In Fiction

Potongan Senja Terakhir


Pukul 6 sore kala itu, seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi. Segera diambilnya amplop putih yang tergeletak di atas keset depan pintu rumahnya. Cahaya berpedar dari dalam amplop. Tangannya gemetar, setetes demi setetes mengalir pada kedua pipinya. Bibirnya tersenyum takzim sementara dadanya membuncah girang, begitu tiap pukul 6 sore seperti yang sudah-sudah. 
Dipegang erat amplop berpedar cahaya oleh perempuan itu, lalu dirinya berlari kecil ke dalam kamar, dikuncinya ruang dari dalam. Cepat-cepat diraihnya toples kaca di dalam kolong tempat tidur. Potongan-potongan senja di dalam amplop yang baru saja ia terima, ia tumpahkan ke dalam toples yang telah dibuka, sementara amplopnya ia simpan di bawah bantal. Telah ada banyak amplop serupa di balik bantal. Kini toplesnya pun telah hampir penuh.
Perempuan yang tengah tenggelam dalam haru itu memandangi toples yang kini berada di pelukannya. Pikirannya mengawang ke wajah teduh yang tak lekang dalam ingatan. Lelakinya itu selalu menepati janji. Melihat rembesan senja pada tutup amplop, pastilah ia terburu-buru ketika memasukan senja ke dalam amplop lantaran takut ditinggal matahari yang akan tenggelam. Lelakinya itu memang selalu tergesa-gesa, kalau sudah begitu dinasehati pun tidak mempan lagi. Perempuan itu hanya bisa menertawai polah kekasihnya diam-diam. Ah bertapa sudah lama genap rindunya itu, bertambah-tambah pada tiap kepingan senja yang ia dapat.
Lelakinya tahu betul, senja disini tertutup bangunan tinggi dan genting semrawut rumah penduduk yang menjadi pemandangan hari-harinya dari balik jendela kamar. Kekhawatirannya saat harus pindah ke ibu 97 kota ini segera pupus lantaran janji lelakinya yang akan selalu mengirimkan potongan-potongan senja, agar tetap bisa menikmati hal yang sama seperti saat mereka bersama-sama dulu. Lelakinya itu, Banyu namanya.
“Almira, sudah waktunya makan.” Sebuah suara berat sontak membuatnya segera meletakan amplop yang tadi didekapnya kembali ke bawah bantal. Dihilangkan sisa-sisa haru yang nampak dari wajahnya, buru-buru ia patuhi panggilan suaminya itu.

Mamaku sangat menyukai senja. Kalau suasana hatinya sedang baik, tak jarang ia ceritakan padaku perihal warna pekat oranye yang berpedar di langit. Sungguh aku yang tidak paham hanya mengangguk saja seolah dapat merasainya juga. Di kotaku senja biasanya terhalang bangunan atau asap kendaraan hingga tak bisa dinikmati. Sore ini mama melakukannya lagi. Sudah sebulan polahnya seperti itu. Setiap pukul 6 sore tepat. Mama berjingkat-jingkat keluar rumah, mengambil amplop di depan pintu rumah. Aku mengintip saja dari jendela di ruang tamu. Mama sering salah tingkah kalau tahu aku memperhatikannya. Biasanya dengan buru-buru ia masuk ke dalam kamar, dikunci dari dalam. Pernah kutanyakan amplop apa yang ia bawa masuk dengan tergesa itu, saat itu matanya bercahaya namun berair, mulutnya rapat tidak menjawab.

Perempuan itu menggigit bibirnya, sementara jarinya bergerak-gerak tidak beraturan. Sore ini, tidak didapatinya amplop dari Banyu. Menurutnya Pasti ada yang salah. Pikirannya mengawang pada laki-laki itu. Bulir keringat membasahi pelipisnya, membayangkan kekasihnya terjatuh ketika sedang memetik senja baru untuknya. Bisa saja begitu. Sambil mengusap wajahnya, bayangan lain bermain di pikirannya seperti pariwara komersial yang berganti dengan cepat. Apakah ada gadis lain yang menagih senja yang sama, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuknya? Dia memainkan ujung rambut, sambil sesekali menggigiti kukunya. Perempuan itu berulang kali mengangkat keset di hadapannya. Memastikan sekaligus berharap ada yang terselip di bawah sana.

Aku bersembunyi lagi di balik tirai, mengamati mama yang berjalan tidak karuan. Sungguh aku tidak tahu gerangan yang terjadi pada dirinya, tapi rasanya aku tahu apa yang tengah ia cari. Akhirnya ketika mama masuk ke dalam kamar, kuikuti pelan-pelan dari belakang. Untunglah beliau lupa mengunci pintu, mungkin karena sedang dilanda khawatir yang entah karena apa rupanya.  Aku melihatnya mengambil sebuah toples dari bawah tempat tidur. Mama lantas berlari keluar, melewatiku begitu saja. Aku buru-buru mengejarnya dan berhenti saat langkah mama berhenti di depan rumah. Wajahnya yang kuyu itu menengadah ke langit sementara tangannya membuka toples kosong dan menumpahkan isinya ke udara, isinya yang tiada sejak semula.
 Kulihat mulutnya itu membuka

“Padamu Banyu, kulepaskan senjaku ke langit luas, kubiarkan  oranyenya memenuhi alamku saat ini. Kubebaskan senjaku seperti kubebaskan dirimu.”

Terbesit rasa bersalah menghinggapi dadaku yang sesak saat ini. Aku menyesal tak kuindahkan perkataan bapak yang menyuruhku mendiamkan saja tingkah mama. Tapi sungguh gemas melihat tingkah mama belakangan ini, tak tahan rasanya sampai tega kusembunyikan amplop yang tergeletak di atas keset itu, yang selalu mama letakan setiap fajar.  Tak tega melihatnya begitu terlalu lama, kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah. Kudapati bapak tengah meneguk segelas air dengan tenang. Sungguh aktor yang payah bapakku ini, bahkan dari tempatku berdiri masih dapat kulihat tangannya gemetar. Bapak mungkin tidak pernah menyangka kematian kekasih gelap istrinya justru menambah masalah baru.



(Tulisan ini diikutkan dalam Flash Fiction bertema Perempuan dan Senja oleh @13perempuans )

0 comments:

Post a Comment

What do you think?