In Thought

Menyelamat(i)-kan

Satu hari kamu datang dan mengeluh, katamu:

Kebahagiaan dan kesedihan umpama koin yang sedang terpelanting. Selama itu pula tanganmu menengadah, berharap-harap wajah bahagia yang menghadap ke atas. Kamu berdoa. (Sayangnya) Orang lain pun melakukan hal yang sama. Hal yang kamu takutkan terjadi bisa saja merupakan doa yang dipanjatkan tanpa henti oleh orang lain. Tentang doa siapa yang lebih dulu dikabulkan tidak ada dalam kuasamu.

Kamu ingin mengucapkan selamat, namun kamu juga merasa butuh diselamatkan. Lantas kamu bertanya-tanya dalam hati. Apakah mendapatkan ucapan selamat lebih mendesak daripada mendapat keselamatan?

Kebahagian pun menjadi hal yang nisbi.
Kata kepalamu yang berisik; Kebahagiaan adalah duka bagi sebagian orang.  Kemenangan bagi satu orang adalah kekalahan orang lain. Tapi hidup bukan semata gelanggang pertandingan. Kekalahan tetaplah hasil jerih payah. Pada suatu buku kamu pun pernah membacanya, berduka ketika seseorang bahagia pun tidak pantas rasanya. Lalu, manakah yang tidak berempati, yang berbahagia atau yang berduka? 

Kamu berpikir keras. Hingga akhirnya kamu belajar merayakan dukamu, kekalahanmu. Perayaan yang meriah sampai kebahagiaan merasa iri hati dan ingin ikut serta. Meleburkan dualisme yang menimbulkan kecemburuan. Perayaanmu yang semarak dengan luka dan sendu sebagai tokoh utamanya.  Sementara sendu berlagu, luka berdansa sampai lupa harus merasa apa. 

Hingga seseorang menghampirimu untuk mengucapkan:  Selamat!



0 comments:

Post a Comment

What do you think?