Satu hari kamu datang dan mengeluh, katamu:
Kebahagiaan dan kesedihan umpama koin yang sedang
terpelanting. Selama itu pula tanganmu menengadah, berharap-harap wajah bahagia
yang menghadap ke atas. Kamu berdoa. (Sayangnya) Orang lain pun melakukan hal
yang sama. Hal yang kamu takutkan terjadi bisa saja merupakan doa yang
dipanjatkan tanpa henti oleh orang lain. Tentang doa siapa yang lebih dulu dikabulkan
tidak ada dalam kuasamu.
Kamu ingin mengucapkan selamat, namun kamu juga merasa butuh
diselamatkan. Lantas kamu bertanya-tanya dalam hati. Apakah mendapatkan ucapan
selamat lebih mendesak daripada mendapat keselamatan?
Kebahagian pun menjadi hal yang nisbi.
Kata kepalamu yang berisik; Kebahagiaan adalah duka bagi
sebagian orang. Kemenangan bagi satu
orang adalah kekalahan orang lain. Tapi hidup bukan semata gelanggang
pertandingan. Kekalahan tetaplah hasil jerih payah. Pada suatu buku kamu pun
pernah membacanya, berduka ketika seseorang bahagia pun tidak pantas rasanya. Lalu, manakah yang tidak berempati, yang berbahagia atau yang berduka?
Kamu berpikir keras. Hingga akhirnya kamu belajar merayakan
dukamu, kekalahanmu. Perayaan yang meriah sampai kebahagiaan merasa iri hati
dan ingin ikut serta. Meleburkan dualisme yang menimbulkan kecemburuan. Perayaanmu
yang semarak dengan luka dan sendu sebagai tokoh utamanya. Sementara sendu berlagu, luka berdansa sampai lupa harus merasa apa.
Hingga seseorang menghampirimu untuk mengucapkan: Selamat!
0 comments:
Post a Comment
What do you think?