In Fiction

Sebelum Kau Bosan

Kamu tidak pernah menyukai Taman Kota. Selain banyak pemuda pemudi yang memamerkan dosa mereka dengan bangga (bagimu bergandengan tangan pun sebuah dosa), juga pada bising kendaraan yang membuat telingamu pengang. Sekalipun realitanya memang seperti itu, bagiku tetap saja kamu berlebihan. Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya padamu, barangkali kamu hanya sedang rindu jalanan Batanghari dimana kamu bisa berpapasan dengan karibmu di atas onthel lalu mampir ke pasar Tiga Delapan sekedar membeli cenil dan mendengarkan cerita ibu-ibu penjual jamu.

Kerinduanmu tidak bisa kusalahkan, karena kini pada akhirnya kamu hanya berkawan dengan kesepian. Tapi sore ini, kamu duduk menyandar di batang pohon besar yang dialih fungsi menjadi bangku taman. Kamu melihat ke langit, seolah menguji dirimu sendiri sampai kapan akan tahan dengan terik yang belum menyingkir.

“Sebelum kau bosan, sebelum aku menjemukan tolonglah ucapkan dan tolong engkau ceritakan semua yang indah, semua yang cantik, berjanjilah.”

Usia kita berpaut lima tahun. Junior yang merantau untuk segera kembali. Kamu hanya ingin mencuili ilmu orang kota untuk memberi kontribusi pada desamu. Sebelum sempat kembali, niatanmu kupatahkan dengan alot. Ibu kota sudah kekal dalam kepala semenjak pertama kali aku menginjak trotoarnya. Kuyakinkan kalau kepul asap tidak akan menodai hatimu yang tulus itu. Dan akan kunyanyikan lagu apa saja untuk menyamarkan bising yang bisa membuatmu tuli. 

Begitulah akhirnya, atas nama cinta mimpimu jadi nomor dua.

“Ciptakanlah lagu yang kau anggap merdu, dik nyanyikan untukku, sungguh aku perlu itu bila kau tak suka, bilang saja suka, berjanjilah.”

Kamu hanya terus menerus memberiku dengar Tanoh Lado. Suaramu yang tidak seberapa merdu namun membuat nyaman itu seperti ingin membuatku merasa bersalah atas kerinduan yang tidak kuizinkan cepat sampai.

“Pergilah kau pergi dan janganlah kembali bila itu kau ingini, ku mohon jangan katakan pergi.”

Nyatanya kamu tidak pernah pergi. Kamu memilih mengikatkan diri dengan ibu kota daripada meninggalkanku seorang diri. Kamu tidak juga pergi bahkan ketika aku sudah lama meninggalkanmu sendiri.

“Jarak telah jauh yang sudah kita tempuh, dik coba pikir itu sebelum tinggalkan aku teruslah berdusta sampai engkau muak, berjanjilah.”

Beberapa anakan keluar dari rambutmu yang tergelung. Guratan halus di wajahmu tidak akurat menunjukan usiamu yang sebenarnya. Kamu masih saja cantik. Walau gelap kantung matamu dan tirus kedua pipimu seperti lama melarikan hidupmu dari hidup. Dahimu berkerut, mengingat-ngingat, semua hal yang pernah kukatakan padamu yang tidak sempat kamu tanggapi satu-persatu. Kamu seperti ingin melakoni aku. Sementara kini aku sedang melakoni pohon Randu di atas kepalamu.

Langit sudah gelap ketika kamu akhirnya beranjak pulang. Sambil berjalan kamu menaburkan bunga yang sudah kering dari dalam kantung celana. Dahulu sambil bercanda, kamu bilang kegemaranku pada Taman Kota akan membawa arwahku bersemayam di sini, sebagai apapun.

Kamu benar. Aku akan menjadi apapun sambil menunggumu yang sedang menungguiku menjelma menjadi sesuatu yang akan kau kenali, sebelum kau bosan.


(Note : Semua dialog diambil dari seluruh lirik lagu Iwan Fals berjudul “Sebelum Kau Bosan”)

0 comments:

Post a Comment

What do you think?