In Memories

Segalanya (Bukan Lagi) Soal Kita


Saat masih menjadi bayi dan balita, kita terbiasa menjadi pusat perhatian. Semua mendekati sambil mencium, mencubit gemas, menggendong, dan memuji bertapa lucunya kita. Kita tumbuh diawali dengan diri penuh lampu sorot: segalanya tentang kita.

Bahagia tapi bahaya, jika pengalaman ini masih terbawa (tanpa sadar) pada diri kita yang telah tumbuh dewasa.

Maka jangan heran jika kita jadi mudah 'merasa' dan sering bertanya, "apa yang salah dengan saya?" saat kita mendapatkan perlakuan tak mengenakan.

Padahal faktanya, segalanya tak melulu tentang kita.

Kata-kata kasar yang orang lain lontarkan padamu, bisa jadi amarah terpendam pada dirinya sendiri.
Sikap buruk seseorang padamu, bisa jadi karena harinya yang sedang buruk, atau memang begitu sikap yang selama ini ia terima sehingga ia menyakini, begitulah cara bersikap.
Jika ada seseorang yang membencimu bisa jadi rasa percaya dirinya terancam oleh kehadiranmu, atau itu murni perasaanmu saja.

Semua bisa jadi tentang mereka, bukan kita. Jadi, biarlah jadi urusan mereka, sementara kita mengurus sikap dan perasaan kita sendiri.

Pemikiran seperti itu ampuh mengurangi sebagian besar masalah nggak penting yang saya hadapi; perasaan tersinggung, kecil hati, kecewa, atau marah.

Ampuh, tapi perlu diimbangi, karena jangan-jangan ada kalanya memang soal "kita".

Ada kalanya kita yang tak selalu menyadari sikap kita barangkali melukai, ada kalanya kita melakukan pertahanan diri dengan proyeksi: menganggap A begini padahal kita yang begitu. Saat kita merasa ada yang tak menyukai kita, jangan-jangan itu adalah bentuk proyeksi dari ketidaksukaan kita pada orang lain. Ada kalanya kita yang menutup diri tapi merasa orang lain yang tak peduli. Ada kalanya, itu memang soal "kita"

Ada kalanya kita yang perlu intropeksi tanpa larut menyalahkan diri. Sambil tetap terus menyadari: segalanya bukan hanya soal kita.


sumber gambar: pinterest

0 comments:

Post a Comment

What do you think?