Jika tanpa sengaja kamu melintas dan bertanya-tanya,
kuberitahu alasanku dikirim ke sini adalah untuk menemuimu. Mungkin
dia begitu pelupa atau tidak peduli, entahlah mana yang benar. Tapi tanpa
dibekali ingatan yang lengkap tentang diriku sendiri, aku diutus begitu saja.
Ketidakberdayaanku memberikan penolakan padanya bukan karena aku lemah melainkan
karena aku tahu dia sudah kehabisan cara dan barangkali inilah satu-satunya
cara yang tersisa. Cara terakhirnya dengan mengirimku untuk menemuimu.
Informasi tentangmu
dia beritahukan pada beberapa kesempatan yang berbeda. Seperti potongan puzzle
yang harus kususun sendiri. Tapi tidak terlalu sulit bagiku karena hampir
setiap saat dia memberikan petunjuk tentangmu. Misalnya ketika sedang berada di
dalam kereta beberapa pekan lalu, tiba-tiba dia ceritakan bagaimana kalian
berbagi koran dan merundingkan berita ringan untuk ditertawakan. Juga saat kamu
meminta izin memegang tangannya selama menyusuri jalanan di Cikini. Semula
gatal lidahku ingin menyanggah anggapan sopan yang dia lekatkan padamu dari
fakta bahwa kamu meminta izin terlebih dahulu. Mungkin saja kamu hanya sedang
berlagak santun. Tapi suatu malam, dia bercerita tentang bagaimana kamu
menghiburnya dengan menceritakan pengalaman konyolmu dan bukannya memberi
nasihat-klise yang kalaupun kamu berikan tidak akan menjadi masalah baginya. Saat itulah aku tahu mengapa dirinya begitu tertarik padamu. Menurutnya, kamu
adalah teman bicara yang piawai sekaligus pendengar yang sabar.
Biasanya menjelang tengah malam, ketika sudah mulai melantur
dia mulai mengasosiasikanmu dengan banyak hal. Matamu biji kelereng yang tidak
berhenti menggelinding, bulat dan berkilat. Ceruk kecil di pipi yang tampak
tiap kali kamu tersenyum begitu pas dengan ujung jari kelingkingnya, hingga
membuatnya gemas selalu ingin menyentuh. Tapi tentu saja dia kurung jemarinya
dalam saku celana.
Beberapa kali dia keluhkan padaku telah kehilangan teman
diskusi terbaiknya. Hingga cerita-cerita di kepalanya terpaksa diwariskan
padaku. Berberapa kali pula kusarankan padanya untuk mengucapkan langsung
padamu, tapi nyalinya tak sebesar yang kusangka. Dia akan menekan tombol
backspace, memintaku menelan kembali ucapanku.
Jadi dengan membawa pesan rindu yang tanpa tenggat waktu
ini. Aku disuruhnya menemuimu. Payahnya, dia juga tidak punya cukup nyali untuk
menuliskan kisah bagaimana akhirnya pesan ini tiba padamu. Dia tidak kuasa membayangkan aksiku dan reaksimu. Hingga akhirnya dia meninggalkanku begitu saja tanpa klimaks yang telah kunantikan sejak lama. Aku
hanya diberi sepotong alamat yang belum selesai ditulis. Menunggu dengan sabar
dirinya melanjutkan cerita ini.
0 comments:
Post a Comment
What do you think?