In Thought

Menjadi Diri Sendiri: Omong Kosong?

Beberapa hari lalu, seorang teman dalam Instastoriesnya mengadakan polling dengan pertanyaan, yang kira-kira isinya begini: "Is advice 'just be yourself' bullshit?" Setelah menjawab, ternyata saya adalah satu dari dua orang yang menjawab "No" sementara 80% lainnya menjawab "Yes"

Ngomong-ngomong polling ini dibuat karena ia merasa saat menjadi dirinya sendiri, ada beberapa penolakan yang ia terima. 

Tapi, saya penasaran apakah makna 'be your self' di kepala saya memiliki definisi operasional yang sama dengan di kepalanya dan kepala semua orang yang ikutan menjawab polling. Maka, saat berbincang saya tanyakan hal tersebut dan menurutnya selama seseorang merasa tak nyaman dengan tindakan yang ia lakukan, maka ia telah tidak menjadi dirinya sendiri. Meskipun bisa saja makna yang dimiliki teman saya itu jauh lebih dalam dan lebar dari penjelasan singkat tersebut.

Di tempat dan waktu yang sama, teman lain menjelaskan 'be your self' versinya. Ia ternyata memakai situasi proses kreatif dalam bekerja untuk menjadi atau tidak menjadi diri sendiri. Sebagai partisipan yang menjawab "Yes", menurutnya saran jadi diri sendiri di dunia kerja saat melakukan pekerjaan, adalah bullshit, karena pada akhirnya ada kemauan pasar, bisnis, dan atasan yang harus dituruti.

Sebagai orang yang menjawab "No" sebenarnya saya jadi worry dan sangsi sendiri, duh jangan-jangan saya sendiri belum jadi diri saya sendiri (apalagi jika menggunakan pemaknaan si pembuat polling ini). Tentu saja saya pernah berada di situasi yang membuat saya merasa tak nyaman dengan sikap saya, menahan keinginan berlaku A atau B demi menyesuaikan diri dengan situasi, bersikap sok anggun (baca: menjadi observer dan tidak banyak melucu) di hari pertama kerja agar first impression saya (tampak) bagus. Apakah artinya saya tidak menjadi diri saya sendiri? Jengjeng!


Sebelum jauh-jauh menjadi diri sendiri, ada hal penting yang perlu dijawab lebih dulu. 

Memangnya diri sendiri seperti apa? Yakin sudah cukup kenal dan benar mengidentifikasikan diri sendiri?

Manut sama pemahaman Victoria Ayres, menurutnya diri kita yang sebenarnya adalah ketika kita mampu melepaskan semua cerita, label, dan penilaian pada diri kita. Tanpa topeng dan sikap mengadili diri sendiri.

Maka, ketika kita menjustifikasi perilaku negatif atas dasar "ya inilah gw",  adalah bukti kita masih menyematkan label pada diri hingga sejatinya kita belum menjadi diri sendiri. Dengan kata lain, itu hanyalah pembelaan diri bukan jadi diri sendiri.

Menjadi diri sendiri versi Victoria Ayres memang gak bisa dibilang mudah. Melepaskan berbagai label yang selama ini kita kira mendefinisikan diri kita tentu punya tantangannya tersendiri. Tapi dengan menyadari hal ini, paling gak kita jadi tahu seberapa besar 'nilai' yang kita berikan pada diri sendiri. 

Misalnya, jika setelah direnungkan ternyata lebih banyak label negatif daripada label positif, berarti begitulah kita memandang diri. "Segitulah harga kita, menurut kita sendiri" Nah, label-label ini yang mencegah kita menjadi diri sendiri karena bisa jadi kita sebetulnya ingin berbuat A, tapi karena kita 'menilai' diri kita sebagai 'bukan A banget', maka kita tak pernah berbuat A. 

So, sebelum mencari solusi pada penerimaan orang lain dengan menjadi diri, lebih baik dituntaskan dulu barrier yang kita berikan pada diri melalui segala macam nilai dan label. 

It's easier said than done, tentu saja. Tapi, layak dicoba.

sumber gambar: pinterest

0 comments:

Post a Comment

What do you think?