In Fiction

Menghitung Hari

aku menekan tuts satu demi satu, sesekali kulirik Fariz yang tengah menyanyi disampingku.
Menghitung hari detik demi detikmenunggu itu menjemukan
ini permintaannya. dan aku tidak pernah bisa menolaknya, apapun itu.
Tapi ku sabar menanti jawabmuJawab cintamu,,,

Suara Fariz melembut. indah.seperti biasa. 

Jangan kau pergi harapkan padakuSeperti ingin tapi tak ingin
Pandangannya terpaku pada satu arah, pada satu meja, pada satu wanita, Kania.
Yang aku minta tulus hatimuBukan pura pura,,,

Kania duduk tepat di kursi berhadapan dengan panggung mini ini, tepat di depat kami.
Senyumnya mengembang, pandangannya persis seperti Fariz, satu arah, arah yang saling berbalas.

Jangan pergi dari cintakuBiar saja tetap denganku
aku memperhatikan tuts dihadapanku baik baik, memainkannya sesempurna mungkinberusaha mengimbangi Fariz yang sepenuh hati.
Biar semua tahu adanyaDirimu memang punyaku
iyah, Fariz dan Kania memang saling memiliki, saling mempunyai.jangan samakan denganku. ah jauh.

Jangan kau pergi harapkan padakuSeparti ingin tapi tak inginYang aku minta tulus hatimuBukan pura pura
ada kilau terefleksi dari mata Kania, air matanya mungkin akan terjatuh sebentar lagi.luluhlah sudah hati lembutnya pada Fariz
ada tetes yang membasahi tuts putih hitamku

Jangan pergi dari cintakuBiar saja tetap dengankuBiar semua tahu adanyaDirimu memang punyaku
Faris meliriku sebentar, hanya untuk memamerkan senyumnya yang kian mengembang.berhasil rencana kita, rencananya.

Belum pernah aku jatuh cintaSekeras ini seperti ini seperti padamuJangan sebut aku lelakiBila tak bisa dapatkan engkauJangan sebut aku lelaki

Kania berdiri, melangkah menuju panggung, menghampiri Fariz yang langsung disambutnya dengan pelukan, diiringi riuh tepuk tangan pengunjung lain.
aku pergi
tanpa satupun yang menyadari, tidak ada lagi iringan piano yang melatari pasangan baru itu.

menghitung hari -anda


*ditulis dengan tidak sabaran di sela sela istirahat kantor*

0 comments:

Post a Comment

What do you think?