In Thought

[REVIEW]: Spiritualisme Kritis dalam Simple Miracles

   
 
Membaca karya seseorang yang kita kagumi adalah satu proses yang menyenangkan. Kita seperti diizinkan menyelami otak sang empunya tanpa syarat. Meskipun hanya permukaannya sekalipun. 
Simple Miracle, karya teranyar Ayu Utami sebagai buku pertama dalam seri Spiritualisme Kritis mengangkat doa dan arwah sebagai tema. 
"Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis."
Sayangnya kali ini saya harus memilah-milah waktu dan tempat saat membacanya. Sebagai seorang penakut, membaca tulisan bertema arwah dan hal-hal yang berkaitan dengannya adalah pencapaian tersendiri buat saya. Saya menyelesaikan buku ini di dalam sebuah bis menuju Jakarta. Siang hari tentu saja. Meskipun tetap saja pada malam harinya saya menjadi lebih penakut dari biasanya.
Menurut penuturan Ayu Utami dalam bukunya, Simple Miracle sengaja dibuat bersamaan dengan hari ke-40 setelah kematian ibunya, namun karena satu dan lain hal buku ini baru rampung pada 100 hari kematian sang Ibu. Simple Miracle memang menjadikan sang ibu sebagai tokoh sentral. Sejak halaman ketiga penuturan tentang ketakutan ditinggal mati ibu dari kacamata anak-anak sudah bisa membuat pembacanya menitikan air mata.
"Betapa mengerikannya hidup. Orang yang kita cintai bisa mati setiap saat."
Lembaran berikutnya adalah bagian yang menegangkan (bagi saya) karena Ayu Utami mulai menuturkan pengalaman dan pemahamannya tentang arwah dan sejenisnya. Tentang Bonifacius, keponakannya yang memiliki kemampuan spesial, Bibi Gemuk dan Bibi Kurus yang gemar cerita hantu dan hal lainnya yang berputar persoalan itu.
"Ibuku tetap ada untuk menjaga kami dari kecerdikan yang tidak pantas."
Pembaca akan dibuat akrab dengan karakter ibu yang lembut dan penyayang. Bagaimana bakti Ibu merawat Ayah yang telah sakit selama bertahun-tahun juga pada Bibi Gemuk, kakak suaminya. Kisah pun menuju klimaks dengan mengharukan. 
"Untuk hal-hal yang tak bisa diverifikasi, aku memilih berdoa."  
Pandangan kritis dan kenangan Ayu Utami tersebar hampir di setiap halaman, tentang hal-hal gaib dan segala mitosnya,  tidak terkecuali pada Tuhan yang juga gaib. Pada tiap lembar pembaca seperti diperlihatkan sebuah proses pemahaman dari hal-hal yang semula disangkal.
Sayangnya, saya sedikit kecewa karena menemukan beberapa kesalahan penulisan bahkan pada halaman-halaman awal dan beberapa halaman setelahnya (kalau tidak salah ada pada halaman 30, 70, 87 dan 75).  
Tapi tetap saja pemikiran Ayu Utami yang selalu cerdas dan kritis dalam banyak hal membuat saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca.
"Sesuatu yang tidak kita alami secara empiris, bukan berarti tidak ada secara logis. Jika kita tidak mendengar frekuensi bunyi tertentu, bukannya bunyi itu tidak ada. Anjing bisa mendeteksi bunyi yang tak kita dengar atau bau yang tak kita hirup. Kalau kita tidak menyaksikan apapun, barangkali itu karena keterbatasan dan kebebalan kita sendiri."  (hal 69)

0 comments:

Post a Comment

What do you think?