"Kopi itu mirip cinta yah."
Kamu menghancurkan latte art dengan sendok. Upaya bartender membentuk hati hanya bertahan 5 menit di cangkirmu.
"Maksudnya apa sih?"
"Bikin saya deg-degan, senang, nggak bisa tidur, tapi ujung-ujungnya perut saya melilit juga."
"Ah, itu karena kopi yang kamu minum tidak berkualitas."
"Apa cinta yang berkualitas nggak bikin melilit?"
"Harusnya sih begitu. Sudah coba dengan orang yang berkualitas?"
"Kamu maksudnya?"
Mau tertawa, tapi aku malah tersedak. Dasar, sifat blak-blakan itu ternyata belum hilang. Dan aku belum juga terbiasa. Kamu mendorong air putih di samping cangkirmu. Mendekatkannya ke tanganku.
"Sebetulnya daripada kopi, kamu lebih cocok jadi air putih."
"Tunggu, tunggu." Duh, biarkan aku menelan air di tenggorokanku dulu.
"Jadi, aku tidak berpotensi bikin kamu deg-degan nih?" Tanyaku melanjutkan. Sepertinya sifatmu mulai menular padaku. Setelah tertawa kamu mengaduk kembali kopimu.
"Bagaimana yah..." Kamu menatap langit-langit putih seolah ada penjelasan di sana. Tak menemukan apa-apa, matamu kembali menyusuri wajahku.
"Tapi saat tersedak, saya hanya butuh air putih."
"Jadi saat terdesak, kamu baru membutuhkanku nih?"
Kamu tertawa. Ada perasaan aneh saat sikap jailku memancing tawamu. Perasaan aneh yang membuatku ingin terus melihatnya.
"Bukan begitu sih maksud saya. Bagaimana pun, air putih bisa menetralisir kandungan kopi tak berkualitas di ginjal saya."
Tanpa sadar, senyum sudah mengembang di wajahku. Saat itulah suara hiasan yang menggantung di atas pintu masuk berbunyi, tanda seseorang melangkah ke dalam. Sepertiku, kamu menoleh ke arah sumber suara. Sekilas saat melirikmu, raut wajahmu telah berubah saat mengetahui ada wajah yang kamu kenali. Senyummu lebih lebar dari senyumku tadi dan tanganmu dengan sigap terangkat dan melambai ke arahnya.
Ah, kopimu datang di saat yang tak tepat.
0 comments:
Post a Comment
What do you think?