In Thought

[Review] 1Q84 by Haruki Murakami: Kerinduan, Persetubuhan, dan Orang Kecil




Novel 1Q84 dapat dibilang sebagai novel Murakami pertama yang saya baca dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya saya telah membaca Norwegian Wood, Kafka on The Shore, The Wind-Up Bird Chronicle, After Dark, What I Talk About When I Talk About Running, dan The Strange Library. Iyah, saya memang penggemar Murakami. 

Walau begitu, saya tak berniat membandingkan 1Q84 dengan novel-novelnya terdahulu atau setelahnya. Meskipun, tetap ada beberapa kesamaan yang menjadi khas Murakami si ahlinya surealisme ini. Soal kesendirian tokoh-tokohnya, adegan erotisnya, hingga karakter tokoh yang serupa tapi tak sama. 

Sebelum itu, saya mau bahas soal translasinya. Jika kamu agak malas membaca novel terjemahan karena takut 'rasanya' berubah, novel Murakami versi Indonesia ini sama sekali tak mengecewakan. Mungkin karena penerjemahnya justru seorang Jepang yang tinggal di Semarang dan mahir berbahasa Indonesia. Jadi, taste 'Jepangnya' masih terasa dan nyaman dibaca. Walaupun versi bahasa Inggrisnya pun diterjemahkan langsung oleh Murakami, namun Ia kerap 'mengadaptasi' gaya Amerika. Jadi, saya sih suka sekali dengan versi Bahasa Indonesia ini.

Novel 1Q84 adalah novel Murakami terpanjang yang pernah saya baca. Dalam versi bahasa Indonesianya terbagi menjadi tiga novel dengan masing-masingnya berisi 500-an halaman. Jadi totalnya kira-kira ada 1500 halaman lebih. Tak sedikit yang menganggap novel ini agak membosankan, dan menggambarkan hal yang sama berulang. Eka Kur bahkan menganalogikan novel ini bagai mie rebus yang kelewat masak hingga bagai bubur kertas, atau percintaan yang kelewat lama hingga kelelahan sebelum orgasme. Benard Batubara pun memiliki pandangan serupa. 

Kebiasaan Murakami yang hobi sekali memanjang-manjangkan adegan memang pada beberapa bagian membuat waktu terasa lambat. Walau begitu, bagi saya, novel ini menyenangkan dengan caranya sendiri. Sekalipun ada beberapa lembar yang saya lewatkan, itu karena saya tak sabar mengetahui narasi berikutnya, bukan karena bosan pada deskripsi yang (dianggap) bertele-tele.  

Saya suka cara Murakami mengaitkan perihal yang satu dengan yang lain. Menarik benang merah dari segala kebetulan dan kesengajaan. Hal tersebut, serta perpindahan sudut pandang dan waktu yang ia gunakan, justru mengingatkan saya pada karya-karya Eka Kurniawan. Walau tulisan Eka Kur biasanya lebih dinamis dari Murakami, namun ada 'rasa' yang sama saat satu peristiwa dan tokoh bertalian dengan peristiwa dan tokoh lain. Juga deskripsi yang 'penting-nggak-penting' pada karya kedua penulis ini.

Bagaimana yah, mungkin saya sudah terbiasa dengan gaya Murakami dan terkadang itulah yang saya cari ketika membaca novelnya. Alur yang lambat dan percakapan yang cerdas. Ohya, ngomong-ngomong soal percakapan, dialog-dialog Murakami adalah favorit saya. Di sanalah terlihat jelas karakter tokoh-tokohnya. Dalam 1Q84, ada Tengo yang 'lurus dan tidak neko-neko', Fuka Eri yang unik, apa adanya, dan tak banyak bicara, Komatsu yang suka mengambil risiko, Tamaru dan Aomame yang berhati-hati dan tampak sangat profesional. 

"Kau sedih kalau orang itu tidak datang lagi," tanya Fuka Eri (dengan nada tanpa tanda tanya)
"Mungkin," kata Tengo, lalu meminum teh.
"Karena tidak bisa bersenggama."
"Antara lain."
(Buku 2, Hal 232)

Murakami juga suka sekali menggambarkan kesendirian-yang-bebas-kesepian pada tokoh-tokohnya. Sebagai tokoh utama, Tengo dan Aomame pun begitu. Keduanya dikisahkan memilih hidup mandiri sejak usia muda karena kekecewaannya pada orang tuannya. Sebagai anak penganut jemaat, Aomame terbiasa menemani sang ibu menyiarkan keyakinannya dari satu pintu ke pintu lain dan membaca doa keras-keras saat makan di sekolah. Alhasil, ia pun dijauhi teman-temannya dan terbiasa sendiri. Serupa dengan Aomame, Tengo menghabiskan minggunya dengan menemani sang ayah berkeliling menagih iuran NHK. Tengo malu dan tak suka, Aomame pun serupa. Mereka merasa tak punya masa kecil yang bahagia.

Aomame di tempat persembunyiannya

Kemudian, cerita mengalir mulai dari kehadiran Fuka Eri sebagai penulis muda yang karyanya dituliskan kembali oleh Tengo. Dan Orang Kecil yang katanya mampu menguasai dunia 1Q84, dunia berbulan dua yang tanpa sadar sedang ditinggali Tengo dan Aomame. 

Kesendirian itu diletakkan Murakami pada tiap sudut kamar Tengo dan ruang hidup Aomame. Keduanya menjalani hidup tanpa benar-benar mau 'terikat' dengan banyak orang. Keduanya 'memelihara' rindu yang jadi pelita dalam hidup mereka yang tampak biasa cenderung suram. Kerinduan yang dipelihara selama 20 tahun lamanya. Kerinduan yang -kalau kata Payung Teduh- selalu muda. Selalu segar dalam ingatan mereka bagaimana tangan Amomame menggenggam Tengo saat SD dulu. Satu-satunya momen kedekatan yang jadi kekal dalam ingatan. Romantis? Tentu! Realistis? Hmm...

"Kalau seandainya kamu benar-benar bertemu dengannya, kalian mau apa di papan luncur?"
"Kami berdua mau melihat bulan."
"Sangat romantis," kata Tamaru lembut.
(Buku 3, Hal 493)

Persetubuhan, seperti karya Murakami lainnya, ada di beberapa lembar yang diletakkan Murakami 'sesukanya'. Uniknya, di 1Q84, persetubuhan bukan sekadar adegan erotis tapi juga cara sakral untuk 'menyalurkan energi' (saya mencari kata-kata yang lebih tepat dari ini, tapi kira-kira begitulah) yang dibutuhkan. Dan, lagi-lagi seperti karya lainnya, adegan erotis selalu ditampilkan dengan 'meng-innocent-kan' tokoh laki-lakinya, alias Tengo. Misalnya pada adegan persetubuhan paling 'bikin kaget' (tapi sudah saya duga sih pasti ada adegan ini antara kedua tokoh, Murakami gitu loh) antara Tengo dan Fuka Eri. Tengo sebagai 'penerima' mengikuti alur Fuka Eri begitu saja. Seperti mengerjakan tugas administratif, katanya. Prosesnya sangat prosedural, dari sini ke sini lalu ke situ, oh sudah selesai yah, oke bobo, besok bangun bagai tak ada apa-apa. 



Begitulah. Lalu adegan persetubuhan lain antara Tengo dan suster di RS tempat ayahnya dirawat. Eh bukan adegan persetubuhan sih, yah nyerempet lah (mengingatkan saya pada Toru di Norwegian Wood yang tahu-tahu melakukannya bersama pemilik tempat tinggal, entah siapa). Intinya Tengo ini seolah berada di situasi yang 'yah mau bagaimana lagi'. Hahaha.

Semula saya kira kisah Tengo, Fuka Eri, dan Aomame Vs Orang Kecil yang memicu bulan jadi 2 ini adalah inti dari kisahnya, tapi usai membaca sampai kelar. Saya pikir intinya adalah Tengo dan Aomame yang berusaha keluar dari dunia Orang Kecil dan menuju dunia mereka sendiri, dunia tempat keduanya bisa bersama. 

Nah, soal akhir cerita, menurut saya novel inilah yang paling anti-klimaks ending-nya. Di buku tiga, sejak bab 30 hingga tamat, adalah bagian terfavorit saya dari total 1500an halaman itu. 

Tidak perlu dipaksakan menjelaskan semuanya sekarang. Mereka berdua bisa mengisi kekosongan pelan-pelan sambil jalan --kalau memang ada kekosongan yang harus diisi. Bagi Tengo, asalkan ada yang bisa ditanggung berdua-- biarpun itu kekosongan yang terbengkalai atau teka-teki yang takkan pernah terpecahkan --rasanya dapat ditemukan kebahagiaan yang pernah menyerupai cinta kasih.
(Buku 3, Hal 531)
Setelah berlembar-lembar adegan Aomame menunggu Tengo di balkon apartemen persembunyiannya, akhirnya keduanya bisa bertemu. Jujur, semula saya sedikit was-was Murakami tak jadi mempertemukan keduanya. Tapi, untunglah tidak begitu (eh, spoiler). 

Selain itu semua (dan banyak hal yang tidak saya tuliskan tentu saja), ada satu bagian yang cukup menyedihkan ketika Aomame mengenang sahabatnya Tamaki Otsuka. Kala itu, Aomame mengenang Tamaki sambil membandingkan dengan dirinya sendiri. Tamaki yang ceria sementara Aomame yang pendiam dan penyendiri. Si ceria itu akhirnya mati bunuh diri, sementara Aomame yang dulu muram tetap bugar.

Jadi, begitulah review yang tak seperti review ini. Saya pribadi menikmati sekali membaca novel ini.


sumber gambar:
- ichikewhachiyon.blogspot.co.id
- randomrandomdavid.wordpress.com

0 comments:

Post a Comment

What do you think?