

0 comments:

Post a Comment

What do you think?