In Thought

[Review] Upaya Menghadapi Kehilangan dalam Laut Bercerita oleh Leila Chudori



Ketegangan Leila berikan sejak lembar pertama (tak jauh berbeda dengan ketegangan Hananto di buku Pulang yang diciduk pada awal cerita). Di Laut Bercerita, ketegangan di awal adalah sebuah jawaban yang seolah mengatakan pada pembaca: jadi beginilah akhirnya, yakin siap mendengarkan kisahnya?

"Yang paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian...kami tak tahu pasti apakah kami akan dilepas atau dibunuh; dan kami tidak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain membuat jiwa kami hancur..." (hal 259)

Pengenalan tiap tokoh diikuti dengan irisan kisah  hidup yang membuat karakter mereka tidak serta merta ada. Seperti Daniel yang memiliki karakter anak manja sebagai bentuk kompensasi 'beban beratnya' menjadi sosok kakak yang bertanggung jawab pada banyak hal di rumah. Dari deskripsi ringan seperti ini membuat kita dapat mempelajari satu dua hal; tentang upaya memahami karakter orang di sekitar kita misalnya.

Hampir semua tokoh memiliki karakter yang kuat, sehingga, meski banyak, tak terasa sia-sia. Selain Laut dan Asmara -adik Laut- sebagai tokoh sentral, ada pula Bram, Kinan, Gala, Anjani, Alex, Daniel, Sunu, Naratama, Gusti, dan lainnya. Kamu mungkin akan jatuh cinta pada salah satu tokoh seperti pada Asmara, Alex, atau bahkan (mungkin) Naratama alias Tama.
"Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa selalu berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan." (hal 30)

Memang telah ada banyak karya sastra yang menuangkan kembali tragedi 1998, mulai dari Sekuntum Nozomi 3 karya Marga T, Notasi karya Morra Quatro, Trilogi Soekram milik Sapardi, hingga Pulang milik Leila. Laut Bercerita, karya terbaru Leila ini pun tak jauh berbeda.

Menariknya, tiap buku yang telah disebutkan di atas, memiliki angle dan gayanya masing-masing. Dalam Pulang, dikisahkan bagaimana tokoh utama kehilangan root-nya karena tak bisa kembali ke tanah air. Sementara dalam Laut Bercerita, kisah terbelah menjadi dua bagian besar:  penyiksaan pada para tokoh aktivis, termasuk Laut dan bagaimana keluarga Laut -dan keluarga aktivis lain-menghadapi kehilangan.

Jika digambarkan dalam satu kata, bagian pertama rasanya: mengerikan dan bagian kedua rasanya: memilukan. 

Saya merasa fase kehilangan yang dihadapi oleh keluarga inilah intinya;
Orangtua Laut yang tak rela meninggalkan rumah terlalu lama karena takut anaknya pulang saat rumah sedang kosong, Ayah Laut yang tetap menyajikan piring dengan menyertakan anak sulungnya, berharap ada yang muncul di depan pintu dan mengambil jatah piringnya. Dan segala bentuk penyangkalan demi tak merasakan kesedihan yang mendalam.

Penyangkalan-penyangkalan itulah kesedihan yang mendalam bagi Asmara.

Asmara adalah sosok yang patut kena lampu sorot. Karakternya yang 'kokoh' dan rasional bagai penyeimbang segala harapan dan angan kosong yang dipelihara orang tua, Anjani kekasih Laut, ataupun Alex, teman aktivis Laut yang juga mengalami penyiksaan parah.

Setelah segala kengerian dari berbagai bentuk penyiksaan yang digambarkan, sudut pandang akan beralih pada Asmara. Nah, di sinilah saatnya kamu menyiapkan tisu. Saran saya sih, jangan membaca buku ini di tempat umum kalau malu menangis dilihat orang :p


Ohya, buku ini juga bisa kembali mengingatkan kita, demokrasi dan segala 'kenyamanan' Indonesia yang saat ini kita nikmati adalah hasil darah dan air mata para mahasiswa/anak muda yang memimpikan Indonesia menjadi lebih baik.



Sebagai penutup, cobalah membaca buku ini sambil mendengarkan lagu Sting, "They Dance Alone"

Why are these women here dancing on their own?
Why is there this sadness in their eyes?
Why are the soldier here
Their faces fixed like stone?
I can't see what it is they despite
They're dancing with the missing
They're dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid.


sumber gambar: sociolla.com, salihara, dan tempo.co

0 comments:

Post a Comment

What do you think?