In Memories

Pengalaman Cabut Lima Gigi Dalam Dua Tahun


Pertama adalah cabut dua gigi atas setelah satu bulan menggunakan kawat gigi. Tujuannya untuk memberi ruang agar gigi dapat bergerak mundur. Satu bulan setelahnya, cabut dua gigi bawah sekaligus.

Pencabutan gigi dilakukan di Difa Oral Health Center, klinik yang sama dengan tempat memasang kawat gigi. Klinik ini dipilih karena selain harganya paling terjangkau dibandingkan rumah sakit lain di Jakarta Selatan, juga karena tempatnya yang mungil dan prosedurnya sederhana. Tidak perlu ke bagian administrasi untuk pendaftaran, ke kasir di sudut lain, atau menebus obat di lantai yang berbeda. Dengan demikian, kontrol gigi rutin pun jadi praktis dan tidak menghabiskan banyak waktu.

Pengalaman cabut empat gigi dalam kurun waktu dua bulan ini ternyata tidak semenyeramkan yang dibayangkan. Rasa nyeri hanya timbul saat gusi di sekitar gigi disuntik obat bius. Rasanya seperti gusi disteples beberapa kali. Setelah itu, gusi dan mulut akan terasa baal.

Lalu, gigi ditarik, diputar, ditarik lagi hingga tercabut semuanya. Biar prosesnya berjalan mulus, kondisi tubuh harus benar-benar relaks. Sepertinya tidak sampai 30 menit, dua gigi sudah pindah dari gusi ke gelas kaca.

Tapi, bagian tidak menyenangkannya justru baru dimulai. Akibat disuntik pada dua gusi sekaligus, bibir menjadi bengkak hingga sulit menutup padahal gusi yang baru kopong masih terus mengalirkan darah. Alhasil, jadi sulit menahan darah dan air liur keluar.

Setelah bius hilang, bengkak mereda, darah mulai mengering, gantian rasa nyeri yang muncul. Tapi  rasanya masih bisa teratasi dengan obat pereda sakit seperti panadol.

Pengalaman cabut dua gigi pertama dan dua gigi kedua sama saja proses dan rasanya. Pengalaman cabut gigi ke-lima yang agak sedikit berbeda. 

Kali ini, dicabut oleh dokter bedah mulut di RS Siloam TB Simatupang oleh Dr Irwansyah. Gigi yang dicabut merupakan geraham bungsu atas paling kiri. Gigi ini sudah pernah bolong dan tambalannya sudah mulai keropos (ditambal saat kuliah dulu). Sudah tidak dapat ditambal lagi karena ternyata ada lubang di bawah tambalannya. Akhirnya tidak ada jalan lain selain dicabut karena kalau dibiarkan bisa berpotensi infeksi. Makanan pun mudah tersangkut di sana dan cukup repot membersihkannya.

Awalnya, sempat mengira diperlukan operasi kecil seperti cabut gigi bungsu pada umumnya. Tapi, dokter hanya menyuruh tiduran pada tempat tindakan, melihat hasil rontgen (rontgen dilakukan sebulan sebelumnya dengan dokter gigi biasa, di RS yang sama), lalu memberi aba-aba kepada suster untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan (bentuknya persis obeng dan tang).

Dr Irwansyah bekerja dengan cukup tenang dan sat-set-sat-set. Suntik bius beberapa kali, lalu mulai menarik-narik gigi geraham dan memutar-mutar dengan penuh tenaga. Seorang suster ikut memegangi bagian kepala agar tidak ikut terbawa tarikan dan tetap pada posisi yang diharapkan.

Karena sempat merasa tegang, awalnya proses cabut gigi ini cukup alot. Lalu karena merasa lelah sendiri, jadinya badan 'dibiarkan jatuh' dan mencoba untuk sangat relaks. Setelah itu, baru giginya dapat dicabut dengan jauh lebih mudah. Itu dia kuncinya: relaks!

Hal yang membuat cukup kagum dengan proses pencabutan kali ini adalah setelah pencabutan, bibir tidak bengkak, darah yang mengalir masih bisa tertahan oleh kasa tampon gigi, dan masih bisa berbicara pelan- pelan. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya yang bahkan diam pun tetap membuat masker dipenuhi darah 🙂

Keesokan paginya (cabut di malam hari), kondisi gigi dan mulut pun sudah tak terlalu aneh dan bisa makan seperti biasa. Meski diresepkan obat pereda nyeri (Cataflam),  rasa nyerinya hanya muncul sekilas beberapa saat setelah efek bius hilang.

Kira-kira begitulah.

Tips: agar bisa relaks, pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan, jangan terfokus pada "rasa" gigi yang diputar dan ditarik-tarik.

Image source: Nadezhda Moryak/pexels.com


0 comments:

Post a Comment

What do you think?